Aktivitas penambangan telah menjadi salah satu mata pencaharian utama masyarakat Indonesia. Oleh karena negara yang kaya akan sumber daya alamnya ini, menjadi penghasil kelima terbesar batu bara di dunia. Berdasarkan data dari Petriella dalam bisnis.com (2020) jumlah produksi batubara Indonesia terus mengalami peningkatan di setiap tahun yakni dari tahun 2009 sebanyak 254 juta ton, hingga tahun 2019 lalu telah memecahkan rekor 610 juta ton. Produksi tambang yang semakin meningkat tersebut, mendorong ketertarikan banyak masyarakat untuk mencoba memperoleh keuntungan di kegiatan pertambangan.
Namun keinginan dan usaha masyarakat untuk menambang, tidak sejalan dengan baik pula pada proses pengajuan izin kegiatannya. Ketika UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 masih berlaku, proses Izin Pertambangan Rakyat (IPR) harus melalui prosedur yang sulit. Contohnya pasal 48 ayat 2 PP No. 23 Tahun 2010 mengenai pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba, yang merupakan turunan UU Minerba No. 4 tahun 2009 menyatakan bahwa rakyat yang mengajukan IPR harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan finansial (Hasanah, 2016).
Namun beberapa persyaratan dalam PP No. 23 Tahun 2010 tidak dapat berjalan sesuai dengan kondisi lingkungan rakyat penambang. Persyaratan-persyaratan teknis mengharuskan rakyat untuk memiliki sumur paling dalam 25 meter, menggunakan pompa mekanik, penggelundungan, permesinan dengan maksimal tenaga 25 horse power untuk 1 IPR, dan tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak dalam proses penambangan (jdih.esdm.go.id). Sementara menurut Redi (2016), potensi wilayah pertambangan rakyat saat ini banyak yang memiliki sumuran lebih dalam dari 25 meter dan harus menggunakan pompa mekanik lebih dari 25 horse power.
Meskipun di dalam pasal 24 UU Minerba No. 4 Tahun 2009 menyampaikan, ‘Wilayah kegiatan tambang rakyat yang telah dikerjakan namun belum ditetapkan sebagai WPR, tetap diprioritaskan sebagai WPR’ (eiti.ekon.go.id). Tetapi menurut Rudi, Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kalimantan Timur dalam media niaga.asia (2019) mengatakan pemerintah daerah tidak memiliki usaha dalam menetapkan WPR untuk penambang rakyat. Pemerintah justru berusaha mencegah kegiatan pertambangan rakyat. Kesulitan yang banyak dihadapi oleh penambang rakyat dalam proses pengajuan IPR ini, kemudian membuat banyak penambang rakyat akhirnya tak dapat mengurus dan memperoleh IPR.Â
Pada tanggal 17 Febuari 2020 sampai tanggal 6 Mei 2020, DPR dan pemerintah kemudian memutuskan untuk melakukan pembahasan mengenai revisi UU Minerba secara intensif (Umah, 2020). Tetapi kehadiran UU Minerba Tahun 2020 yang awalnya bertujuan untuk mengurangi beban masyarakat dalam membuat IPR, pada akhirnya hanya membuka jalan masuk untuk berbagai masalah lainnya.
Akan tetapi menurut Ketua Lembaga Kajian Energi dan SDA dalam media indonews.id (2020) UU Minerba tahun 2020 tersebut dapat mengancam keselamatan kegiatan penambangan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan proses pembuatan izin beserta kegiatan pengawasan dan pengelolaan penambangan yang telah diserahkan seutuhnya kepada pemerintah pusat, membuat adanya jarak pengawasan yang cukup jauh dengan rakyat dan lingkungan. Menurut Rizki (2020) perpindahan kewenangan ke pemerintah pusat dapat melemahkan pengawasan dan bimbingan yang diberikan kepada kegiatan penambangan  rakyat, yang kemudian dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Selain itu proses pembuatan izin pertambangan yang hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, juga dapat menghadirkan barisan antrean panjang bagi para calon penerima IPR. Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus), Budi Santoso mengatakan pemerintah pusat akan lebih mendahulukan perizinan tambang dari orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan mereka (katadata.co.id, 2020). Hal inilah yang kemudian dapat memunculkan tindakan diskriminasi atau tumpang tindih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik.
Maka dari itu, sebenarnya pemerintah daerah dan pusat perlu membuat dan menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan kegiatan pertambangan dengan lebih memperhatikan dan memprioritaskan kepentingan dan kondisi rakyat. Pihak pemerintah yaitu DPR sebaiknya perlu membuat sebuah RUU yang secara khusus dan jelas mengatur tentang penambang rakyat, yang dimulai dari aturan mengenai definisi penambang rakyat, perizinan, pembinaan, pengelolaan terhadap wilayah dan aktivitas penambangan rakyat hingga perlindungan hak rakyat atas pertambangan yang dimiliki. Hal ini dikarenakan masih banyak orang yang belum memahami dan memandang sebelah mata penambang rakyat, karena dianggap merusak lingkungan (pushep.or.id, 2019). Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof. Hikmahanto Juwana juga mengatakan perlu adanya UU yang secara tegas menerapkan sanksi kepada pihak-pihak nakal yang menggunakan hak-hak penambang rakyat untuk memperoleh keuntungan pribadi (Rahma, 2020). Â Â