Baru-baru ini saya melihat postingan di sosial media terkait penumpukan sampah di Daerah Depok. Sebagai warga yang tinggal di Depok, kadang kala saya juga harus mencium bau dari gunungan sampah tersebut dari rumah. Masalah sampah tidak hanya dialami di daerah Depok saja. Di Bantar Gebang juga mengalami hal yang sama. Gunungan sampah menjadi masalah yang belum terpecahkan dan bahkan seiring waktu semakin meningkat jumlah volume sampah yang harus ditampung di tempat penampungan akhir sampah tersebut.
Pemerintah telah berhasil menjalankan inovasi ramah lingkungan melalui PLTSa Putri Cempo di Kota Surakarta yang menjadi salah satu Proyek Strategi Nasional sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Â PLTSa ini mampu untuk mengurangi tumpukan sampah dan menghasilkan listrik untuk kebutuhan warga sekitar. Proyek percontohan ini juga dapat mulai dikembangkan di lokasi Depok. Memang pastinya kendala pertama dalam menjalankan proyek PLTSa ini di Depok adalah lahan untuk pendirian PLTSa dimana pastinya perlu pembebasan lahan serta biaya yang tidak sedikit untuk pembangunan.
Proyek PLTSa ini sendiri sudah dijalankan di Bantar Gebang oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurut data yang ada di media massa, pembangunan PLTSa ini menghabiskan dana di kisaran Rp400 miliar hingga Rp900miliar. Melihat besaran angka ini, tampaknya akan menyulitkan Pemprov Depok dalam pembangunan PLTSa jika hanya mengandalkan pendanaan dari anggaran Pemprov Depok saja. Pada Perpres Nomor 35 Tahun 2018 menekankan percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan, tapi tidak menyebutkan Kota Depok sebagai daerah yang masuk dalam Proyek Strategi Nasional. Tidak masuk Perpres bukan berarti tidak dapat melakukan pembangunan PLTSa.
Pembiayaan pembangunan PLTSa sendiri sebenarnya bisa dilakukan melalui konsorsium perusahaan dengan tujuan menarik dana dari corporate sosial responsibilty (CSR)sebagai dana investasi pembangunan PLTSa. Secara aturan sendiri di Pasal 74 Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), perusahaan yang bergerak atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib untuk melakukan CSR. Proyek pembangunan PLTSa di Depok secara konsorsium dapat diinisiasi oleh Pemprov Depok dan bekerjasama dengan PLN. Sebab secara tugasnya, PLN wajib menjaga ketersediaan dan kestabilan pasokan listrik untuk warga negara Indonesia. Jadi dalam hal ini, PLN dapat mengambil porsinya untuk memimpin konsorsium bersama Pemprov Depok. Di sisi lain, PLN juga memiliki komitmen dalam bauran energi terbarukan yakni sebesar 23% di tahun 2025. Jadi dengan terlaksananya proyek PLTSa ini, diharapkan, PLN juga sudah memenuhi komitmennya atas bauran energi terbarukan tersebut.
Selain PLN, Pemprov Depok juga bisa mengikuti jejak PLTSa Bantar Gebang dengan mengajak BRIN untuk turut andil dalam proyek PLTSa di Depok ini. Sebab BRIN memiliki kemampuan dalam riset serta pengetahuan dan pengalaman di pendirian PLTSa Bantar Gebang. Melalui kerjasama dengan BRIN juga dinilai dapat mempercepat pelaksanaan proyek PLTSa Depok dan pembangunannya pun nanti dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Selain dari konsorsium, Pemprov Depok juga bisa melakukan pembiayaan pembangunan PLTSa melalui pinjaman daerah. Secara aturan sendiri, Peraturan Pemerintah (PP) 54/2005 dan PP 30/2011 tentang pinjaman daerah, mengijinkan pemerintah daerah melakukan pinjaman dengan ketentuan bahwa besaran pinjaman yang akan ditarik ditambah jumlah sisa pinjaman daerah tidak lebih besar dari 75% penerimaan APBD tahun sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa untuk pembangunan PLTSa menggabungkan dua cara diatas yaitu melalui konsorsium dan pinjaman daerah dengan tujuan agar dapat mengurangi jumlah pinjaman daerah yang diajukan untuk pembangunan PLTSa ini. Pinjaman daerah ini juga dari sisi investasi tidak merugikan sebab PLTSa ini sendiripun memiliki perkiraan pendapatan serta manfaat bersih dari pendirian PLTSa ini.Â
Sebagai contoh, di tahun 2020, telah dilakukan penelitian oleh mahasiswa bernama Slamet di Institut Teknologi Kalimantan atas Perencanaan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Manggar Kota Balikpapan, dimana hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa PLTSa TPA ini memberikan benefit cost ratio (BCR) sebesar 119,72. Sementara itu, berdasarkan pemberitaan, PLTSa di TPA Putri Cempo, Solo diperkirakan menghasilkan pendapatan hingga Rp57 miliar per tahuan. Kedua contoh PLTSa ini menandakan proyek PLTSa ini merupakan proyek yang menguntungkan dan pastinya juga ramah lingkungan. Pemprov Depok dapat mempertimbangkan untuk berinisiasi dan berkomitmen dalam menjalankan proyek PLTSa ini di tahun 2025 dan bisa mulai dengan melakukan studi banding ke PLTSa di Bantar Gebang serta melakukan pemetaan biaya serta daerah mana yang bisa digunakan untuk pembangunan PLTSa. tanpa harus menunggu daerahnya menjadi daerah Proyek Strategis Nasional terlebih dahulu. Sebab, jika masalah sampah ini tidak ditangani dengan baik, maka dikhawatirkan tidak hanya mengotori lingkungan, juga dapat menyebabkan warga sekitar tempat penampungan sampah ini terkena beragam penyakit yang membebani warga itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H