Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1 memaparkan pengertian pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Undang-undang tersebut dihadirkan untuk kembali membuka pemikiran kita dalam memahami pajak dari sudut pandang kegunaannya. Pajak dihadirkan di negara Indonesia sejatinya sebagai bentuk kontribusi wajib oleh warga negara yang nantinya akan digunakan kembali untuk keperluan negara dalam mendukung kemakmuran rakyat. Pajak merupakan salah satu bentuk penerapan istilah “dari rakyat untuk rakyat” memang benar adanya.
Mari menilik dari kondisi pandemi di Indonesia tahun 2020. Pembatasan sosial berskala besar dilakukan guna memutus rantai virus COVID-19. Kesehatan masyarakat menjadi fokus utama pemerintah di masa pandemi. Beberapa kebijakan dilakukan mulai dari penyekatan wilayah, pengurangan mobilitas masyarakat dan aktivitas di luar rumah termasuk adaptasi kegiatan bekerja dan belajar dari rumah hingga pembatasan dan pemberhentian sejumlah aktivitas yang tidak berada pada sektor esensial.
Namun, tidak menutup mata dari sudut pandang ekonomi, perekonomian Indonesia mengalami resesi. Terlihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat negatif, minus 5.32% pada kuartal II tahun 2020 dan minus 3.49% pada kuartal III tahun 2020. Resesi Indonesia terjadi karena kehadiran pandemi ini menghantam perekonomian masyarakat.
Produktivitas dari beberapa perusahaan dan sektor usaha menurun karena pengurangan jam kerja dan operasional, sehingga sebagai upaya untuk tetap bertahan di masa pandemi ini tidak menutup kemungkinan mereka melakukan pemotongan gaji karyawan, maupun mengurangi jumlah tenaga kerja melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berefek pada pendapatan masyarakat dan secara tidak langsung menggeser pola konsumsi masyarakat sendiri.
Masyarakat menjadi lebih teliti dalam menggunakan uang, mereka cenderung menggunakan pengeluaran untuk kebutuhan pokok (primer) atau disebut metode bertahan hidup dan membatasi konsumsi pada tingkat sekunder dan tersier pada situasi saat ini.
Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Raden Kurleni Ukar dalam CNN Indonesia juga mengatakan devisa dari sektor pariwisata menyusut hampir 80% atau menjadi sekitar Rp51,2 T akibat pandemi corona. Sektor pariwisata yang mampet nampaknya turut menyeret ketiga sektor lainnya yaitu transportasi, hiburan, dan UMKM terdampak karena penutupan sejumlah tempat dan pembatasan pergerakan masyarakat yang berakibat menurunkan aktivitas pada sektor tersebut.
Lantas, bagaimana insentif pajak mengambil peran untuk pemulihan ekonomi negara yang demikian?
Nampaknya kita perlu memahami arti kesejahteraan terlebih dahulu. Pada dasarnya kesejahteraan suatu negara dipengaruhi oleh tingkat perputaran uang. Perputaran uang yang tinggi menandakan kegiatan ekonomi (penawaran dan permintaan) berjalan baik. Namun, dalam situasi pandemi, kegiatan ekonomi berjalan sebaliknya.
Rendahnya pendapatan masyarakat akibat situasi yang sulit , adanya pengurangan gaji dan PHK menurunkan daya beli mereka yang ditandai dengan pola permintaan (belanja) yang rendah sehingga turut mempengaruhi pendapatan yang diterima dari sektor usaha. Insentif pajak memainkan peran perputaran uang. Kedua pihak (konsumen maupun produsen) sedikit demi sedikit terbantu, melalui kehadirannya dapat mengurangi beban pada cashflow masyarakat maupun pelaku usaha.
Beberapa pajak yang semula dibebankan pada persentase tertentu kemudian diturunkan bahkan dihapuskan sehingga baik masyarakat maupun pelaku usaha mampu bertahan dan memiliki kapabilitas daya beli untuk mendukung jalannya perekonomian negara ini.
Dengan esensi dan tujuan yang sama, dapat terlihat pajak tetap memegang prinsip “untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal dalam bisnis.com mengungkapkan tujuan dari insentif pajak selama masa pandemi antara lain untuk mendukung demand (belanja) masyarakat, dukungan cashflow, serta untuk membiayai pembelian alat kesehatan dan vaksin Covid-19.
Insentif pajak untuk mendukung demand (belanja) masyarakat ditunjukkan melalui beberapa hal diantaranya
- Penghapusan pajak penghasilan (Pph) pasal 21. Pemerintah menanggung pajak para pekerja dengan penghasilan bruto dibawah atau tidak lebih dari 200 juta per tahunnya. Insentif pajak berperan sebagai bantuan bagi para pekerja untuk mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan hidup lebih layak lagi di masa pandemi ini. Kegunaan insentif pajak dapat dialihkan kepada sektor kesehatan pekerja guna meningkatkan pola konsumsi makanan yang lebih bergizi, membeli vitamin, membeli masker dan sebagainya. Disisi lain, kebutuhan yang bergeser seperti kuota internet dan gawai yang meningkat dapat terbantu dengan adanya insentif.
- Pemberian Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0% (ditanggung 100% oleh pemerintah). Kebijakan ini dilakukan pada tiga bulan pertama pada pembelian mobil baru di bawah 1.500 cc. Diikuti dengan diskon yang diberikan sebesar 70 persen, dan tiga bulan terakhir sebesar 50 persen. Melalui kebijakan ini, menarik dan meningkatkan kembali daya beli masyarakat akan mobil yang merupakan kebutuhan tersier. Seperti diketahui, masyarakat Indonesia memiliki pola konsumtif akan kendaraan yang lumayan tinggi pada tahun-tahun sebelumnya, sehingga gagasan insentif ini mampu memulihkan kembali perputaran ekonomi khususnya dalam pembelian kendaraan mobil.
Pemulihan ekonomi yang dilakukan melalui insentif pajak juga membangkitkan pelaku ekonomi untuk tetap berjalan dalam situasi pandemi ini, yang dilakukan melalui
- Pengurangan PPh badan pasal 25 sebesar 30% selama 6 bulan. Kebijakan ini mendukung perusahaan maupun aktivitas usaha tertentu yang terdampak pembatasan dan penutupan kegiatan agar dapat tetap bertahan hidup sehingga tidak memberikan efek negatif yang berkelanjutan bagi karyawan dan kondisi perekonomian negara. Bayangkan jika mereka tetap diminta membayar pajak maka mereka akan mengalami lebih besar pasak daripada tiang yang akan berefek pada pengurangan karyawan dan menghambat daya beli masyarakat kembali.
- Pengurangan PPh pasal 22 mengenai impor. Pemerintah memberikan pembebasan pembayaran pajak sebagai insentif yang mendukung pelaku pasar impor untuk tetap berjalan. Kebijakan pembatasan antar negara yang menghambat kegiatan usaha mereka (distribusi barang) terdorong dengan adanya insentif ini, pelaku usaha impor dapat termotivasi dan bertahan untuk terus bergerak maju.
- Pemberian subsidi sosial dan tanggungan pajak UMKM oleh pemerintah. Yustinus dalam Niaga Asia mengatakan kontribusi sektor UMKM terhadap PDB Indonesia mencapai 60% atau sekitar Rp8.900 triliun. Bahkan, 90% perekonomian Indonesia didukung oleh UMKM dan tenaga kerja yang mampu diserap oleh UMKM juga sangat besar. Pada kebijakan ini, pemerintah memberikan timbal balik positif kepada kontribusi UMKM selama ini yang membantu UMKM berpenghasilan minim dan terdampak karena terkait dengan sektor pariwisata (sempat terhenti dan tidak produktif) untuk termotivasi bangkit kembali. Dengan insentif pajak, aliran pengeluaran pajak menjadi tidak ada, sehingga dapat mendorong UMKM untuk lebih berkembang dan mempertahankan kelangsungan hidup usahanya melalui berbagai alternatif, seperti mengalihkan penjualan secara online, dan menggunakan modalnya untuk lebih pemasaran produknya di masa pandemi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H