Menjadi hal yang lumrah jika dalam sebuah negara terjadi lonjakan eskalasi politik, terutama jika berhubungan dengan agenda pemilihan umum. Sebagaimana diketahui bahwa pelibatan dan keikutsertaan masyarakat dalam pemilu tersebut yang membuat agenda ini menjadi sedemikian spesial.Â
Partisipasi ini mencerminkan peran politik masyarakat yang secara konstitusi, baik langsung maupun tidak langsung, turut menentukan nasib bangsa secara periodik untuk 5 tahun ke depan. Sungguh banyak hal yang terjadi dalam eskalasi tersebut.Â
Dari sosialisasi oleh KPU, kampanye, distribusi peralatan dan perlengkapan, TPS, panitia di tingkat TPS hingga pusat, DPS, DPT, penghitungan suara, quick count, sampai dengan pengumuman hasil, atau bahkan sampai dengan sengketa hasil pemilu.Â
Adapun salah satu aktor utama yang patut menjadi sorotan adalah tentang partai politik dan bakal calon legislatif (caleg) yang diusung oleh partai politik peserta pemilu. Sejauhmana partai politik dan anggota legislatif dapat memulihkan citra negatifnya di masyarakat, mempengaruhi persepsi para pemilih, meraup suara yang signifikan, hingga mampu menekan angka golput.
Keberadaan golput akan terus ada dalam konteks pemilu dengan berbagai sebab, bukan hanya tentang mereka yang memilih golput tetapi juga tentang mereka yang terpaksa golput.Â
Pada kenyataannya ada masyarakat yang secara administratif tidak memiliki hak pilih karena memang tidak terdaftar sebagai pemilih, kemungkinan disebabkan oleh penghimpunan data yang tidak akurat, ataupun adanya kendala demografis serta geografis.Â
Ada pula pemilih yang telah terdaftar namun terkendala pada saat pemungutan suara, seperti dalam perjalanan jauh, sakit tiba-tiba, meninggal dunia, atau berbagai hambatan lainnya. Walaupun mekanisme telah diatur oleh KPU pusat, namun tetap saja dalam praktiknya tidak semudah yang dibayangkan.
Dalam pandangan yang negatif, ada pula yang tidak menggunakan hak pilihnya karena ketidaktahuan dan kebingungan saat proses penggunaan hak dalam pemilu.Â
Terutama dalam pemilu legislatif, 4 lembar surat suara, banyaknya tokoh DPD, banyaknya partai kontestan pemilu DPR RI, DPR Provinsi, dan DPR Kota/Kabupaten, lebih banyak lagi calon legislatif yang tercantum dalam setiap lembar surat suara tersebut. Namun yang lebih mengkhawatirkan, ada pula yang sengaja tidak ingin menggunakan hak pilihnya karena pengalaman yang dirasa negatif pada pemilu sebelumnya, seperti tidak percaya pada mekanisme, kecewa dengan hasil pemilu, ataupun kecewa dengan kenyataan yang berlaku atas sosok yang telah dipilih sebelumnya, dan lainnya. Kelompok pada golongan ini bisa saja memiliki pemikiran yang berbeda tentang penggunaan hak suara, dengan pandangan klasik bahwa "tidak memilih juga adalah hak".
Tak dapat dipungkiri jika partisipasi politik masyarakat dalam pemilu menunjukkan data yang fluktuatif.. Sejak pemilu 2004, golongan putih (golput) atau mereka yang tidak memanfaatkan hak pilihnya sebesar 20.579.661 orang atau sekitar 23,24 % (Suara Pembaruan, 2009), sementara di tahun 2009, jumlah golput 49.212.158 (27,77%), lebih banyak dibandingkan dengan perolehan partai pemenang pemilu yang sebesar 21.703.137 suara (Kompas, 10 Mei 2009).Â
Belajar dari fenomena golput dan data partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif tersebut, dapat dikatakan bahwa masih ada tugas berat sosialisasi politik komprehensif yang harus dilakukan oleh negara. Sementara itu dibutuhkan pula komunikasi politik dari partai dan para caleg yang lebih jujur dan inklusif agar masyarakat memiliki keyakinan yang kuat dalam menentukan pilihan.