Mohon tunggu...
Cut Marliana
Cut Marliana Mohon Tunggu... -

Nafsu mengatakan perempuan itu cantik atas dasar rupanya. Akal mengatakan perempuan itu cantik atas dasar ilmu dan kepintarannya. Dan hati mengatakan perempuan itu cantik atas dasar akhlaknya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Islam Agama Damai yang Rasional

13 Mei 2014   23:32 Diperbarui: 4 April 2017   16:51 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian kepada umatnya bahkan kepada seluruh umat manusia, sekaligus agama yang rasional dalam menyikapi perdamaian itu. Bahwa perdamaian tidak bisa ditumpukan kepada satu pihak saja melainkan juga harus diusahakan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Dalam konteks yang demikian, umat Islam akan menyandarkan kedamaian hidupnya kepada Allah yang menjanjikan surga. Maka kita jalani saja peran kita sebagai hamba Allah untuk melangsungkan rencana-rencanaNya. Orang-orang baik akan menemui kebaikan-kebaikan yang dianugrahkan Allah kepadanya. Jadi, Allah berfirman bersabarlah sambil terus istiqomah mengerjakan kebajikan dijalan Nya.

Dalam Al-Qur’an surah An Nahl (16) : 127-128

Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan mereka yang berbuat kebajikan.

Dalam Al-Qur’an surah Al Insaan (76) : 24

Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir diantara mereka.

Jadi jelaslah sekarang posisi umat Islam dalam kancah peradaban dunia bahwa umat Islam harus mengambil peran yang mendinamisasikan perdamaian global tanpa harus kehilangan rasionalitasnya. Umat Islam harus menjadi juru damai karena memang itulah misi kita sebagai umat Islam menciptakan tatanan masyarakat yang adil sejahtera bagi seluruh umat manusia didalam Ridha Allah, Sang Maha Pemurah “masyarakat rahmatan lil alamin. Hanya orang-orang yang ingin menjadi hamba-hamba Allah yang saleh saja yang bisa bersikap secara rasional dan proporsional dalam menjalani kehidupan agamanya.

Dalam Al-Qur’an surah Az Zummar (39) : 10

Katakanlah: “hai hamba-hambaku yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik didunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Dalam Al-Qur’an surah Ar Rum (30) : 60

Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-sekali janganlah orang-orang yang tidak menyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.

Dalam Al-Qur’an surah Al Ahqaf (46) : 35

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar dan janganlah kamu

Menurut Gusdur bahwa Islam bukan agama kekerasan, benturan antar ”kebenaran” terjadi saat orang-orang berani mengambil-alih jabatan Tuhan, fungsi Tuhan,dan kerjaan Tuhan. Padahal, dalam ajaran tauhid, urusan kebenaran adalah hak prerogratif Tuhan, jadi bagaimana kita berusaha meminimalkan benturan itu menjadi sifat yang toleran dan welas asih terhadap sesama, membenarkan yang salah dengan hati dan akal sehat, dengan opini otak yang cerdas dan cendekiawan bukan dengan okol tangan atau senjata, membangunkan kaum Muslim yang tertidur dengan trik-trik yang memaksa mereka berpikir supaya mereka terpaksa giat belajar, jangan cuma puas sebagai sampah yang bangga dengan fatwa- fatwa yang seolah lahir dari egoisme belaka. Sekarang ini kita adalah mayoritas di dunia, bagaimana bila kita jadi yang minor.

Masihkah kita berani vokal berjubah hadist dengan mengesampingkan hati dan akal sehat ?

Jihad adalah perjuangan untuk mencapai hal yang lebih baik kemasa depan dalam kondisi rahmatan lil alamin.Meskipun membolehkan perang dan membunuh lawan, dengan sangat jelas Allah melarang perbuatan yang berlebih-lebihan melampui batas,dan Allah tidak suka kita berbuat yang melampui batas karena tidak membuat semuanya menjadi lebih baik.

Hawa nafsu, kemarahan harus ditundukkan oleh akal sehat dan keikhlasan. Mencegah kemungkaran harus dalam orientasi untuk amar ma’ruf. Untuk membangun kehidupan yang lebih baik bukan untuk menghancurkannya.

Dalam Al-Qur’an surah al maa’idah (5) : 8

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan jamganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat diatas memberikan koridor umum kepada umat Islam agar dalam melakukan ibadahnya tidak didasari oleh kebencian. Tidak boleh berlaku tidak adil dan aniaya semata-mata disebabkan oleh kebencian itu meskipun dengan alasan, mereka menghalang- halangi ibadah kita.

Dalam ayat diatas dikatakan janganlah sekali-kali kebencianmu mendorongmu berbuat aniaya semua langkah dalam beragama ini harus didasarkan karena Allah semata. Itulah yang diajarkan dalam QS. 5:8 diatas; Tegakkanlah kebenaran hanya karena Allah semata.

Berjihad dikarenakan kebencian hanya akan menurunkan nilai jihad kita dimata Allah bahkan melanggar perintahnya. Bagaimana bisa kita menjalankan perintah Allah dengan cara melanggar larangan-Nya.

Perlu diingat kejadian tentang kisah sahabat Ali bin Abi Thalib ketika perang tanding yaitu ketika ia bisa menjatuhkan musuhnya, tetapi tidak jadi membunuhnya karena dia dilanda kemarahan yang sangat disebabkan diludahi oleh musuh yang sudah tergeletak hampir dibunuhnya. Ia tidak jadi membunuhnya bahkan meninggalkan musuhnya itu, sehingga ditanya oleh salah seorang sahabat kenapa tidak dibunuhnya musuh yang sudah tak berdaya itu ? Ia menjawab bahwa ia sedang marah karena diludahi sehingga kalau ia membunuh musuh saat itu perbuatannya bukan karena Allah melainkan karena kemarahan. Ali menerapkan substansi ayat-ayat diatas, bahwa jangan sampai membunuh dikarenakan kebencian melainkan harus murni karena Allah semata tanpa hawa nafsu yang menguasainya.

Maka jihad harus dimaknai secara tepat dan proporsional. Secara umum adalah bermakna berjuang di jalan Allah untuk semakin mendekatkan diri dalam beribadah kepada-Nya.

Ada lima ayat yang memerintahkan jihad kepada umat Islam dan dari kelima ayat itu yang bermakna perang fisik cuma satu, selebihnya adalah bermakna perjuangan untuk mendekatkan diri kepadaNya dan menyiarkan agama Islam kepada umat manusia.

Kelima ayat tersebut terdapat dalam surah yaitu 1) QS. Al Maaidah (5) : 35, 2) QS. At- Taubah (9) : 41, 3) QS. At- Taubah (9) : 73,4) QS. Al Hajj (22) : 78 keempat ayat tersebut mengajak kita untuk bersikap teguh terhadap pelaksanaan perintah agama secara istiqomah tidak mengajak kita untuk berperang, dan yang Kelima dalam QS. Al Furqaan (25) : 52 yang artinya “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhdadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang benar.

Karena itu memaknai Jihad hanya sebagai perang fisik adalah mempersempit substansi jihad itu sendiri dan mendegradasi kualitas agama Islam dari agama damai menjadi agama perang yang menakutkan bagi siapa saja.....

Sekali lagi Islam adalah agama yang penuh kedamaian, bukan agama keras dan penuh kekerasan. Benturan antar ”kebenaran” terjadi saat orang-orang berani mengambil-alih jabatan Tuhan, fungsi Tuhan, dan kerjaan Tuhan. Padahal, dalam ajaran tauhid, urusan kebenaran adalah hak prerogatif Tuhan, jadi bagaimana kita berusaha meminimalkan benturan itu menjadi sifat yang toleran dan welas asih terhadap sesama, membenarkan yang salah dengan hati dan akal sehat, dengan opini otak yang cerdas dan cendekiawan bukan dengan okol tangan atau senjata, membangunkan kaum Muslim yang tertidur dengan trik-trik yang memaksa mereka berpikir supaya mereka terpaksa giat belajar, Jangan cuma puas sebagai sampah yang bangga dengan fatwa- fatwa yang seolah lahir dari egoisme belaka. Sekarang ini kita adalah mayoritas di dunia, bagaimana bila kita jadi yang minor. Masihkah kita berani vokal berjubah hadist dan AQ (padahal ilmu mereka nol!) dengan mengesampingkan hati dan akal sehat ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun