Mohon tunggu...
Cut Kharisa Maharani
Cut Kharisa Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - 23107030083 Ilmu Komunikasi - UIN Sunan Kalijaga

Perempuan yang berjuang melawan dirinya sendiri untuk terus maju menjadi versi yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mental Health Ditekan dengan Ikhlas?

8 Juni 2024   23:49 Diperbarui: 9 Juni 2024   05:20 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/2FdXWomJW

Di Indonesia, kita sering mendengar kata-kata yang penuh makna atau bernuansa spiritual dari orang-orang di sekitar kita. Kata-kata ini termasuk ikhlas, berserah, pasrah, menerima, sabar, dan sebagainya. Kata-kata tersebut sering kali disampaikan dalam berbagai situasi, baik saat kita menghadapi cobaan hidup, dalam percakapan sehari-hari, maupun dalam nasihat yang diberikan oleh orang tua dan tokoh masyarakat. Namun, ketika kita benar-benar berada dalam situasi yang menuntut kita untuk mengamalkan kata-kata tersebut, kita sering kali merasa kebingungan dan sulit untuk melakukannya. Bagaimana sebenarnya caranya untuk benar-benar ikhlas, pasrah, dan sabar? Apa makna dari semua kata-kata tersebut dalam praktik nyata kehidupan kita?

Kata-kata seperti ikhlas, pasrah, dan sabar, meskipun sering digunakan, bisa terasa sangat abstrak. Saat seseorang mengatakan "sabar, nak, sabar," apa yang sebenarnya dimaksud? Apakah kita harus menekan perasaan kita, menahan emosi kita, dan tetap tenang dalam segala situasi? Namun, sering kali ikhlas dan sabar terasa sangat sulit untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Banyak dari kita merasa bahwa menekan emosi bukanlah solusi yang tepat, dan mungkin merasa mental health kita terganggu sehingga frustasi ketika nasihat untuk bersabar atau ikhlas terasa tidak realistis.

Dalam kenyataannya, melepaskan sesuatu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Mengapa begitu sulit untuk ikhlas? Salah satu alasan utamanya adalah kita jarang sekali benar-benar mempraktikkannya. Seandainya ada "ilmu kesuksesan" tentang meraih dan mencapai sesuatu, mungkin kita sudah mahir dalam hal itu. Sejak kecil, kita sudah diajarkan untuk selalu mencapai sesuatu: "Nak, kamu harus juara satu," "Nak, kamu harus begini," dan seterusnya. Tekanan untuk selalu meraih sesuatu sudah menjadi bagian dari hidup kita. Kita diajari untuk berkompetisi, untuk menjadi yang terbaik, dan untuk terus berusaha tanpa henti.

Misalnya, di tempat kerja, jika perusahaan tempat kita bekerja meminta kita untuk meningkatkan target tahunan sebesar 20%, kita tahu langkah-langkah yang perlu diambil. Kita mungkin akan membuat rencana, mengatur strategi, dan bekerja keras untuk mencapai target tersebut. Namun, ketika sesuatu yang tidak terduga terjadi, seperti nilai bitcoin yang jatuh, dan teman kita curhat, sering kali kita hanya bisa berkata, "Ya sudah, ikhlaskan saja. Namanya rezeki tidak akan kemana." Kata-kata tersebut mungkin mengandung pesan yang baik, tetapi tanpa praktik nyata, pesan tersebut menjadi kosong. Ketika kita menghadapi situasi yang sulit, nasihat untuk bersabar dan ikhlas sering kali terasa tidak memadai.

Masalah utama adalah kita jarang mempraktikkan apa yang kita katakan. Anda tidak bisa menjadi sabar hanya dengan membaca kitab suci; Anda harus mempraktikkan kesabaran untuk benar-benar menjadi sabar. Jadi, apa yang harus dilakukan untuk menjadi sabar? Bagaimana cara kita menginternalisasi konsep ikhlas dan pasrah dalam kehidupan sehari-hari?

Saat kita stres, otak kita bekerja dengan sangat cepat. Pikiran kita berputar-putar, dan kita merasa kewalahan dengan berbagai masalah yang harus dihadapi. Kita tidak bisa hanya berkata kepada otak kita, "Hei, otak, tenang dong," karena otak kita dikendalikan oleh sistem saraf yang bekerja secara otomatis. Ketika kita stres, jantung kita juga berdenyut lebih cepat, dan kita tidak bisa memerintahkan jantung kita untuk tenang karena sistem sarafnya otonom. Untungnya, jantung kita terhubung dengan pernapasan kita, sehingga ketika kita mengatur napas, jantung kita akan melambat, dan otak kita menjadi lebih tenang.

Tidak ada orang di dunia ini yang bisa marah-marah dengan napas yang lambat, karena hal tersebut tidak mungkin terjadi. "When you own your breath, nobody can steal your peace" berarti ketika kita bisa mengendalikan napas kita, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mampu mencuri kedamaian dalam diri kita. Dengan kata lain, kemampuan untuk mengatur pernapasan adalah kunci untuk mencapai ketenangan batin dan mengatasi stres.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk belajar mengendalikan napas sebagai langkah awal untuk mencapai ketenangan dan kesabaran. Melalui latihan pernapasan yang benar, kita dapat mengurangi stres dan mengendalikan emosi kita. Latihan ini bisa dimulai dengan teknik-teknik sederhana seperti pernapasan dalam, meditasi, atau yoga. Dengan berlatih secara konsisten, kita bisa mengembangkan kebiasaan yang membantu kita tetap tenang dalam berbagai situasi.

Lebih dari itu, memahami dan mempraktikkan konsep ikhlas, sabar, dan pasrah memerlukan waktu dan kesabaran. Kita perlu memberi diri kita sendiri ruang untuk belajar dan tumbuh. Ikhlas bukan berarti menyerah, tetapi menerima apa yang tidak bisa kita ubah dan berfokus pada apa yang bisa kita lakukan. Sabar bukan berarti menahan emosi, tetapi mengelola emosi dengan cara yang sehat dan konstruktif.

Dengan demikian, kita bisa menerapkan konsep ikhlas, sabar, dan pasrah dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai kata-kata indah, tetapi sebagai tindakan nyata yang membawa kedamaian dan kebijaksanaan. Mari kita mulai mempraktikkan hal-hal kecil dalam kehidupan kita yang membantu kita menjadi lebih sabar dan ikhlas. Ketika kita menghadapi tantangan, mari kita ingat untuk mengatur napas kita, mengelola emosi kita, dan menerima apa yang terjadi dengan hati yang lapang. Serta kita bisa menjalani hidup dengan lebih damai dan bahagia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun