Pesta demokrasi yang setiap lima tahun sekali diselenggarakan di berbagai wilayah di Indonesia merupakan sebuah pesta akbar, dimana masyarakat berkumpul di suatu tempat. Mereka bergurau satu dengan yang lainnya, saling melemparkan senyum satu sama lain, lalu tiba saatnya mereka dipanggil dan dipersilahkan untuk memilih calon pemimpin yang baru, siapa yang kira-kira pantas saat ini untuk memimpin mereka. Itulah kira-kira gambaran apa yang terjadi di sebuah tempat pemungutan suara yang kita harapkan dan kita impi-impikan, dimana mereka bisa memberikan hak suara mereka terhadap calon pemimpin yang menjadi idamannya tanpa adanya intervensi dari siapa saja.
Mencari dan memilih calon pemimpin yang tepat, bukan sebuah pekerjaan yang mudah serta bisa dilakukan oleh semua orang. Mencari dan memilih calon pemimpin yang tepat bagi kemajuan wilayahnya merupakan sebuah perjalanan yang cukup panjang, dimana masing-masing orang tentu mempunyai pandangan, catatan dan pendapat tersendiri terhadap seorang sosok yang tepat bagi dirinya dan masyarakat luas. Mencari dan memilih calon pemimpin tidak bisa dilakukan dengan menutup mata, karena jika hal itu dilakukan, maka resikonya tidak hanya jatuh kepada pribadi kita saja, melainkan juga kepada masyarakat lainnya.
Tidak bisa dipungkiri dan sudah menjadi rahasia umum, belakangan ini untuk menjadi seorang calon pemimpin biasanya (meskipun tidak semua) selalu identik dengan uang dan kekuasaan. Identik dengan uang adalah dimana jika ingin mencalonkan diri sebagai calon pemimpin, maka yang bersangkutan harus membayar kepada partai yang akan mengusungnya. Â Identik dengan kekuasaan adalah dimana ketika calon pemimpin tersebut adalah orang yang saat ini sedang berkuasa baik di pemerintahan maupun di dalam partai politik, maka ia bisa mencalonkan diri sebagai calon pemimpin untuk periode selanjutnya.
Tidak hanya sebatas itu saja, ternyata mesin-mesin partai politik untuk agar calon pemimpin tersebut terpilih menjadi pemimpin, mereka akan melakukan upaya-upaya yang kotor, mulai dengan melakukan suap kepada masyarakat, iming-iming janji yang menggiurkan sampai kepada praktek-praktek kekerasan dengan menggunakan tangan besinya untuk menekan, menteror, menghasut serta intimidasi kepada masyarakat luas agar memilih calon pemimpin yang dimaksud. Dari gambaran tersebut, mungkin terbesit di kepala kita dan masyarakat luas, mengapa pesta demokrasi selalu identik dengan persaingan yang tidak sehat dimana perselisihan dan pertikaian selalu menjadi tontonan gratis yang selalu disajikan menjelang pesta demokrasi tersebut.
Sangat manusiawi jika semua calon pemimpin semuanya ingin menjadi pemenang dalam pesta demokrasi. Tetapi kita semua mulai dari calon pemimpin, elit politik, Â masyarakat termasuk penyelenggara pesta demokrasi, kita semua harus mengedepankan kedewasaan dalam berpolitik.
Kedewasaan berpolitik dapat dibangun dengan cara salingmenghargai, mengakui adanya keberagaman partai politik, tidak adakekerasan, tidak mudah terprovokasidan membangun sikap toleransi sesama partai politik. Kedewasaan dalam berpolitik harus dimulai dari proses berpolitik sampai kepada hasilnya yaitu menerima apapun hasil dari pesta demokrasi tersebut. Rasa aman dan damai pada pesta demokrasi baik menjelang maupun sesudah harus menjadi pedoman dan tonggak yang kokoh untuk saling bersama-sama membangun.
...Sudah saatnya, kita semua harus memulai segala sesuatu yang baru dengan itikad yang baik, agar upaya kita tersebut membuahkanhasilyangmelimpah-limpah, sehinggahasiltersebut dapat dirasakan oleh semua orang, bukan hanya untuk diri kita saja...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H