Mohon tunggu...
Cut Amelia Hasymi
Cut Amelia Hasymi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Edukasi Multikultural: Membangun Kesadaran tentang Disabilitas pada Anak-Anak Minoritas

8 Januari 2024   21:36 Diperbarui: 8 Januari 2024   21:41 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Selama dekade terakhir, Indonesia telah mencapai kemajuan yang stabil dalam meningkatkan pendapatan per kapita dan kemajuan yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan. Namun, negara ini menghadapi tantangan dalam mencapai pemerataan pembangunan, dimana tingkat kemiskinan masih dianggap sangat tinggi di banyak daerah di Indonesia dan kesenjangan masih ada terutama di kalangan masyarakat marginal dan rentan, termasuk penyandang disabilitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas berarti keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang, atau keadaan tidak mampu melakukan hal-hal dengan cara yang biasa. Penyandang disabilitas juga termasuk dalam kelompok yang rentan. Kelompok rentan adalah kelompok yang paling sering mengalami diskriminasi dan haknya sering tidak ditegakkan. Hal ini bukan tanpa alasan, karena penyandang disabilitas sering kali dipandang sebagai penyandang disabilitas yang diperlakukan secara berbeda dan masih banyak hak lain yang belum terpenuhi bagi penyandang disabilitas. Umumnya, penyandang disabilitas mempunyai kedudukan, dimana hak dan kewajiban yang sama dengan non penyandang disabilitas. Sebagai bagian dari kewarganegaraan Indonesia, sudah sepatutnya penyandang disabilitas mendapat perlakuan khusus, hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi, dan khususnya untuk melindungi dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia.(Ndaumanu, 2020)

Data menurut Badan Pusat Statistik (BPS), SAKERNAS pada tahun 2011 jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia adalah 237,641,326 orang dengan jumlah penduduk usia kerja adalah 171,755,077 orang. Menurut data PUSDATIN dari Kementerian Sosial pada 2010, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah 11,580,117 orang dengan diantaranya 3,474,035 penyandang disabilitas penglihatan, 3,010,830 penyandang disabilitas fisik, 2,547,626 penyandang disabilitas pendengaran, 1,389,614 penyandang disabilitas mental dan 1,158,012 penyandang disabilitas kronis. Sementara menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2010 jumlah penyandang disabilitas adalah 7,126,409 orang (Organization, 2017). Namun pada tahun 2020 data jumlah penyandang disabilitas di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 22,5 juta. Sementara Survei Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2020 mencatat ada 28,05 juta penyandang disabilitas. Adapun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut persentase difabel di Indonesia 10 persen dari total penduduk atau sekitar 27,3 juta orang. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun jumlah penyandang disabilitas di Indonesia semakin bertambah banyak. Maka dari itu program dan kegiatan yang berkaitan dengan prinsip kesetaraan bagi penyandang disabilitas perlu didukung, dilaksanakan secara komprehensif dan berkelanjutan yang didukung oleh sarana dan prasarana khusus bagi penyandang disabilitas dan seluruh masyarakat mempunyai hak yang sama.

Salah satu contohnya adalah penyandang disabilitas pada anak-anak, dimana beberapa anak penyandang disabilitas terus menjalani kehidupan mereka dengan stigma, tidak diakui, dikucilkan, dan bahkan dilupakan oleh keluarga. Mereka mengalami penolakan sejak lahir, dianggap memalukan, dan menjadi beban keluarga. Pemenuhan hak-hak sebagai anak pun terabaikan. Akibatnya, anak-anak dengan berbagai macam disabilitas baik fisik, sensorik, intelektual, dan mental tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan anak-anak non disabilitas dalam berbagai bidang kehidupan dan menjalani kehidupan yang terpinggirkan. Di sektor pendidikan misalnya, jumlah anak penyandang disabilitas yang bersekolah masih sangat rendah. Meskipun terdapat program sekolah inklusif, ketersediaan sekolah inklusif dan guru berkebutuhan khusus masih jauh dari harapan. Bagaimanapun, sebagian besar anak penyandang disabilitas tidak punya pilihan selain bersekolah di sekolah luar biasa (SLB).

Berbeda halnya dengan Putri Ariani dimana Putri Ariani lahir dengan kondisi Retina of Premature (ROP) dan dinyatakan buta total ketika usianya masih mencapai 3 bulan. Meski demikian, Ia tidak membiarkan keterbatasan fisiknya menjadi penghalang dalam mengejar mimpi. Gadis yang berdomisili di Jogja tersebut menemukan bakat bernyanyinya saat berusia 2 tahun. Kegemarannya itu muncul sebab Ia sering meniru bunyi suara yang didengarkan. Orang tua Putri pun terus memberikan dukungan kepada anak sulung mereka. Seperti yang baru-baru ini, Putri Ariani menjadi viral karena penampilan memukaunya yang menarik perhatian para juri dan penonton America's Got Talent. Simon Cowell, salah satu juri bahkan menekan tombol Golden Buzzer, dan Putri Ariani berhasil mencatat sejarah baru sebagai penampil asal Indonesia yang tembus ke final America's Got Talent dan meraih posisi ke-4. Hal ini membuktikan bahwa anak-anak penyandang disabilitas memiliki hak dan kemampuan yang sama dengan anak non disabilitas dan dengan adanya dukungan dari keluarga membuat anak-anak penyandang disabilitas itu semakin bersemangat dalam meraih cita-cita yang diinginkannya.

Tetapi saat ini masih adanya kurang pemahaman terhadap penyandang disabilitas di kalangan orang tua dan anggota keluarga yang membuat anak penyandang disabilitas sulit lepas dari stigma. Anak penyandang disabilitas masih dianggap memalukan oleh keluarga sehingga keluarga cenderung menyembunyikan kehadirannya. Faktanya, banyak anak penyandang disabilitas intelektual yang "ditinggalkan" oleh keluarganya dan dikirim ke lembaga sosial, dimana mereka diperlakukan secara tidak manusiawi.

Pendataan terhadap anak-anak penyandang disabilitas dengan berbagai disabilitas juga sangat minim, sehingga mengakibatkan kurang terpenuhinya hak-hak mereka sebagai anak, khususnya kesehatan dan pendidikan. Menurut data Profil Anak Indonesia Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, dari 84,4 juta anak Indonesia 0,79% atau 650.000 anak merupakan penyandang disabilitas. Hasil jangka panjang Sensus tahun 2020 yang dilakukan BPS juga menunjukkan prevalensi anak penyandang disabilitas usia 5 hingga 17 tahun sebesar 0,52% atau 299.710 jiwa. Selain tidak terpenuhinya hak-hak mereka, pendataan anak penyandang disabilitas juga masih sangat rendah. Faktanya, data terpilah mengenai anak penyandang disabilitas tidak ada.

Selain hak-hak yang tidak ditegakkan, ada pun permasalahan lain yang dihadapi oleh anak-anak penyandang disabilitas, yang pertama yaitu tentang pendidikan. Dari segi pendidikan anak penyandang disabilitas, selain sekolah luar biasa negeri (SLB), terdapat sejumlah yayasan yang memberikan pendidikan kepada anak penyandang disabilitas. Salah satunya adalah Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) yang memiliki 17 cabang di daerah. Pendidikan yang diberikan YPAC berkisar dari pendidikan khusus tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah. Tetapi, saat ini YPAC menghadapi banyak tantangan di bidang pendidikan, salah satunya adalah terus menurunnya jumlah guru berkebutuhan khusus. Sejalan dengan kebijakan pemerintah mengenai penempatan guru ASN di luar lembaga pemerintah, YPAC tidak lagi diajar oleh guru yang berstatus ASN.

Selain permasalahan tentang pendidikan, para anak-anak penyandang disabilitas juga menjadi korban dalam kekerasan seksual. Berdasarkan data pengaduan melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi PPA) ataupun Layanan Pengaduan SAPA129, pada tahun 2022 terdapat 250 kasus kekerasan terhadap anak disabilitas. Adapun pada periode Januari-Agustus 2023, tercatat 121 kasus kekerasan terhadap anak disabilitas dengan 122 korban, yang terdiri dari 91 anak disabilitas perempuan dan 31 anak disabilitas laki-laki.

Dalam hal ini terkait isu disabilitas pada anak, terdapat beberapa teori yang membantu menjelaskan, memahami, dan mengatasi tantangan yang dihadapi anak penyandang disabilitas. Beberapa teori tersebut melibatkan pendekatan medis, sosial, pendidikan, dan psikologis/interaksi sosial. Dalam pendekatan medis, orang sekitar perlu fokus pada aspek fisik atau biologis yang menyebabkan atau berhubungan dengan disabilitas. Dalam pendekatan sosial, bisa dengan menekankan peran lingkungan dan masyarakat dalam membentuk pengalaman anak penyandang disabilitas dan menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi anak dapat diatasi melalui perubahan menuju lingkungan yang lebih inklusif dan penerimaan sosial. Pada pendekatan pendidikan, teori yang digunakan berupa mendorong pendidikan yang mengintegrasikan anak-anak penyandang disabilitas ke dalam ruang kelas umum dan memberikan mereka dukungan yang mereka perlukan, selain itu juga menyatakan bahwa semua anak berhak belajar bersama dan berpartisipasi dalam lingkungan pendidikan inklusif. Sedangkan dalam pendekatan psikologis/interaksi sosial, teori yang digunakan dengan cara menelaah interaksi antara anak penyandang disabilitas dengan teman sebayanya dan lingkungan sosialnya, dan yang terakhir dengan menekankan pentingnya integrasi sosial dan dukungan teman sebaya. Dari semua teori yang ada, penting untuk dipahami bahwa semua anak penyandang disabilitas mempunyai kebutuhan dan karakteristik yang unik, dan bahwa pendekatan pendidikan dan dukungan harus terus dipertimbangkan. Selain itu, mengintegrasikan berbagai teori tersebut dapat memberikan pendekatan holistik dalam memahami dan mengatasi permasalahan disabilitas anak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun