Ketika mengunjungi salah satu wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia yaitu Entikong, Kalimantan Barat, banyak hal unik yang saya temukan.
Desa-desa di sana tidak semuanya dapat dijangkau dengan kendaraan darat dan jaringan telepon, sehingga komunikasi antara pihak kecamatan dengan kelurahan/desa kurang lancar.
Entikong merupakan wilayah transisi. Masyarakat Entikong datang dari berbagai penjuru. Ada penduduk Entikong yang merupakan para eks Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Selain itu, ada pula para pendatang yang secara khusus bekerja/berdagang yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia (Padang, Jawa, NTB), dan dari Malaysia. Orang-orang Malaysia yang hidup di Entikong rata-rata para pemodal yang menikah dengan masyarakat Kalimantan Barat, khususnya Entikong.
Rumah-rumah di Entikong dibangun di sepanjang jalan. Rumah-rumah tersebut sangat dekat dengan jalan, sehingga kemungkinan kecelakaan di wilayah sepanjang jalan menjadi tinggi yaitu antara pengendara dengan warga ataupun hewan milik warga.
Masalah utama di sana adalah tidak tersedianya infrastruktur yang memadai untuk warga mengakses wilayah Indonesia yang terdekat. Bahkan semua kebutuhan warga dusun ini dipenuhi oleh pemasok dari Malaysia sehingga warga hanya mengenal mata uang Ringgit, bukan Rupiah pada saat itu. Namun, setahu saya, pemerintah sudah mulai membangun infrastruktur secara bertahap, guna meningkatkan perekonomian, sarana kesehatan, dan pendidikan.
Pengalaman unik yang saya rasakan pada saat berkunjung di sana, yaitu ketika keluar pada malam hari ke pemukiman untuk mencari rumah makan. Cukup sulit untuk mendapatkan yang masih buka pada saat itu, dan akhirnya kami tiba di satu restoran yang cukup higienis dan terang di pinggiran jalan. Kami pun duduk dan pelayan memberikan menu untuk dipilih.Â
Setelah setengah jam kami menunggu sambil berbincang, pelayan datang memberi kabar bahwa koki di restoran tersebut sedang mogok kerja sehingga makanan tidak dapat dihidangkan. Bingung bercampur rasa lapar kami rasakan tapi mau bagaimana lagi, padahal kami melihat kokinya memang ada di dapur.
Begitulah kondisi pelosok di perbatasan yang saya jumpai pada saat itu. Menarik bagaimana kita bisa mempelajari budaya, kedaulatan NKRI, SDM, perekonomian, dan pendidikan di sana. Ingin sekali berkunjung kembali, dan melihat perkembangan yang pastinya jauh lebih baik sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H