Mohon tunggu...
Cut Zamharira
Cut Zamharira Mohon Tunggu... -

Menulis utk membunuh waktu dan merekam jejak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Puasa Ramadhanku, Dulu dan Kini

16 Agustus 2012   20:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:39 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Alhamdulillah sejak usia enam tahun aku sudah berpuasa penuh.Meskipun masih di iming-iming dengan hadiah dari orang tua kala itu, namun perlahan-lahan, tahun ke tahun aku mengerti makna puasa dan hadiah pun tidak menjadi syarat yang kuajukan jika aku berhasil berpuasa sebulan penuh.Aku ingat betul bagaimana usaha orang tua saat membangunkan aku sahur, terkadang harus di gendong sampai di kursi makan. Menghibur aku saat merasa tidak sanggup lagi untuk melanjutkan puasa sampai maghrib.Biasanya Ayah membawaku jalan-jalan berkeliling kota dengan motor, sehingga waktu terasa berjalan lebih cepat dari pada jika hanya menunggu waktu berbuka di rumah saja. Demikian juga sebelum waktu berbuka Ibu menanyakan aku mau buka puasa dengan apa hari ini?, dan aku boleh menyebutkan makanan apa yang kusuka.Setelah dewasa aku mengerti ini dilakukan agar aku lebih bersemangat dalam menjalankan ibadah puasa.Jika kedua usaha ini juga masih membuat aku seakan menyerah pada godaan syaitan untuk berbuka sebelum waktunya, maka Ibu akan mengingatkan:“kan nanti hadiahnya berkurang nak, ayo semangat!”.“Ternyata sejak kecil aku sudah matre ya?”, lucu juga jika mengingat saat mulai belajar berpuasa.Tidak dapat di pungkiri bahwa peran aktif orang tua memang mendukung proses keimanan anak-anaknya, termasuk dalam ibadah berpuasa.

Sepanjang hidupku, aku belajar beradaptasi dalam beberapa lingkungan yang berbeda saat bulan Ramadhan.Syukur aku belajar berpuasa saat kecil di Aceh, sehingga ketika sudah besar berpuasa di luar daerah tidak lagi terasa berat karena sudah terbiasa dan lebih kuat.Akan berbeda ceritanya jika aku menjalani puasa pertama kali dalam hidupku di luar Aceh.Bagaimana tidak, Aceh yang penduduknya hampir seratus persen beragama Islam (hanya empat persen non muslim, yaitu warga pendatang) memang menerapkan aturan ketat saat bulan Ramadhan.Diantaranya, warung makan, minum tidak di izinkan beroperasi sebelum jam empat sore. Jika ada yang nekat maka akan di proses sesuai dengan hukum yang berlaku. Sekolah juga hanya aktif satu minggu yang diisi dengan pesantren kilat dengan durasi waktu yang jauh lebih singkat dibanding hari biasa. Jadi nuansa Ramadhan begitu kental.Ketika keluar rumah, kita akan mendapati jalanan yang sepi, warung semua tutup, tidak akan berpapasan dengan orang yang sedang makan, minum atau sekadar melihat segarnya es campur yang dijajakan di pinggir jalan siang bolong.Namanya juga anak-anak pasti godaanya sangat kuat di tambah dengan pengetahuan yang masih minim tentang shaum.Oleh karena itu, aku salut jika mengetahui ada anak kecil yang mampu berpuasa sebulan penuh di luar Aceh.Anak-anak tersebut jauh lebih baik dari aku, mereka sudah tahan godaan dari luar rumah sejak kecil, di tengah keberagaman, di mana warung makan buka seperti hari biasa. Subhanallah, semoga Allah melipat gandakan pahala mereka.

Ketika melanjutkan pendidikan ke Jogja, aku mulai melihat beberapa perbedaan suasana Ramadhan disana.Selain tempat makan, minum yang buka seperti biasanya, budaya keliling kampung sekelompok anak muda untuk membangunkan warga sahur yang pernah aku lihat di televisi ada disana.Di Aceh budaya ini juga ada, namun dengan cara yang berbeda, yaitu dilakukan antar tetangga.Jika ada warga yang sudah bangun di awal waktu, maka ia akan mengetuk pintu rumah atau sekedar memanggil tetangga kiri dan kanannya guna memastikan bahwa sang jiran sudah bangun sahur.Begitu seterusnya.Alhamdulillah meskipun dengan cara yang tidak sama, namun tujuan mulia ini semoga terus di pelihara.

Setelah menikah, aku mendampingi suami melanjutkan studi ke Maroko.Suasana Ramadhan di sana juga sangat terasa, yang berbeda justru ketika waktu sahur tiba.Masyarakat setempat tidak mengenal jam sahur seperti di Indonesia (antara pukul 2 sampai 5 pagi).Mereka terbiasa begadang, selepas tarawih pulang ke rumah, membaca qur’an atau sekadar bercengkrama bersama keluarga sembari menyiapkan makanan dan selanjutnya bersantap sahur pada pukul dua belas malam.Tidak heran jikatengah malam semua lampu apartemen menyala dan terdengar suara blender yang sahut menyahut.Muslim Maroko terbiasa minum jus alpukat saat sahur, sepanjang Ramadhan.Keakraban sahur mereka terjalin tengah malam, sambil memasak saling tegur sapa antar tetangga melalui jendela-jendela apartemen. Sahur mereka sangat meriah dengan suara-suara yang besar khas arab. Mungkin hanya lampu apartemen kami yang mati pada jam tersebut, karena kami masih terbiasa dengan sahur menjelang subuh seperti di Indonesia. Jadi pada jam tersebut justru kami sedang mencoba menggapai alam bawah sadar ditengah keramaian jam sahur tetangga.Usai santap sahur biasanya ada yang melanjutkan shalat tarawih putaran kedua di Mesjid.Di Maroko tarawih berlangsung dua putaran.Menjelang subuh,hanya lampu rumah kami yang menyala, giliran kami yang sahur.Sejauh mata memandang diluar sana hanya kegelapan. Awalnya aku sedikit takut dengan kesunyian yang jelas terlihat dari balik jendela dapur yang sengaja di biarkan terbuka di musim panas.Berhubung di lingkungan kami tinggal hanya kami satu-satunya warga Indonesia bahkan Asia, maka suasana sahur kami sangat hening, tenang, jauh dari sahut-sahutan panggilan bangun sahur, tidak ada suara sodet yang mengaduk makanan sedang dipanaskan, tidak ada bunyi blender disana sini.Tidak ada ketukan pintu dari tetangga yang coba memastikan kami sudah bangun atau belum.“Sahur terkhusyu’ seumur hidup”, candaku pada suami saat itu.Hanya ada aku dan suami di tengah lelapnya tidur tetangga.Jauh dari keriuhan seperti beberapa jam sebelumnya.

Tapi kalau jam berbuka, tentu tidak ada perbedaan, hanya makanannya saja yang berbeda.Demikian juga dengan budaya saling membagikan makanan berbuka juga ada disana.Hanya saja jamaah shalat tarawih di sana lebih di domiasi oleh kaum pria, sedangkan wanita lebih banyak memilih shalat di rumah.

Ramadhan tahun ini kami sekeluarga kembali menikmatnya di kampung halaman.Kembali menikmati sesekali dibangunkan tetangga dan sebaliknya untuk sahur. Kembali mendengar suara sirine dari Mesjid saat berbuka dan imsak. Kembali larut dalam keheningan jalanan di pagi hingga waktu ashar tiba.Kembali menyaksikan puluhan pedagang takjil dadakan di sepanjang jalan.Kembali berkaca pada anak tentang potret masa kecil saat mulai berpuasa.Keluhan-keluhan mereka pada saat berpuasa adalah keluhan-keluhan kami juga di waktu kecil.Sesekali menikmati sahur bersama orang tua di rumah penuh kenangan masa kecil.

Terasa begitu sulit memang melatih anak berpuasa, terutama saat  membangunkan sulung kami Fathi (7tahun) untuk makan sahur.  Meskipun malam hari dia sudah bersemangat akan bangun sendiri sahur nanti, namun pada prakteknya dia lebih sering kubangunkan, bahkan kugendong sampai kursi makan.  Belum lagi saat mengajaknya shalat subuh, ia lebih sering terkantuk-kantuk saat melaksanakan shalat subuh.  Kemudian di pagi hari harus berangkat sekolah.  Berangkat sekolah sangat semangat, namun ketika pulang  mulai terlihat  muram.  Biasanya usai shalat dzuhur aku mengajaknya tidur siang dengan harapan dia kembali segar saat bangun nanti.  Memang berhasil ketika bangun kemudian shalat ashar dan aku mengantarkannya ke tempat les, dia memang terlihat sudah kembali bertenaga.  Namun keluhan justru datang jelang   waktu berbuka, yaitu lima belas menit sebelum adzan maghrib.  Aku mencoba mengatasinya dengan menggendongnya sesekali dan bercerita untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa lapar dan haus.  Tahun lalu dia memang sudah berlatih puasa, namun tidak sampai sebulan penuh.  Mungkin kesadaran dan kemampuannya saat itu masih terbatas.

Empat hari pertama terus seperti itu, merenggek sebelum waktu buka.  Pernah aku menyerah dengan menyuruhnya berbuka saja.  Namun apa yang kudapat, Fathi justru tidak mau berbuka sebelum waktunya, tapi terus merenggek.  Dia coba menguatkan diri dan meyakinkan aku bahwa dia sanggup berpuasa sampai adzan maghrib tiba.  Aneh pikirku, dia ingin  menyerah, akan tetapi merasa sayang jika tidak sampai penuh berpuasa.  Padahal aku tidak menjanjikan hadiah apapun saat itu, dan anakku juga tidak pernah meminta imbalan apa-apa.  Berbeda dengan aku saat seusia dia, aku sudah mulai mengenal uang, karena diberi jajan setiap berangkat sekolah.  Fathi lebih sering kubekali makanan dari rumah, sehingga sampai usia tujuh tahun ini pun dia belum mengenal nilai uang.  Mana seribu, sepuluh ribu, berapa harga makanan dia sama sekali tidak tahu.  Makanya dia tidak meminta hadiah sejumlah uang untuk keberhasilan puasa penuhnya itu.  Yang ia tahu hanyalah setiap hari jum'at membawa uang untuk infaq sebanyak-banyaknya karena "kasihan anak yatim" katanya.  Kadang terpikir olehku "yang matre anak zaman sekarang atau anak zaman dulu".

Perjuanganku membangunkannya sahur terbayar sudah ketika kusadari dia telah berpuasa penuh hampir satu bulan (tinggal dua hari lagi Ramadhan), dan renggekan jelang berbuka pun hanya berlangsung empat hari.  Alhamdulillah, kebahagiaan orang tua adalah ketika mendapati anak-anaknya berhasil menjalankan perintah Allah.

Ramadhan memang istimewa, terutama saat sahur.Berbuka tidak selamanya dengan keluarga, kadang bersama teman sekolah, teman kantor, kolega, di tengah jalan saat terjebak macet.Namun makan sahur biasanya sebulan penuh bersama keluarga.Ini juga diantara keistimewaan sahur. Dimana pun kita melaksanakan rukun Islam ketiga ini upayakanlah bersantap sahur, karena ada berkah di dalamnya, “Bersahurlah karena di dalamnya terdapat berkah.” (HR. Bukhari dan Muslim), dan Rasulullah Saw. bersabda, “Perbedaan antara puasa yang kita lakukan dengan puasa yang dilakukan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah dalam makan sahur yang mereka tidak melakukannya.” Rasulullah Saw. juga bersabda, “Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya mengirimkan rahmat kepada orang-orang yang makan sahur.” (HR. Thabrani dan Ibnu Hibban).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun