Mohon tunggu...
Cut Meutia
Cut Meutia Mohon Tunggu... -

perempuan merdeka, berimajinasi is my hobby. did you know? dengan berimajinasi i can do what i want to do, menulis inipun berawal dari imajinasiku. berpoltik mungkin kebiasaanku, selebihnya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ratapan Sang Rupawan

16 Mei 2012   03:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:14 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ratapan Sang Rupawan.

Oleh: Cut Meutia*

Rintik itu seakan tak pernah bisa berhenti, walau di musim kemarau sekalipun. Isaknya terasa begitu menyakitkan, terlalu dalam, tak mudah untuk memahami dan memaknainya.

Bukan pilihan, bukan juga kesengajaan, tapi taqdir telah menyajikan hidup yang sangat memilukan.

Kebahagian yang digapainya tak semulus impian masa kecilnya, sungguh kejam nasib yang memihak padanya.

”Tuhan...salahkah aku jika harus merampas kebahagian perempuan itu?, sungguh Tuhan,,,aku tak pernah bermaksud mencederai biduk bahagia itu, sungguh!, rasa ini, rindu ini, cinta ini...!, semua gerakMu Tuhan.

Andai aku bisa memilih, aku akan memilih untuk menjadi perempuan paling bahagia di jagad raya ini, tapi sayang, pilihan itu hanya terjadi jika Engkau menggerakkannya. bukankah seperti itu yang selalu diajarkan agama kepadaku?.”

Dipeluk erat guling penggati sang pujaan hati, rasa rindu begitu menggeluyuti jiwa, hampir satu bulan penuh sang pujaan alpa di sisi.

Malam semakin larut, namun mata indahnya tetap tak terpejam, terlintas di benaknya, usia yang masih belia, wajah yang begitu rupawan.

“Betapa malang nasipmu hai badan, terjebak rasa yang tak pernah diketahui asal muasalnya”.

”Sangat tak patut diriku menerima taqdir seburuk ini”. lirih kalbu berbisik.

“Rumah mewah, mobil mewah, semua serba berkecukupan, tapi hati ini tetap saja tak terlampiaskan, terasa hampa, gersang, tandus, haus akan kebahagian”.

Hampa itu semakin mendera ketika jiwa tersadar, sang pujaan hati lagi-lagi tak di sisi, mengimpikan keluarga kecil bahagia, tapi entah kapan bisa tergapai.

”Ganjen!, perempuan jalang!, Suami orangpun kau hembat!”.

Makian itu terus saja terngiang dalam batinnya.

“Ya allah!, salahkah aku mecintai laki-laki yang sama dengan dirinya?”.

“Salahkah aku jika ingin merasakan kebahagian seperti dirinya?”.

“Salahkah aku jika merindukan belaian, kasih sayang, pelukan, dan ciuman cinta dari lelaki yangjuga dirinduinya?”

“Kenapa semua telunjuk menudingku?”.

“Kenapa semua mata menghakimiku?”.

“Tidakkah mereka pernah merasakan bagaimana rasa cinta itu datang?”

“Bukankah langkah, rezeki, pertemuan dan maut tidak ada yang mampu menerkanya?”,

“Tapi kenapa mereka menyalahkanku?.

“ Bukankah pertemuanku dengan lelaki milik perempuan itu juga bagian dari gerak sang kuasa?”.

“Lantas kenapa mereka mencaci dan memakiku?”.

“Kenapa mereka terus saja menghakimiku?”

“Bukankah mereka juga pernah merasakan jatuh cinta?

Air mata itu terus saja mengalir, dalam kerapuhan dihempasnya guling dari pelukan, seakan ingin melepas beban yang yang begitu menghimpit.

Berlahan tubuh indahnya bangkit, beranjak dari pembaringan yang berlapiskan satin sutra dengan paduan mawar berwarna merah membara.

Aroma jasmin tercium begitu menggoda, sengaja dipersiapkan sang rupawan untuk menyambut pujaan hati yang tak kunjung tiba.

Betapa rindu dirinya akan ciuman dan dekapan hangat tubuh berpeluh seperkasa sang pujaan, lama sudah ranjang berukiran khas para raja diam tak bergoyang.

Berlahan kakinya melangkah menuju cermin di sudut kamar kenikmatan. Mata indahnya memandang tubuh mungil berkulit putih bersih yang di balut gaun malam perempuan berkelas, semakin mempertegas kalau dirinya sangat tak pantas menyandang predikat istri yang kesekian.

Mata itu terus saja menghujam setiap lekukdari bagiantubuhnya, tanpa disadari, jari-jari lentiknyapun meraba dan terus meraba sekujur tubuhnya, semakin menjalar sampai pada titik indah yang terlarang,menjadikan amarah gila itu semakin menjadi-jadi.

Bayang wajah sang pujaan terus saja menggoda hasratnya, memaksa diri menahan birahi yangsemakin memuncak

”Aku harus mengakhiri kenikmatan dan keindahan ini dalam dekapannya, persetandengan mereka-mereka!, aku tak peduli, aku hanya mau ranjangku bergoyang kapanpun aku mau”. Jiwanya mulai meronta.

Dengan gairah yang membara, diraihnya telefon genggam yang tergeletak di meja riasnya.

Sedikit gemetar ditekannya nomor 08116807234.

Berselang beberapa detik, terdengar jawaban keras yang menghentak

”Hai perempuan gatal!, mau apa kamu menelfon suamiku di tengah malam buta!”.

Mendengar suara yang menghujat,energy dan birahinyapun luluh seketika, tak terasa telefon genggam itupun jatuh terburai dari genggaman, seiring dengan leburnya cacian dan makian perempuan di seberang sana.

Hasrat yang sudah memuncak itupun cair seketika, persendiannya terasa rapuh, jantungnya seakan berhenti berdegup, antara cemburu dan rindu kini bercampur menjadi padu.

Terbayang tubuh berpeluh hangat dalam dekapan mesra perempuan selain dirinya, hayalnya terus menerawang, rindu itu tiba-tiba saja melebur dalam genangan rasa cemburu, sakit kalbunya bak sayatan sembilu, perih tak tertahan, melebihi amarah cinta yang baru saja berkobar.

Andai saja nomor itu tidak ditekannya, pasti dirinya tak akan mendengar suara halilintar sangperempuan.

Lagi-lagi sang rupawan memaki dirinya sendiri, memaki kekonyolan yang telah dibuatnya. Air mata terus saja mengalir beranak sungai dipelupuknya.

“Ya allah sungguh Engkau maha tahu, aku tak akan pernah bisa melupakan aroma tubuh bepeluh itu”.

“Aku hanya ingin ranjangku bergoyang kapanpun kumau, tak ubahnya ranjang perempuan itu”.

“karna aku juga istrinya!”

“Hanya waktu yang menjadikan perjodohanku dengan perempuan itu berbeda, “ Jika saja aku lebih dulu bertemu dengan sang pujaan, sudah pasti akulah yang akan menuding dirinya perempuan gatal, persis seperti dirinya menudingku”.

“Tak patut, sungguh tak patut mereka menghakimi dan menudingku, semua ini bukan gerakku, aku hanya menginginkan cinta, aku hanya butuh belaian, aku butuh kasih sayang, sama seperti inginnyaperempuan-perempuan pengunjing di sudut desa di seberang sana!, sehebat siapapun perempuan itu, aku yakin mereka juga memiliki ingin yang sama dengan inginku”.

“kenapa perempuan-perempuan yang berada di posisi pertama selalu menyalahkan perempuan di posisi kesekian?”.

“Bukankah kami ini sama-sama perempuan? Sama-sama makluk Tuhan yang menginginkan cinta dan kasih sayang lelaki pujaan”.

Batinnya terus saja meratapi nasib yang tak pernah dikehendakinya, entah sampai kapan rintik itu akan berakhir.

“Bumi terus saja berbutar, tapi warna negeriku tetap saja membosankan”.

“Agamaku bercerita bahwa poligami itu halal adanya, taqdir itu bukan kehendak makluk melainkan gerak yang kuasa,tapi adat di negeriku berkata, istri kesekian dan kesian adalah perempuan gatal yang merampas kebahagian perempuan lainnya, virus yang pantas untuk dipergunjingkan”.

“Inilah negeriku, negeri di mana perempuannya selalu menyalahkan perempuan lainnya”. Padahal mereka selalu berteriak “ perempuan harus dukung perempuan”. Jika dia seorang pelacur, jika dia istri kesekian, tak pantaskah dia menyandang sebutan “PEREMPUAN?”. Tak pantaskah dia mendapatkan dukungan dan perhatian dari perempuan lainnya?”.

“Entah sampai kapan nasib baik berpihak pada perempuan. Tidakpemerintah, tidak juga rakyat, tidak laki-laki tidak juga perempuan, semuanya sama saja, sama-sama makluk Tuhan yang bertugas untuk menghakimi dan menghimpit kaum yang bernama perempuan.

Sang rupawan terus saja meratap, ratapan yang berhujung di titik kelelahan. Di sudut kamar kenikmatan, tubuh molek itu pun terlelap membawa serta ratapan yang entah kapan ada jawabnya.

*Ibu Rumah Tangga tinggal di Banda Aceh

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun