Mohon tunggu...
Cut Dini Syahrani
Cut Dini Syahrani Mohon Tunggu... -

Perempuan aneh si pecinta kucing yang sangat menyukai warna biru...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

LUKISAN TAK BERDEBU

25 Maret 2011   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:26 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Alunan dentingan piano yang singkat itu kembali mengisi kekosongan malam. Suaranya begitu nyaring dan mampu membangunkan bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya. Itu sering terjadi setiap malam. Entah siapa yang memainkannya. Kami sekeluarga pun tidaktahu.

Rumah yang baru kami tempati ini memang agak sedikit aneh. Bahkan para tetangga pun sering bertanya mengapa kami mau duduk di rumah yang angker ini. Awalnya aku biasa saja. Memang sekilas terlihat angker,namun aku sangat menyukai arsitektur rumah ini. Dengan ukiran yang berbau mesir yang dapat dijumpai hampir di setiap sudut rumah. Lagipula aku bukan tipe penakut apalagi kalau harus takut dengan hal-hal semacam itu.

Aku masih ingat saat pertama kali Ayah mengajakku melihat rumah ini sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membawa kami sekeluarga tinggal di sini. Benar-benar rumah yang tidak terawat. Rerumputan dan pohon-pohon kecil tumbuh liar mengelilingi rumah. Atap rumah banyak yang bocor. Kaca jendela banyak yang sudah pecah. Dan masih banyak lagi kerusakan-kerusakan lainnya. Wajar saja harganya sangat murah.Dan wajar sajakalau rumah ini terlihat angker. Namun dengan sedikit perombakan rumah ini seolah disulap menjadirumah yang megah. Aku sangat menyukainya. Ayah dan Ibu pun juga senang ketika melihatku memuji-muji bangunan yang ada dihadapan kami itu. Mereka hanya memikirkan kesenangan dan kebahagiaan ku. Maklum saja, Sejak kembaran ku meninggal beberapa tahun yang lalu akibat dibunuh orang tidak dikenal, aku sudah menjadianak tunggal.

Memasuki bulan kedua,aku mulai risih dengan suara-suara aneh yang sering kudengar hampir setiap malam. Bukan karena aku takut. Tapi tidurku menjaditerganggu. Sebenarnya aku sangat penasaran dengan ruang dimana arah suara-suara itu berasal. Ruangan yang persis dibawah tangga itu memang tidak diizinkan untuk dimasuki. Begitu lah amanah dari pemilik rumah sebelumnya. Namun itu semua tanpa alasan yang jelas. Ayah pun ikut-ikutan melarangku masuk kesana. Setiap kutanya mengapa, ayah tak bisa menjawab. Sifat penasaranku semakin menjadi-jadi. Aku ingin mengetahui ada apa di dalam sana.

Malam ini kuputuskan untuk masuk ke ruangan itu diam-diam. Persis saat semua sudah terlelap. Dengan berbekal sebuah senter besar dan balok kayu, aku berjalan perlahan-lahan menuju ruangan tersebut. Sesampaidi depan pintu, aura mistik menyerbu ku. Tiba-tiba keringat dingin bercucuran di tubuh ku. Namunkeinginanku untuk masuk ke ruang itu begitu besar. Tanpa berfikir panjang lagi tangan ku sudah menyentuh pegangan pintu. Ternyata pintunya tidak terkunci.Ku buka pintu pelan-pelan. Terdengar suara gesekan ensel yang sudah tua dari balik pintu. Tidak sampai satu menit aku telah berada di dalam ruangan.

Gelap, menyambutku. Segera kunyalakan senter . Ku menerawang sekeliling ruangan. Kotor, berdebu, berantakan. Bau kayu-kayu meja dan lemari yang sudah lapuk begitu menusuk. Ntah sudah berapa lama ruangan ini tidak dijamah. aku mencari-cari saklar di dinding ruangan. Lama baru aku mendapatkannya. Ternyata lampunya masih bisa menyala. Mata ku langsung tertuju pada sebuah piano hitam yang terbuka.Memang malam ini aku belum mendengar suara dentingan piano.

Aku berjalan sedikit demi sedkit mengintari ruangan yang dipenuhi debu. Aku melihat ada sebuah lukisan seorang gadisberukuran besar. Dengan menggunakan gaun berwarna merabela dan rambut yang hitam, gadis itu terlihat sangat anggun. Wajahnya yang teduh, benar-benar memikat siapa saja yang melihatnya.Tak terasa tujuh menit sudah aku memandangi lukisan itu. Tiba-tiba aku merasa aneh. Dari tadi aku melihat semua barang diruangan ini berdebu, namun lukisan ini seolah masih baru. Tak berdebu,tak kusam. Dan aku pun tak berani mengambil kesimpulan. Keheningan yang mencekam telah mampu meretakkan keberanian yang sejak tadi terusik. Tapi kucoba buang jauh-jauh semua perasaan itu. Aku masih ingin tahu lebih banyak tentang ruangan ini.

Kali ini kaki ku melangkah menuju sebuah lemari. Aku mencoba membukanya.Tiba-tiba…..brakkk,,,suara pintu lemari jatuh. Ternyata pintunya sudah copot. Aku yang tadi sempat terkejut pun tersenyum kecut melihat kondisi lemari yang rusak ini. Di dalamnya kudapati berbagai macam pakaian dan gaun yang sudah sobek disana-sini.Disana juga ada sebuah kotak mirip kotak perhiasan. Kuambil kotak itu lalu kubuka. Didalamnya hanya terdapat kertas-kertas dan beberapa buahfoto. Ku perhatikan satu-satu kertas dan foto tersebut. Namun tiba-tiba aku merasa seperti ada yang mengawasi kegiatanku saat itu. Mataku kembali menerawang sekeliling ruangan. Dan tak ada siapa-siapa disana kecuali aku.

Aku kembali melihat isi dari kotak tersebut. Kertas-kertas itu begitu berdebu,beberapa tulisannya sulit untuk aku baca. Aku mencoba melihat-lihat foto yang sudah tampak kusam. Tanganku bergetar saat aku melihat foto kelima. Aku melihat wajah yang sangat kukenal disana. Ulfa saudara kembarku. Dan foto ke enam adalah foto diriku. Jantungku seolah berhenti. Aku tak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya lari meninggalkan ruangan ini. Terlambat, ketakutan lebih duluan menyapa. Aku belum pernah merasa takut sehebat ini. Dan tiba-tiba dentingan piano itu terdengar sangat jelas.

Aku berlari kearah piano. Betapa terkejutnya diriku saat kudapati ada bekas jari di touch piano. Aku melihat kekiri dan kekanan, mencari siapa yang membunyikan piano barusan. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah kalungyang tergantung di salah satu sisi dinding kamar. Aku sangat mengenal kalung tersebut. Ya itu kalung Ulfa. Dan aku pun juga memilikinya. Ibu sengaja membuat kalung yang sama untuk kami berdua. Tapi kenapa kalung itu ada disana?...Saat aku ingin mengambilnya kepalaku seperti dihantam sebuah benda keras. Aku pun terjatuh ke lantai dengan kepala mengeluarkan darah. Kepalaku begitu berat dan aku mulai merasakan pusing yang sangat. Namun dari sisa-sisa kekuatan aku sempat melihat orang yang telah memukulku. Dia mirip sekali dengan gadis yang aku lihat dilukisan tadi. Bahkan gaun yang ia gunakan pun sama. Begitu banyak darah yang keluar, hingga aku pun tak sanggup lagi menahan rasa sakit. Sampai akhirnya aku merasa sekelilingku begitu gelap, dan aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun