Pagi itu aku bergegas untuk berangkat kerja. Saat itu memasuki hari ke-3 Ramadhan. Tanganku sibuk memilih-milih baju yang tertata rapi di dalam lemari. Selalu beusaha untuk tampil semenarik mungkin, menjadi hobiku sejak masa sekolah dulu hingga sekarang aku telah berkeluarga. Aku tak ingin anak-anak dan istriku merasa malu memiliki Ayah dan suami yang urakan. Aku ingin mereka bangga menjadi bagian dalam kehidupanku.
Kuakhiri dengan menyisir rambut. Aku pun tersenyum sambil berjalan keluar kamar. Namun senyumku itu seolah lenyap ditelan bumi ketika tiba-tiba istriku menghampiri dan bertanya",Ayah sudah ada uang untuk bayar kuliah si Phona? hari ini hari terakhir Yah".
Aku terdiam. Langkahku terhenti dan jantung ku berdetak sangat cepat. Pikiran ku melayang entah kemana-mana. Membayangkan uang satu juta lima ratus ribu harus aku dapatkan hari ini. Kalau tidak Phona tidak bisa kuliah. Akhirnya kekesalan menyelimuti hatiku. Dan aku pun berlalu dari hadapan istriku dengan tidak memberinya jawaban. Aku fikir dia pasti paham dengan apa yang sedang kurasakan saat itu.
Dalam perjalanan menuju kantor, sungguh banyak yang hinggap dipikiranku. Aku bingung harus mencari kemana uang sebanyak itu. Untuk makan saja kami sedikit kesulitan. Mungkin jika aku lebih cepat mengetahui, aku bisa mengusahakannya. Namun sekarang waktu ku tak lebih dari 420 menit. "Dengan siapa aku harus meminjam uang?" pertanyaan itu melayang-layang dalam benakku.
Namun, demi anakku Phona semua harus kulalui. Kan kukorbankan jiwa dan raga ku. Bahkan nyawa ku pun rela kepertaruhkan. Semua demi kebahagiaan mu, Nak. Aku tak peduli berapa kali sudah kau menyakitiku. Saat pertama kali kau berani membentak ku. Aku tak peduli, Nak. Yang terpenting bagiku adalah dirimu bahagia, dirimu bisa kuliah, dirimu bisa belajar. Walau kadang tak mudah bagiku untuk memenuhi segala kebutuhanmu yang semakin hari semakin banyak, sayang."
Sebenarnya kesedihan itu masih meradang dalam dadaku. Kesedihan yang kau tawarkan beberapa tahun terakhir ini. Semenjak dirimu bergabung dengan majelis itu, kau berubah Phona. Gadis yang selama ini penurut tlah berubah menjadi seorang pemberontak. Gadis yang dulu lugu dan selalu malu untuk keluar rumah bahkan keluar kamar kini tlah mengalahkan kesibukan Presiden. Begitu kesibukanmu di luar hingga tak ada lagi waktumu untukku. Bahkan hanya untuk mengajariku membaca Surat Yasin. Aku rindu anakku yang dulu.
Maafkan Ayah jika sering menuduhmu mengikuti aliran sesat, Nak. Aku tak bermaksud membuatmu tersinggung. Aku menuduhmu bukan tanpa bukti. Lihatlah dirimu sekarang. Pakaian mu sopan, tapi bagaimana dengan keseharianmu. Adakah sesopan pakaianmu. Bagaimana dengan amalanmu dan bagaimana dengan ibadahmu, Nak. Bagaimana dengan semangat belajarmu. Dirimu benar-benar berubah. Dan semua itu terjadi semenjak kau sering mengikuti kajian-kajian yang aku tak paham apa artinya. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Dirimu atau kajian-kajian itu.
Aku tak paham dengan dunia dakwah. Dari kecil aku tak pernah menyentuhnya. Masa laluku begitu kelam. Belajar membaca iqra' saja aku tak pernah. Namun aku bersyukur dikaruniakan seorang istri dan anak-anak yang shaleh. Apalagi anak bungsuku Phona. Ia begitu santun dan pendiam. Ia selalu mengingatkan aku untuk shalat dengan sapaan lembutnya. Membangunkan kami sekeluarga saat shubuh tiba. Aku bahagia memiliki anak sepertinya. Aku selalu membanggakan kebaikan dan prestasi-prestasinya dengan teman dan saudara. Tak sedikit yang kagum dengan kebahagiaanku ini.
Tapi itu semua telah berlalu. Akankah dirimu kembali sayang. Aku sangat merindukan kehadiran Phona yang dulu. Phona yang selalu membuat diriku menangis bahagia karena kesehariannya. Yang selalu membuat hati ini tenang. Masihkah ada harapan itu. Setelah apa yang dirimu lakukan beberapa bulan yang lalu.
"Asal Ayah tau ya,,,kalau Ayah masih tinggal-tinggal shalat gini,,,Ayah ngak boleh jadi wali nikah kakak...",bentakan gadis itu selalu membayangiku. Jujur, hatiku hancur dibuatnya. Aku masih tidak percaya, gadis yang berdiri di hadapanku saat itu adalah Phona. Aku tak kuat menerima perubahannya yang sangat buruk itu. Dan semenjak saat itu, aku tak ingin berbicara padanya. Bukan, bukan karena ku benci. Namun aku benar-benar tak kuat mendengar suaranya. Walau ia sedang berbicara dengan nada yang biasa, tapi tetap saja terdengar tinggi bagiku.
Sikap diamku padanya terus bertahan hingga saat upacara sakral itu berlangsung. Dan selama itu pula, bentakan Phona selalu menghantui hari-hariku. Bahkan aku sempat memohon pada penghulu untuk menggantikan wali nikah bagi anak sulungku,Putri. Kalimat phona benar-benar membuat ku ciut. Aku tak berani duduk di depan calon menantuku.