Aku masih terpaku di halaman sebuah bangunan yang megah, saat semua orang terburu-buru masuk ke dalamnya. Kulemparkan pandangan kosong ke pintu masuk. Baitul Musyahadah menjadi saksi retaknya ketegaranku. Mesjid yang letaknya tak jauh dari rumah, hingga kami tak perlu khawatir akan terlambat untuk menghadiri pernikahan Putri. Sebuah kupiah yang mirip seperti yang kukenakan saat ku meminang Vina, 25 tahun yang lalu terpasang tegak di bagian atas bangunan. Namun yang ini ukurannya jauh lebih besar. Tapi tetap saja keindahan itu tak mampu menggerakkan lidahku walau hanya untuk sekedar menyapa Phona.
"Tidak bisa pak, Bapak kan Ayah kandungnya,,,harus bapak yang menjadi wali nikah"
"Ayolah pak,,ini kewajiban seorang Ayah yang sangat mulia"
Kalimat penghulu ini sedikit membangkitkan keberanianku yang sedari tadi ciut. Ku awali langkah dengan Basmallah. Perlahan aku berjalan menuju tempat upacara pernikahan itu. Aku duduk tepat di samping penghulu. Dengan perasaan yang masih tidak karuan aku mencoba menatap Phona. Ia menunduk saat pandangan kita beradu. Ntah apa yang ada di pikirannya.
"Ya Allah benarkah aku tak pantas menjadi wali nikah bagi anak-anak ku. Aku takut jika pernikahan ini tidak sah. Aku takut menjerumuskan anakku pada perbuatan yang paling Engkau benci. Berzina. Aku tak ingin Ya Allah... Bantulah hamba-Mu yang berlumur dosa ini Ya Rabb..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H