AKUÂ dilanda rindu padamu, Ibu. Rindu akan senyuman penuh kasih yang selalu menyambutku di beranda rumah ini, di atas kursi roda, saat aku pulang bekerja di senja yang hangat.
Ibu, perempuan paruh baya yang begitu tabah, menerima takdir yang merenggut kebebasanmu saat stroke melumpuhkanmu di dini hari itu. Setiap kali kulihat, tak kuasa hati menahan pilu. Dirimu hanya bisa duduk di beranda, sementara dunia yang dulu kau jelajah dengan langkah penuh harapan, rempas dirampas kenyataan.
Berjuta kali berharap keajaiban tetiba datang, aku membayangkan di suatu senja yang sempurna, saat aku tiba dari bekerja, ibu telah berdiri tegap di tepian jendela, melambaikan tangan, menyambutku dengan senyuman selamat datang yang begitu menghangatkan.
Namun, harapan itu hanyalah mimpi yang tak pernah menjadi nyata, terkubur bersama jasadmu di bawah nisan itu.
Satu dekade telah berlalu sejak kepergianmu, Ibu. Rindu ini begitu dalam, merindukan marahmu saat aku terlena dalam alpa, rindu nasihatmu ketika aku terlelap dalam khilap. Aku merindukan semuanya, atas setiap peristiwa yang pernah ada.
Ibu, saat kau masih menjadi malaikat penjagaku, aku tak pernah menyadari betapa berartinya kehadiranmu. Nyatanya kini, setelah jasad lumpuh itu pergi dan tak akan pernah kembali, sungguh berharganya setiap detik bersamamu, Ibu.
Sungguh, tidak mungkin mengharapkanmu kembali, Ibu, dan menginginkanmu hadir lagi di beranda ini hanyalah angan yang tak akan pernah terwujudkan.
Ibu, sedang apa di sana? Sesekali, hadirlah dalam mimpiku. Aku ingin bertemu, mengucapkan maaf atas segala khilaf. Anakmu yang tak istimewa ini, yang selalu membuatmu kecewa, yang tak pernah bisa membuatmu bangga. Selamat Hari Ibu, Ibu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H