Mohon tunggu...
Custos Logos
Custos Logos Mohon Tunggu... Lainnya - Firmantaqur

Menolak tua, penikmat kopi, dan penumpang setia kereta api ...

Selanjutnya

Tutup

Roman

Alinasi

14 Desember 2024   09:18 Diperbarui: 14 Desember 2024   09:18 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DULU kesendirian adalah ruang mesra untuk bercumbu dengan diksi, menjadi tempat imajinasi tak bertepi, Namun kini, kesendirian tak lagi sanggup melahirkan cerita. Kesendirianku tak lebih dari deru frustrasi yang tiada henti. Aku terkurung dalam kosong, tanpa rima, tak sangup lagi bercerita.

Temaran merengkuh kelam. Di luar, sunyi menyergap senyap. Tak lagi kudengar simfoni malam dari atas dahan atau di balik rimbun dedaunan, atau sekadar meresapi gemericik air hujan sisa senja yang mengalunkan melodi harapan.

Jarum jam menuding angka tiga, pertanda malam sedang berada di ujung kelam. Kupandangi jam pada dinding itu, hadiah pemberian teman yang kini tak lagi berkawan karena satu perbuatan yang tak bisa kumaafkan.

Bunyinya risik mengusik, aku terlena oleh waktu yang terus berlalu, menapaki pada segala yang telah terlewat dan tak bisa terulang. Selalu mengingatkan diri pada siklus kehidupan yang tak pernah berhenti.

Kehidupan nyata berjalan, siang dan malam adalah saksi perputaran. Siang sebagai ajang berjuang dan malam sebuah pengharapan. Menata realita, meniti diri dalam keseimbangan siang dan malam, di antara perjuangan dan harapan.

Begitulah kehidupan, inilah hidup. Sejatinya rotasi, episode perjalanan yang tak pernah henti. Siang dan malam menjadi siklus, kemarin, hari ini, esok, dan lusa, semuanya terjalin dalam lingkaran waktu yang tak pernah putus.

Jarum jam masih berdetak. Jiwaku tersentak, bertanya pada diri atas hidup dan segala perbuatan. Bagiku hidup adalah perjuangan, nasib adalah tantangan, dan budi baik adalah keharusan. Aku hari ini bukanlah yang kemarin. Aku lahir, tumbuh, dan berjuang dengan segala kemampuan dan batasan. 

Aku berdaya melangkah di atas upaya, namun inikah yang benar-benar aku harapkan? Di mana penghargaan hanya menjadi topeng kemunafikan, dan penilaian sekadar kesan yang dipaksakan. Sungguh, aku menjadi takut menghadapi esok, aku kalut menunggu lusa, mentari yang terbit dan tenggelam hanyalah rotasi hari, karena aku berada di dunia hampa arti.

Aku jadi ingat pada malam dingin di ujung Januari. Di sudut Taman Ismail Marzuki aku takjub mendengar Taufiq Ismail membaca puisi.

Fariruddin Attar bangunlah pada malam hari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun