DULU kesendirian adalah ruang mesra untuk bercumbu dengan diksi, menjadi tempat imajinasi tak bertepi, Namun kini, kesendirian tak lagi sanggup melahirkan cerita. Kesendirianku tak lebih dari deru frustrasi yang tiada henti. Aku terkurung dalam kosong, tanpa rima, tak sangup lagi bercerita.
Temaran merengkuh kelam. Di luar, sunyi menyergap senyap. Tak lagi kudengar simfoni malam dari atas dahan atau di balik rimbun dedaunan, atau sekadar meresapi gemericik air hujan sisa senja yang mengalunkan melodi harapan.
Jarum jam menuding angka tiga, pertanda malam sedang berada di ujung kelam. Kupandangi jam pada dinding itu, hadiah pemberian teman yang kini tak lagi berkawan karena satu perbuatan yang tak bisa kumaafkan.
Bunyinya risik mengusik, aku terlena oleh waktu yang terus berlalu, menapaki pada segala yang telah terlewat dan tak bisa terulang. Selalu mengingatkan diri pada siklus kehidupan yang tak pernah berhenti.
Kehidupan nyata berjalan, siang dan malam adalah saksi perputaran. Siang sebagai ajang berjuang dan malam sebuah pengharapan. Menata realita, meniti diri dalam keseimbangan siang dan malam, di antara perjuangan dan harapan.
Begitulah kehidupan, inilah hidup. Sejatinya rotasi, episode perjalanan yang tak pernah henti. Siang dan malam menjadi siklus, kemarin, hari ini, esok, dan lusa, semuanya terjalin dalam lingkaran waktu yang tak pernah putus.
Jarum jam masih berdetak. Jiwaku tersentak, bertanya pada diri atas hidup dan segala perbuatan. Bagiku hidup adalah perjuangan, nasib adalah tantangan, dan budi baik adalah keharusan. Aku hari ini bukanlah yang kemarin. Aku lahir, tumbuh, dan berjuang dengan segala kemampuan dan batasan.Â
Aku berdaya melangkah di atas upaya, namun inikah yang benar-benar aku harapkan? Di mana penghargaan hanya menjadi topeng kemunafikan, dan penilaian sekadar kesan yang dipaksakan. Sungguh, aku menjadi takut menghadapi esok, aku kalut menunggu lusa, mentari yang terbit dan tenggelam hanyalah rotasi hari, karena aku berada di dunia hampa arti.
Aku jadi ingat pada malam dingin di ujung Januari. Di sudut Taman Ismail Marzuki aku takjub mendengar Taufiq Ismail membaca puisi.
Fariruddin Attar bangunlah pada malam hari
Dan dia memikirkan tentang dunia ini
Ternyata dunia ini
Adalah sebuah peti
Sebuah peti yang besar dan tertutup di atasnya
Dan kita manusia berputar-putar di dalamnya
Dunia sebuah peti yang besar
Dan tertutup di atasnya
Dan kita terkurung di dalamnya
Dan kita berjalan-jalan di dalamnya
Dan kita beranak di dalamnya
Dan kita membuat peti di dalamnya
Dan kita membuat peti
Di dalam peti ini ...Â
Attar, benarkah hidup laksana  peti? Namun petiku sudah lama terkunci, dan aku lupa di mana kuncinya. Saat aku menemukannya, ternyata sudah patah menjadi dua, dan aku pun terkurung di dalamnya. Sampai kapan? Entahlah. Selamanya? Juga entah.
Temaram perlahan merangkak pada ujung yang kelam. Â Aku masih terjaga di sepertiga gulita, tak ada kawan tak ada lawan berbincang. Jarum jam sudah menuding angka empat, masih terlalu dini untuk mandi.
Dalam tarikan napas panjang, aku bangkit dari tidur yang jemu, menghampiri cermin yang menggantung simetris pada paku, di antara gambar-gambar dia yang kini telah bersamanya.Â
Pantulannya sedikit kusam karena ada gurat sisa pecah. Di sana, tampak seraut wajah yang penuh perbuatan.
Aku masih berdiri memandangi diri. Aku ingin menangis di pagi yang belum bermentari ini. Tetapi, lelaki tak boleh menitikkan air mata, itu aib namanya. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H