Dan kita membuat peti
Di dalam peti ini ...Â
Attar, benarkah hidup laksana  peti? Namun petiku sudah lama terkunci, dan aku lupa di mana kuncinya. Saat aku menemukannya, ternyata sudah patah menjadi dua, dan aku pun terkurung di dalamnya. Sampai kapan? Entahlah. Selamanya? Juga entah.
Temaram perlahan merangkak pada ujung yang kelam. Â Aku masih terjaga di sepertiga gulita, tak ada kawan tak ada lawan berbincang. Jarum jam sudah menuding angka empat, masih terlalu dini untuk mandi.
Dalam tarikan napas panjang, aku bangkit dari tidur yang jemu, menghampiri cermin yang menggantung simetris pada paku, di antara gambar-gambar dia yang kini telah bersamanya.Â
Pantulannya sedikit kusam karena ada gurat sisa pecah. Di sana, tampak seraut wajah yang penuh perbuatan.
Aku masih berdiri memandangi diri. Aku ingin menangis di pagi yang belum bermentari ini. Tetapi, lelaki tak boleh menitikkan air mata, itu aib namanya. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H