Pas denger tentang JKT48, jujur saya sendiri ngakak setengah mampus sekaligus kagum. Ngakak, karena ada aja ide kita-kita niru-niru pop asing, dimana yang entah ini fakta atau bukan, dalam banyak hal kita ini niru tapi hasil dan/atau kesannya malah jadi "abal-abal". Kalau kita perhatikan budaya pop, jelas aja kalau gerakan imitasi ini jadi semacam pantangan. Kesannya, pas denger JKT48 itu niruin AKB48, bujug dah, mangga darimana lagi nih? Tapi saya juga lama-lama kagum juga sama mereka begitu denger beberapa temen Jepang saya yang notabene anak pascasarjana pertukaran tentang sejarah pada nanya "lu tau JKt48 ga sih?" pas mereka tau saya dari Indonesia. Dan ditelisik lagi, bahkan sampe manajemen AKB48 sampe sambut gembira juga JKT48, wah, sebagai wong Indo, saya kagum deh sama kenekatan sekaligus kreativitas JKT48 ini. Belum lama juga saya baca artikelnya Mas Junanto Herdiawan, ya soal JKt48 itu, saya amin banget sih sekarang JKT48 generasi-2 mesti mempromosikan Indonesia. Apalagi karena konon kan, Korea & Jepang lagi rebutan pengaruh budaya pop mereka. Betul banget. Jangan sampe kita terombang-ambing. Kita juga harus punya jatidiri sendiri. Tapi, dalam proses itu, saya menemukan juga bahwa diplomasi budaya pop itu juga tidak lepas dari sejarah budaya pop itu sendiri. Dan, Insya Allah, dengan mengenal sejarah budaya pop itu sendiri, kita bisa dengan lebih legawa selain mempromosikan dan mengembangkan budaya pop Indonesia, juga merobos batas cakrawala kita, juga mengakrabkan kita keseluruh dunia. Tak kenal maka tak sayang, kan? [caption id="attachment_210288" align="alignnone" width="227" caption="Aki Yashiro dalam single "]
[/caption] Nah, dalam menjawab tantangan diatas, saya ajukan seperti ini, marilah kita mendengar musik
Enka/Mood-kayo dan Idol-kayo! Oke, mungkin banyak dari kita yang bakal komen begini: "ya ampun, musik Jepang jadul gitu lu demen? Emang gimana beken ato pengaruhnya gitu? Toh lu juga ga ngerti apa artinya!" ato macem-macem deh! Nah, tapi diatas itu semua, saya berani bilang kalo kita ngerti musik-musik begini, syukur-syukur bisa enjoy, kita justru paham denyut jantung budaya pop Jepang, dan terlebih,
Asia yang sesungguhnya. Musik ini betul-betul embahnya budaya pop Jepang, kemudian Asia! Akal sehat aja lah ya, kita ini kan senang kredibilitas, nah kalo kita ngerti sampe tataran level "
embahnya", bukannya kita betul2 kuasain
bibit, bobot, bebet, seperti kata wong Jowo? Perlu diakui, bahwa memang musik pop kontemporer, khususnya sejak zaman Rock n' Roll, lalu Hippies (tahun 1960an), memang didominasi oleh instrumen elektronik.
Jpop, Kpop, Mandopop kontemporer juga bukan pengecualian. Tapi di musik Enka (maksud saya, yang tahun 1960-1970an), yang dominan adalah orkestra, seperti halnya musik
klasik. Dan tentunya, saya yakin kalau pendangan mainstream sayarakat sekarang tentang musik itu, kalau pengiringnya orkestra mendingan instrumental atau koor, atau opera, kalo pop ya mending elektronik. Tapi, musik Enka ini betul-betul contoh sukses tentang bagaimana musik klasik bertemu musik pop. Dan hebatnya lagi, musik Enka ini justru paling populer saat Jepang sedang berada di puncak kejayaannya (tahun 1960-1970an), dan justru menjadi mainstream musik pop Jepang. Dan, penting dicatat, istilah "Jpop" yang kita kenal sekarang, justru baru dikenal setelah tahun 1980an, dan juga mulai membahana sekitar mulai zaman segituan juga, tentunya. Bagi yang
doyannya musik klasik atau jazz/blues dan/atau sejenisnya, Musik Enka bakal memang bakal terdengar seperti musik diatas dengan sentuhan tradisional Jepang dan negara-negara jajahannya (seperti Korea dan Taiwan) dan sentuhan modern berupa vokal yang memang merupakan cikal bakal musik pop yang umumnya kita kenal sekarang. Tapi bagi yang suka musik pop, sentuhan orkestra yang dominan di Enka akan memberikan sentuhan elegan dan emosional, tentunya. Juga, karena didominasi instrumen orkestra, kalau dimainkan secara live, bakal nggak kalah yahud sama yang versi rekaman, tergantung aransemennya saja. [caption id="attachment_210291" align="alignnone" width="225" caption="Chiaki Naomi dalam single "]
[/caption] Oke, itu adalah ulasan tentang unsur intrinsik untuk mengajak anda sekalian mendengar Enka. Tapi untuk ekstrinsiknya, ini dia yang saya bilang justru yang bikin krusial. Seperti yang saya sempat ulas diatas, dengan memahamai musik Enka, kita ini bisa dibilang memahami "
embah" sekaligus esensinya musik pop Asia, selain Jepang sendiri selaku sumbernya. Kenapa? Dengan mendengar musik Enka, kita juga secara tidak langsung mendengarkan keluh kesah, tawa dan tangis masyarakat Jepang yang tertuang dalam lirik lagu-lagu Enka, dalam meratapi kekalahan dan kehilangan dalam Perang Dunia II, juga dinamika mereka membangun kembali Jepang menjadi raksasa ekonomi dunia, khususnya pada tahun 1960-1970an. Kita secara tidak langsung dapat memahami isi hati masyarakat Jepang itu sendiri. Tidak heran, jika walau banyak anak muda Jepang sendiri menganggap Enka sebagai "jadul", NHK sebagai stasiun televisi nasional Jepang sampai menobatkan Enka sebagai "Nihon no Uta", lagu-lagu yang yang mewakili sanubari dan lubuk hati masyarakat Jepang. [caption id="attachment_210292" align="alignnone" width="192" caption="Teresa Teng, sekitar tahun 1977-1978. Lagu hit
Mandarin beliau yang beberapa terdapat versi Bahasa Indonesianya, rata-rata diturunkan dari lagu-lagu Jepang yang beliau nyanyikan juga."]
[/caption] Itu baru satu. Kedua, disadari atau tidak, musik Enka sebenarnya mempengaruhi musik pop Asia, termasuk Indonesia dan Mandarin yang sering kita jadikan contoh, lebih-lebih ditahun 1970an, saat Jepang sedang berada dipuncak kejayaannya, dan kita sedang mulai membangun pesat. Mungkin ini masih perlu diklarifikasi lagi ya, tapi sejauh yang saya sering dengar dari orang tua, dizaman terutama tahun 1970an, selain mencontoh musik Barat yang jelas-jelas membahana, kita juga getol-getolnya mencontoh musik pop Mandarin yang banyak dibilang lebih "mengakomodasi kepribadian Indonesia". Tapi kalau dipikir-pikir, secara tidak langsung ya kita contoh Enka juga sih, karena zaman-zaman itu musik pop Mandarin juga lagi getol-getolnya mencontoh musik Enka yang juga dipandang lebih "sesuai kepribadian Tionghoa", apalagi di Taiwan yang notabene eks-koloni Jepang. Dan bukan cuman sampai disana. Kalau kita denger-denger sejarah TVRI, juga secara nggak langsung kita juga nyontoh budaya pop Jepang. Wong konon kan TVRI itu didirikan dengan mencontoh NHK. Dan kalau saya pernah lihat acara musik kayak "Mana Suka", dan dibandingkan dengan yang di NHK atau TBS, konsepnya juga mirip-mirip lho. Dan hebatnya lagi, banyak juga sih temen-temen sekarang yang pas dengar musik Enka kok katanya kayak lagu-lagu Indonesia yang lama, bahkan
dangdut! Nah, kalo sampe begini, makin jelas kan kisahnuya? Maka dari itu, sekali lagi, dengan melihat balik pada Enka selaku mainstream musik pop Jepang tahun 1960-1970an, sekali lagi, kita selain memahami lebih dalam tentang esensi musik pop Jepang, juga mengenal sejarah musik pop kita sendiri. Seperti filsafat
Renaisans, "melihat kebelakang demi kemajuan", semoga melalui musik Enka, kita bisa "Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui" dalam mengembangkan musik pop Indonesia! Salam Enka! Catatan: Sebelum saya lupa, mungkin nggak ada salahnya kalau saya merujuk pembaca sekalian ke beberapa lagu-lagu Enka yang saya rasa cukup familiar bagi anda yang pernah mengalami zaman 1970an. Juga, sekalian mengenalkan anda kepada Enka. Berikut adalah lagu-lagu Enka yang cukup representatif, dan saya kira, sesuai dengan telinga kita di Indonesia. Lagu-lagu ini juga relatif mudah bahkan jika anda mencari di YouTube: 1. Namida Koi (なみだ恋), oleh Aki Yashiro (八代亜紀) (1950-), 1973. 2. Ai Hito-tsuji (
愛ひとすじ), oleh Aki Yashiro, 1974. 3. Yottsu-no Onnegai (四つのお願い), oleh Chiaki Naomi (ちあきなおみ) (1947-), 1970. 4. X+Y = Love, oleh Chiaki Naomi, 1970. 5. Kassai (喝采), oleh Chiaki Naomi, 1972. 4. Ai no Shuuchaku Eki (愛の終着駅), oleh Aki Yashiro, 1977. 5. Blue Light Yokohama (ブルー・ライト・ヨコハマ),oleh Ayumi Ishida (いしだあゆみ), 1968. 6. Tsugaru-kaikyo Fuyugeshiki (
津軽海峡·冬景色), oleh Sayuri Ishikawa (石川さゆり) (1958-), 1977.
7. Kita no Yadokara (北の宿から), oleh Harumi Miyako (都 はるみ) (1948-), 1975. 8. Goodbye, My Love! (
グッド・バイ・マイ・ラブ), oleh Ann Lewis (アン・ルイス) (1956-), Teresa Teng (テレサ・テン) (1953-1995), 1974. Dinyanyikan versi Mandarin oleh Teresa Teng pada 1975, dan versi Bahasa Indonesia (Selamat Tinggal, Kekasih!) arr. A. Riyanto pada 1977. Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya