Mohon tunggu...
Hwang Chiu-hsia
Hwang Chiu-hsia Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Tionghoa Indonesia yang sedang diluar negeri menimba ilmu agar kelak dapat berguna bagi Indonesia dan juga Dunia.\r\n\r\nBangga terhadap heritage Tionghoa dan ke-Indonesia-an kita, tapi prihatin dengan segala masalah yang terjadi baik di Indonesia dan dunia.\r\n\r\nBerkomitmen membantu mencerahkan dunia dan Indonesia melalui esai dan curhat2.\r\n\r\nMerdeka!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pariwisata Indonesia: Berhenti Ngarep, yuk!

21 Juli 2012   03:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:45 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjelang dan pas Ramadhan, bukan rahasia lagi kalau volume pariwisata jelas meningkat. Bukan rahasia lagi juga kalau alasan ekonomi pariwisata (yang menggaet wisman) alasannya adalah untuk devisa dan/atau pembangunan nasional. Yah, tidak ada yang invalid tentang fakta dan argumen tersebut. Hanya, soal pariwisata Indonesia, setelah merenung bertahun-tahun habis membaca ulasan di Kompas beberapa tahun lalu tentang topik serupa, mending saya syiarkan lagi "pesan moral" dari ulasan tersebut deh...

Nilai gotong royong, keramahtamahan memang menjadi daya tarik pariwisata Indonesia. Bali selaku etalase nasional memang sudah harum reputasinya dimana-mana walau sempat tersandung Bom Bali I & II. Patutlah kita angkat topi soal Bali, tapi lagi-lagi, sebenarnya, kalau mau raup devisa sekaligus goodwill yang lebih wahid, "pesan moral"nya, berhentilah ngarep, wahai Indonesiaku Tercinta, dan mulai susun strategi baru!

Kok ngarep? Lihat saja fenomena pariwisata kita yang demennya menggaet bule! Nggak salah sih kalau tujuan menggaet bule adalah mempromosikan goodwill Indonesia, tapi kalau tujuannya nyari duit sebagai tujuan utama, hati-hati saja dengan asumsi macam beginian. Kalau kita pernah baca Lost in Bali-nya Benny & Mice, wisman bule kan dicerca kalau nongkrong di restoran bisa berjam-jam cuma pesan aqua, tapi kalo ada orang lokal/turis non-bule yang datang, sama-sama bareng si bule, yang dilayanin si bule dulu, tapi turis lokal atau non-bule bisa pesen macem-macem. Dan fenomena di kartun itu juga bukanlah mengada-ada sama sekali, banyak yang bergerak di industri pariwisata dan pendukungnya menyatakan trend demikian. Artinya, sebenernya yang lebih pantas/layak diprioritaskan dalam perkembangan pariwisata adalah wisatawan lokal dan regional dulu baru asing dalam artian yang datang dari jauh-jauh, walau memang tidak pernah salah untuk mengacu pada perkembangan untuk wisman karena masalah kualitas pelayanan.

Buat yang awam soal bule-logi, kalau kita perhatikan lagi kartun Lost in Bali, terus ingat akan stereotip yang suka dilekatkan kepada masyarakat Sunda, "biar tekor asal sohor", saya yakin kita bakal langsung ngeh deh! Bukannya ini sama saja dengan berlawanan dengan nilai-nilai agung ketimuran yang kita junjung tinggi?

Walau begitu, memang, disisi lain, perlu kita akui bahwa kemajuan teknologi memang berperan penting dalam memudahkan urusan pariwisata, selain inovasi rekayasa sosial. Traveler check yang kemudian diganti dengan kartu kredit, internet, low-budget airline, penginapan murah, ditambah lagi, fasilitas macam yelp! dan Google Maps, semakin memudahkan urusan travel, sekalian menekan harga.

Salah nggak sih kita ngarep pariwisata Indonesia harum didunia internasional? Tidak sama sekali! Justru itu kan yang diharapkan? Tapi, ingat pepatah bijak lama yang diajarkan orangtua dan guru, kenalilah dirimu sendiri sebelum orang lain. Jadikanlah pariwisata Indonesia beken, mantap dikalangan rakyat Indonesia sendiri, bersama dengan wisatawan regional (ASEAN), baru kemudian asing. Juga, para pemuka agama kan sering menasehati seperti ini kan, kalau berkaitan dengan 2 hal ini: jodoh dan rezeki itu nggak kemana asal kita istiqamah dan pasrah.  Lebih-lebih rezeki. Belum lagi, pepatah "tetangga yang dekat lebih baik daripada saudara yang jauh". Kalau diterjemahkan kedalam bahasa kerja, yang sering kita dinasehati oleh para guru dan dosen ketika mengerjakan soal ujian, dan atasan ketika kerja, atau militer, kerjakan yang dekat-dekat, yang mudah dulu, yang simpel dulu. Benar kan, resep beginian terbukti nggak pernah salah? Ada 3 contoh yang cukup oke yang saya sendiri pernah saksikan secara pribadi sekaligus dengar-dengar: Jepang, Singapura, dan Jerman.

Mari kita mulai dengan Singapura selaku yang paling dekat. Memang pariwisata komersial penting buat Singapura. Tapi kita semua lihat kan, kalau yang kebanyakan menopang justru bukan para bule, tapi justru masyarakat dari tetangga-tetangganya seperti Malaysia, Indonesia, dan Thailand? Contoh kedua, Jepang. Saya dan lebih-lebih orangtua sudah alami sendiri, sekaligus diamini oleh teman-teman Jepang, kalau kualitas pelayanan pariwisata disana untuk wisatawan lokal relatif sebaik standard internasional, tapi dengan harga yang relatif terjangkau. Contoh jelas, banyak hotel bertebaran dengan standard seperti hotel bintang tiga-empat, walaupun memang, agak susah soal urusan bahasa Inggris karena peruntukannya untuk wisatawan lokal. Ini membuktikan bahwa pariwisata Jepang diupayakan agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri, apalagi mengingat sarana transportasi dan komunikasi Jepang yang boleh dibilang terbaik di dunia.

Kalau soal Jepang, memang saya dengar sejarahnya ada kisah tersendiri. Pariwisata domestik Jepang bisa begitu berkembang, menurut sejarahnya memang tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang autarkis, yang membuat warganya praktis "tercekal" selama berabad-abad, khususnya, sejak zaman Tokugawa. Bahkan menurut teman-teman Jepang orangtua saya, sampai tahun 1970an, susah sekali untuk warga Jepang bepergian keluar negeri. Kemudahan berwisata keluar negeri baru dirasakan setelah tahun 1980an ketika hegemoni Jepang sedang dipuncak-puncaknya. Kalau melihat Jepang, saya pikir, cocok sekali kita mencontoh Jepang dalam bagaimana mengembangkan pariwisata domestiknya.

Ada lagi Jerman. Masih ingat Piala Dunia 2006? Menurut FIFA, Piala Dunia 2006 konon ketiga secara omzet paling menguntungkan dan juga paling ramai sepanjang sejarah. Tapi lagi-lagi, selain warga Jerman sendiri yang meramaikan karena memang para bule Eropa gandrung sepakbola, siapa lagi? Ya dari negara-negara sesama Uni Eropa sendiri! Apalagi, kan sudah ada mata uang yang sama: Euro! Sampai-sampai, seperti yang saya ingat di Kompas, negara-negara tetangga pun sampai mengerahkan polisi masing-masing untuk membantu tuan rumah mengamankan acara. Ada bobbies (polisi Inggris), carabinieri, disamping bundespolizei. Dan memang, melihat dari Eropa, kita perlu belajar dari mereka soal manfaat mata uang bersama, juga selain visa-free travel (bahkan modal KTP doang!).

Dari ketiga contoh diatas, jelaslah bahwa dalam mengembangkan potensi pariwisata Indonesia, potensi kita pun tidaklah jauh-jauh amat kan? Yang penting didukung tindakan populis dari semua pihak, seperti perbaikan infrastruktur, pemerataan ekonomi, dan kebijakan integratif dengan tetangga, tidak perlulah pariwisata kita bak tikus mati di lumbung padi gara-gara ngarep nggak kesampaian! Again, ngarep sih nggak salah, tapi kan kembali lagi, kita kan ngarep supaya bisa tercapai. Nah, supaya bisa tercapai, jadilah taktis, sebagaimana disunnahkan oleh para bijak. Dan bersikap taktis inilah yang jadi PR kita bersama!

Selamat ngarep dengan taktis, yang disunahkan menurut para bijak dan juga agama, apapun itu. Selamat Puasa, Puasa Ngarep, Latih Ketaktisan!

Hwang Chiu-hsia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun