Menjadi guru di usia muda adalah pengalaman penuh warna. Usia 21 tahun, baru mulai mengenal dunia pendidikan dengan peran serius, dan mendapati diri berhadapan dengan puluhan murid yang masih haus perhatian, penuh energi, dan kreatif. Awalnya, aku berpikir bahwa menjadi guru friendly itu cara yang paling pas. Dalam bayanganku, guru yang friendly adalah sosok yang bikin murid nyaman, sehingga mereka mudah diajak bekerja sama dan mau mendengarkan. Tapi, seiring waktu, aku belajar bahwa friendly itu nggak selalu berbuah manis, apalagi jika kita menghilangkan batasan yang seharusnya ada antara guru dan murid.
Awal Mula Niat Menjadi Guru Friendly
Saat pertama kali ngajar, aku bawa konsep sederhana: jadilah guru yang dekat dengan murid. Aku ingin jadi guru yang bikin mereka merasa nyaman untuk bicara, curhat, dan bahkan berani bertanya kalau ada yang nggak paham. Aku pengen mereka lihat aku bukan cuma sebagai pengajar, tapi juga teman yang selalu siap membantu.
Dan untuk sementara, semuanya berjalan seperti yang aku harapkan. Beberapa murid terlihat nyaman, ada yang mulai terbuka cerita soal masalah di rumah, bahkan bilang mereka senang punya guru yang nggak "sok tua." Ini mungkin pujian yang sederhana, tapi waktu itu bikin aku ngerasa strategi friendly ini berhasil. Tapi ternyata, ada sisi lain yang nggak aku sadari.
Ketika Batasan Mulai Hilang
Seiring waktu, aku mulai merasakan ada hal-hal kecil yang berubah. Di satu sisi, kedekatan ini bikin murid nyaman, tapi di sisi lain, mulai muncul tanda-tanda yang bikin aku mikir ulang. Ada murid yang jadi terlalu santai dan nggak segan-segan melanggar peraturan kelas. Kalau aku kasih peringatan, mereka malah anggap itu candaan dan nggak terlalu serius. Batasan antara kedekatan dan profesionalitas makin kabur. Awalnya aku anggap ini hal sepele, tapi lama-lama mulai terlihat bahwa sikap friendly yang kelewat batas bisa mengikis rasa hormat dan kedisiplinan mereka.
Ada kejadian yang sangat aku ingat, seorang murid mencoba berbicara dengan nada santai, hampir seperti teman sebaya, bahkan sesekali melontarkan candaan yang seharusnya nggak disampaikan ke guru. Saat itu aku baru sadar, friendly boleh, tapi kalau kelewat batas, aku justru kehilangan wibawa sebagai guru. Di situ, aku mulai merasa perlu ada perubahan.
Belajar Mengatur Batasan Tanpa Kehilangan Kedekatan
Setelah kejadian itu, aku mulai belajar menempatkan diri. Friendly itu boleh, tapi harus ada batasan. Aku masih ingin jadi guru yang approachable, yang bikin murid nggak ragu buat cerita atau bertanya, tapi juga tetap punya batas yang bikin mereka menghormati dan menghargai peran guru di kelas. Aku mulai dengan menetapkan aturan-aturan kecil di kelas, mulai dari cara berkomunikasi hingga konsekuensi untuk pelanggaran kecil. Di awal, mungkin murid merasa aneh karena melihat sisi "tegas" dari aku yang biasanya santai, tapi lama-lama mereka mengerti dan menyesuaikan diri.
Satu hal yang juga aku pelajari, friendly bukan berarti harus jadi teman seumuran. Friendly sebagai guru berarti tetap terbuka, namun dengan bahasa dan sikap yang tetap memberi kesan bahwa kita ini adalah pendidik mereka. Aku juga mulai lebih selektif dalam merespons candaan atau obrolan yang terlalu "berteman," memastikan bahwa setiap interaksi tetap dalam koridor seorang guru dengan murid.
Menemukan Keseimbangan dan Pelajaran Berharga
Sekarang aku merasa sudah menemukan ritme yang pas. Aku bisa tetap dekat dan mendengarkan mereka, tapi tanpa melepas batasan yang seharusnya ada. Murid-muridku jadi lebih memahami peran dan tanggung jawab mereka, serta tahu kapan waktunya serius dan kapan kita bisa santai. Sebagai guru, aku ingin jadi tempat yang aman buat mereka, tapi juga tetap seorang pendidik yang dihormati.
Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa friendly adalah bagian penting dari hubungan guru dan murid, tapi kalau terlalu longgar, kita justru nggak akan dihormati. Friendly yang tepat adalah ketika kita tahu kapan harus mendengarkan, kapan harus bersikap tegas, dan kapan harus memberi batas. Jadi guru bukan cuma soal pengetahuan yang diajarkan, tapi juga tentang bagaimana membentuk karakter mereka, salah satunya dengan menjaga hubungan yang sehat.
Untuk Guru Muda di Luar Sana
Pesanku buat guru-guru muda lainnya, apalagi yang baru mulai seperti aku, nggak ada salahnya jadi guru yang dekat dengan murid. Friendly itu bukan masalah selama kita tetap jaga batasan. Ingat bahwa kedekatan kita sama mereka seharusnya bisa membantu mereka berkembang, bukan membuat mereka kehilangan arah. Di akhir hari, kita tetaplah guru mereka, yang ditugaskan untuk membimbing mereka menuju masa depan.
Friendly boleh, tapi tetap ada batasnya.