Ya Allah, aku menulis ini dengan hati yang berat. Hidup kami serasa berputar di satu masalah yang gak kunjung selesai: hutang. Aku paham kenapa Ibu terpaksa pinjam sana-sini, demi menyambung hidup, demi masa depan adikku yang masih SD. Dia cuma ingin anak-anaknya bisa terus sekolah dan punya kehidupan lebih baik. Tapi yang terjadi, kami seperti terus-terusan "gali lubang tutup lubang," satu hutang selesai, muncul lagi hutang yang lain.
Sejujurnya, aku sendiri udah capek ngeliat Ibu harus kerja sekeras ini. Umurnya sudah gak muda lagi, tapi dia masih ngangkat ember cuci, keliling rumah orang, dan dibayar seadanya. Ironisnya, gajinya langsung habis lagi buat bayar cicilan. Di lingkungan kami ada semacam bank keliling, yang memudahkan orang untuk meminjam uang tanpa ribet, tapi bunganya bikin mencekik. Ibu gak punya pilihan lain, apalagi kalau pengeluaran adikku mendesak, akhirnya Ibu pinjam lagi. Padahal, setiap kali liat Ibu jungkir balik ngurus rumah dan kerja, aku merasa bersalah karena belum bisa bantu banyak.
Aku sendiri gak bermaksud diam aja. Sejak aku mulai kerja sebagai guru honor, aku berusaha ngasih semua gajiku untuk bantu Ibu. Tapi ya, gaji guru honor, apalagi yang masih muda kayak aku, cuma cukup buat kebutuhan sehari-hari. Jadi, bantuanku pun terbatas. Ada rasa perih waktu ngasih gaji yang kecil itu ke Ibu. Bukannya aku gak mau memberi lebih, aku memang gak punya cukup.
Rasanya makin sulit setelah ayah tiriku resmi bercerai dengan Ibu di usiaku yang ke-22 ini.Â
Aku ingat banget masa-masa awal, sebelum semuanya menjadi rumit seperti ini. Kami hidup sederhana, tapi damai. Saat Ayah kandungku pergi selamanya, Ibu sudah berusaha keras untuk melanjutkan hidup sendirian. Lalu, ketika Ibu menikah lagi, ada harapan bahwa keluargaku bisa punya kebahagiaan baru, bisa mengatasi beban hidup yang berat. Tapi semua ekspektasi itu hancur dengan kenyataan yang tidak sesuai. Ayah tiri yang diharapkan bisa menjadi pelindung, malah membawa luka baru. Sekarang, dengan resmi bercerai, mungkin kehidupan kami lebih tenang, tapi kesulitan ekonomi menjadi semakin terasa.
Mungkin kalau aku punya pekerjaan dengan gaji yang cukup besar, keadaan gak akan sesulit ini. Ada rasa ingin menyerah, tapi aku tahu itu bukan solusi. Aku mencoba cari cara lain untuk menambah pemasukan, kadang ambil kerja tambahan yang bisa dikerjakan sepulang sekolah, meskipun gak rutin. Kadang aku berpikir, apa perlu cari pekerjaan lain, yang mungkin bisa ngasih gaji lebih layak. Tapi, sebagai guru, aku merasa punya tanggung jawab untuk siswa-siswa di sekolah. Walaupun honor saja, aku tetap punya ikatan dengan mereka, dan aku gak mau meninggalkan mereka hanya karena alasan keuangan.
Yang paling bikin hati teriris adalah saat melihat Ibu menahan tangisnya. Dia berpura-pura tegar di depanku dan adikku, mencoba menguatkan kami dengan senyum yang dipaksakan. Kadang, di tengah malam, aku mendengar Ibu berdoa dalam isak, memohon supaya masalah ini bisa berakhir. Itu momen yang sulit aku lupakan. Setiap kali melihatnya begitu, ada rasa ingin memberontak pada keadaan. Aku seringkali ikut berdoa, minta pada Allah agar memberi rezeki yang cukup untuk kami.
Aku tahu, mungkin ada yang bilang ini hanyalah ujian hidup, tapi rasanya semakin hari semakin berat. Aku merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang gak ada ujungnya. Aku jadi lebih sering berpikir soal bagaimana masa depan kami nanti. Gimana kalau adikku harus berhenti sekolah karena kami gak bisa bayar kebutuhan pendidikannya? Gimana kalau kesehatan Ibu makin menurun karena terus bekerja keras tanpa henti?
Aku tahu Ibu gak mungkin berani berhenti bekerja selama hutang-hutang ini masih menumpuk. Setiap hari, dia keluar rumah pagi-pagi, seringkali pulang menjelang malam dengan wajah lelah. Tapi di balik semua itu, dia tetap punya harapan. Dia bilang, "Nanti, kalau semua ini selesai, kita pasti bisa hidup lebih tenang." Kata-kata itu yang aku jadikan pegangan. Aku ingin bisa jadi lebih kuat, bukan cuma buat diriku, tapi juga buat Ibu dan adikku.
Ya Allah, aku tahu aku bukanlah orang yang sempurna. Banyak kekurangan dan kelemahanku. Tapi aku mohon, berikanlah kami jalan keluar dari masalah ini. Bantulah kami melunasi hutang-hutang yang terus menghantui, dan berikan Ibu kekuatan agar tetap sehat menjalani hari-harinya. Aku juga berharap bisa segera menemukan rezeki yang lebih baik, supaya bisa membantu Ibu dengan lebih banyak. Aku gak ingin terus-menerus bergantung pada gaji kecil sebagai guru honor.
Aku menulis ini bukan sekadar curahan hati, tapi juga harapan besar yang aku panjatkan. Kalau ada orang lain di luar sana yang punya masalah serupa, aku ingin bilang, kamu gak sendirian. Mungkin keadaan belum berubah, tapi kita masih punya harapan. Kita masih punya kekuatan untuk bertahan dan berdoa. Semoga Allah mendengar semua doa kita dan memberi jalan keluar.