Mohon tunggu...
Hari Cemani
Hari Cemani Mohon Tunggu... -

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saya Bangga Menjadi Golput

10 April 2014   23:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:49 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya ngga tahu kenapa politikus begitu alergi dengan yg namanya golput, bahkan hampir tiap menit ada iklan-iklan di tv yang membujuk rakyat untuk tidak golput. Tidak cuma itu saja, bahkan seniman pun ikut-ikutan membuat lagu dan syair yang mendiskreditkan dan mengkondisikan seolah golput itu jahat, pengecut dan anti-kemapanan.


Ada lagi yang "menghimbau" secara halus jangan golput karena itu akan berpengaruh pada Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) sehingga individu-individu politisi busuk yang syahwat politiknya kelewat besar akan diuntungkan dengan golput. Maka dia bilang solusi satu-satunya untuk menghukum politisi busuk ya tetap harus mencoblos. Terus-terang himbauan halus yang terakhir ini agak menggoyahkan saya.


Sebelum saya melanjutkan kenapa saya golput, saya ingin tegaskan bahwa saya tidak memilih bukan karena saya punya sentimen pribadi ingin menghukum individu per individu yang dianggap politisi busuk. Assessment saya lebih substantif dari itu, karena ada satu sistem yang menganggu pikiran saya. Dalam arti kalau saya tetap memilih, mungkin saya bisa "menghukum" elektabiltas invidu per invidu, tapi sistem yang lethal tersebut tetap tidak akan tersentuh.


Kita semua tahu bahwa UU pemilu di negara kita ini ada yg mengatur tentang ketentuan Presidential Treshold (PT) 20%. Jadi partai yang tidak memenuhi kuota 20% akan dianjurkan berkoalisi. Di sini masalah mulai muncul.. banyak orang bilang PT hanya menguntungkan partai kecil. Sebenarnya tidak demikian karena ketika partai besar berkoalisi..oligarki terbentuk, maka dia sebenarnya juga diuntungkan. Saya tidak akan prejudice, fakta sendiri yang membuktikan dalam sejarah perjalanan  setiap kali kabinet koalisi terbentuk, tidak ada yang selamat dari korupsi berjamaah. Mereka saling mengeliminir dosa-dosa korupsi partai koleganya. Sedangkan rakyat  sendiri terjebak sebagai komoditas politik belaka, berada pada posisi lingkaran setan yg selalu berulang dalam siklus 5 tahunan tanpa mereka sendiri sadari.


Memang negara kita tidak menganut asas pemilu "winner take all" seperti negara-negara maju. Karena memang ego syahwat politik di negara  ini demikian besar untuk ramai-ramai berkuasa. Tapi argumen yang mengatakan bahwa sistem oposisi murni tidak cocok diberlakukan di negara ini bukan berarti Demokrasi Pancasila harus begitu permisif mengakomodir syahwat-syahwat liar para politikus. Tetap harus ada satu figur yang maju ke depan yang secara jantan siap untuk memerintah dan siap dikritisi, dicaci-maki bahkan diajukan ke meja hijau bila menyalahi sumpah jabatan. Dari pemerintahan turun ke publik, akan mulai belajar apa yang namanya kebesaran hati dalam kontes kalah-menang. Law enforcement dengan sendirinya akan mulai bangkit.

Kembali lagi pada konteks mana yang lebih baik, memilih atau golput? Tentu kembali kepada worst-case scenario apa yg bakal terjadi ketika kita sudah membulatkan keputusan. Golput disebut-sebut banci karena dianggap tidak membuat keputusan, it's ok... maka bisa juga kita bilang golput itu status quo. Bahkan bisa disebut buffer...sebuah parameter yang mengukur kepuasaan publik terhadap kinerja demokrasi. Kalau memilih? Belajar dari pengalaman selama puluhan tahun bagaimana negara kita hidup berdemokrasi, tentu seharusnya kita belajar apa kita tidak terjerumus dalam penyakit kronis yang sama setiap siklus 5 tahunan? (baca: KORUPSI) Silahkan dinilai sendiri mana yang lebih bijak dalam tindakan kita, memberi legitimasi pada korupsi atau bersikap diam untuk memberi warning bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem demokrasi kita.


Dalam worst-case scenario ketika kita mulai terjebak dalam debat kusir yg tidak berkesudahan dengan orang yang mempunyai power luar biasa, orang yang bijak tentu akan diam memberi kesempatan orang yang tersesat mengumbar argumen-argumen liarnya. Saya percaya ini yang dilakukan Nelson Mandela melawan Apartheid dan Mahatma Ghandi dengan Ahimsa. Diamnya mereka menjadi inspirasi orang seluruh dunia.


Saya kira setelah era Orla dan Orba, ditambah 16 tahun pasca reformasi kita telah belajar banyak tentang demokrasi. Pil pahit keterpurukan krisis moneter membuat kita sadar dengan tercetusnya lompatan tinggi dalam demokrasi dengan terselenggaranya pemilihan presiden langsung. Mungkin ini saatnya kita lebih dewasa dalam berdemokrasi dengan menapak setingkat lebih tinggi. Semoga ketika angka golput menjadi  signifikan, detak lonceng kesadaran kita akan berdentang bahwa memang ada yang salah dengan sistem demokrasi kita. Saya bangga menjadi golput.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun