Mohon tunggu...
Hari Cemani
Hari Cemani Mohon Tunggu... -

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa Sih Hebatnya Jokowi?

28 Mei 2014   19:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:01 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

First thing first, tanpa bermaksud “curang” saya ingin membuktikakn hipotesis para kompasioner bahwa katanya mengutip kata sakti “Jokowi” di judul artikel bisa menaikkan hit count di postingan kita. Mari kita buktikan apa tulisan saya bakal banyak dibaca orang atau tidak. :)

Miris sekali kita membaca berita beberapa minggu yang lalu bagaimana Taman Bungkul di Surabaya yang telah dibangun menjadi indah selama bertahun-tahun dapat hancur berantakan hanya dalam waktu beberpa jam saja. Menurut kabar, kejadian ini awalnya dipicu oleh acara bagi-bagi es krim gratis dari sebuah perusahaan pemroduksi dairy goods. Kalau dipikir-pikir masuk akal nggak sih, hanya demi sebuah produk yang hanya berharga beberapa ribu Rupiah saja, orang bisa “kalap” bertindak gegabah dan irasional? Jelas sekali apabila kita telaah bersama, orang-orang ini pasti mampu membeli dengan uangnya sendiri ketimbang harus berdesak-desakkan dengan resiko membahayakan nyawanya dan anak-anaknya sendiri. Apa yang salah dengan mentalitas kita? Kenapa orang-orang itu gagal berempati bahwa taman yang indah itu sebenarnya adalah milik mereka sendiri? Benarkah kata Pramudya Ananta Toer bahwa bangsa kita ini adalah bangsa tempe… bangsa budak yang belum merdeka cara berpikirnya?

Pernah sekali saya baca dalam artikel Rhenald Khasali, bagaimana seorang Steve Jobs yg drop-out dari kampusnya, kadang dilecehkan oleh kalangan akademisi bahwa suksesnya membangun kerajaan bisnis “Apple” hanyalah karena keberuntungan semata. Belakangan orang-orang tidak setuju dengan pendapat ini, mereka mempelajari jauh lebih dalam bahwa sesungguhnya ada kecerdasan yang tersembunyi di dalam sosok Steve Jobs. Satu kecerdasan yang membutuhkan kemerdekaan berpikir yang disebut Rhenald Khasali dengan “intangible”. Satu bentuk kecerdasan yang tidak hanya bersandar pada standar nilai akademis dari bangku kuliah semata. Tentu saja bukan maksud saya untuk menghimbau agar semua mahasiswa drop-out dari sekolahnya, karena dengan meninggalkan kuliah maka otomatis kans untuk memperoleh pekerjaan yang layak tentu akan makin sulit. Point-nya adalah, ada satu nilai determinan yang dapat meningkatkan kemerdekaan berpikir yang dapat kita capai tanpa melalui pendidikan formal, yang umumnya hanya berfokus pada nilai akhir di atas kertas saja. Fenomena Steve Jobs, mungkin fenomena yang sama yang bisa kita pelajari dari sosok lain seperti Bill “Windows” Gates dan Mark “Facebook” Zuckerberg.

Dalam budaya Indonesia “yang normal” – terlebih budaya Jawa - sering kita jumpai fenomena di mana status seorang anak dalam keluarga acap kali ditempatkan dalam stigma, bahwa seorang anak yang baik itu adalah apabila dia kalem, tidak banyak tingkah dan tidak suka melawan kata-kata orang-tuanya. Pendek kata, anak diposisikan tidak boleh kritis dan selalu patuh apa kata ayah-ibunya, dalam bahasa kerennya disebut dengan budaya paternalistik. Ironisnya, stigma seperti ini bukan hanya merugikan si anak, tapi juga malah merugikan orang tua sendiri, karena dalam banyak kasus, para orang tua seperti gagap menghadapi putra-putri mereka sendiri. Ketika seorang anak bersikap kritis, orang tua akan cenderung menghardik menyuruh diam hanya demi mencari solusi cepat guna menetralisir situasi. Bukan hanya si anak yang rugi tidak terbuka wawasannya, tapi orang tua juga gagal untuk menyalurkan energi empati pada si anak yang lapar dengan rasa keinginan-tahuannya yang besar. Dengan kata lain, orang tua sendirilah yang membiasakan diri untuk mengamputasi kemerdekaan berpikir anak-anaknya.

Beratus-ratus tahun orang sepakat bahwa kecerdasan manusia itu tersimpan di otak manusia dalam bentuk intelejensia. Intelejensia didefinisikan sebagai kemampuan manusia untuk menyelesaikan problem secara vertikal dalam konteks puzzle solver. Stigma seperti inilah yang akhirnya membentuk persepsi bahwa hanya orang-orang yang memiliki IQ tinggi seperti Einstein yang pantas mendapat predikat “cerdas”. Namun belakangan orang mulai gundah, masa sih atlet seperti Rudi Hartono -juara All England 8 kali- yang mampu untuk menganalisa mental dan kondisi fisik untuk mengalahkan lawan-lawannya bukan termasuk orang cerdas? Atau seorang Affandi yang tarik guratan awal tangannya bisa menghasilkan lukisan yang proporsional dan indah bukan termasuk orang cerdas? Tentu ada kemerdekaan dalam cara berpikir mereka yang membuat mereka mampu menelurkan prestasi-prestasi yang luar biasa. Dan belakangan orang menggali lebih dalam bahwa “harta yang tersembunyi” itu ternyata bernama Emotion Quotient (EQ).

EQ adalah kecerdasan horisontal di mana orang yang mempraktikkannya akan memiliki kemampuan lebih dalam menata sisi emosi dan mampu mengeksplorasi lebih luas sisi estetika dalam dirinya. Jika Anda bertanya, apakah jika ada orang yang mampu berempati untuk tidak membuang sampah sembarangan - karena itu berarti merugikan dirinya dan lingkungannya sendiri - adalah orang yang cerdas? Maka jawabannya dari sisi EQ adalah “iya”. Atau jika Anda bertanya, apakah para haters Jokowi yang tidak mampu mengeksekusi algoritma kebebasan berpikirnya, dengan menilai tindak-tanduk Jokowi selama ini hanyalah pencitraan – bukan keikhlasan – adalah bukan orang yang cerdas? Maka lagi-lagi jawabannya dari sisi EQ adalah “iya”. :)

Kurikulum pendidikan di negara kita yang mengkondisiksan bahwa peserta didik sejak SD kelas 1 sudah harus bisa membaca-tulis-hitung (calistung), sebenarnya juga adalah contoh kongkrit bahwa elite pemerintahan kita sedang bereksperimen untuk secara instan menciptakan lulusan yang hanya mengedepankan intelejensia dengan mengesampingkan sisi emosi dan wawasan kemerdekaan berpikir. Anak hanya dituntut untuk menjadi cerdas tanpa mempedulikan apakah mereka menikmati masa kecilnya atau mengindahkan apakah anak menderita atau tidak dalam mencapai label kecerdasan di ijazahnya.

Jokowi dalam satu setengah periode masa jabatannya di Solo dan setengah periode di Jakarta, telah belajar banyak bahwa ada fakta mentalitas jongos dalam rakyat Indonesia yang menumpulkan kemampuan berempati dalam diri mereka sendiri. Di Tanah Abang, Jokowi melihat kegagalan masyarakat untuk berempati bahwa berdagang di pinggir jalan hanya akan membuat kemacetan. Dalam proses relokasi Waduk Pluit juga sama, masyarakat juga gagal berpikir jauh bahwa mendiami daerah bantaran sungai dan membuang sampah ke dalamnya hanya akan membuat banjir. Juga dalam kasus ketahanan pangan, di mana sebenarnya semua permasalahan pangan tidak harus diselesaikan dengan impor tapi bisa dengan memperkuat infrastruktur perdagangan antar pulau dalam negeri. Kemandulan berinisiatif dan berempati terjadi karena semua hanya mencari jalan instan demi kenyamanan diri sendiri sesaat.

Sudah sewajarnya apabila “Revolusi Mental” Jokowi ini kita beri apresiasi yang setinggi-tingginya karena memang ibarat kata, mendirikan bangunan itu mudah.. tapi merawat, merasa nyaman serta merasa bangga tinggal di dalamnya itu yang butuh usaha keras untuk mewujudkannya. Sayangnya dalam deklarasi penentuan capres-cawapres tempo hari di Gedung Juang, dengan pongahnya Megawati sebagai ketua umum mengatakan bahwa Jokowi hanyalah pekerja partai dan tetap harus tunduk pada peraturan partai. Dengan kata lain, Megawati sendirilah sebenarnya yang sedang mempratikkan budaya paternalistik yang kontra-produktif bagi kemajuan bangsa. Mari kita sama-sama berharap, semoga cita-cita mulia Jokowi ini tidak terganjal oleh rekan separtai dan koalisinya sendiri.

Sebagai penutup, penulis ingin mengapresiasi bahwa “Revolusi Mental” memang adalah satu keniscayaan kalau mengingat bagaimana pesatnya perkembangan Eropa pasca Renaissance. Orang yang “tercerahkan” tidak jarang menjadi pribadi tangguh yang memberi inspirasi seperti tokoh Mario Teguh di acara Golden Ways, atau malah yang niatnya “jutek” bisa juga menjadi provokator yang suka membuat fallacy dengan membuat statement-statement kontroversial. Knowledge is power, tinggal bagaimana kita mau menggunakannya. Cuma pertanyaannya, kalau semua sudah jadi “tercerahkan” siapa lagi nanti yang mau nonton acara retorika macam Golden Ways? :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun