Ribuan orang menagis, meratap saat mata pencarian dihancurkan dan rumah tinggal digusur.
Aturan dilanggar, janji diingkari, sumpah serapah mencaci rakyat susah terbiasa keluar dari mulut penguasa.
Mencela dan menghina orang yang tidak sejalan dan sepaham sudah hari-harinya. Seakan dunia tidak berputar. Hari ini diatas besok atau lusa dibawah seakan -akan tidak berlaku. Serasa mau hidup selamanya dan berkuasa seterusnya dengan menginjak- injak rakyat kecil bahkan aturan yang ada.
Kasus Sumber Waras yang jelas – jelas perampokan terhadap negara, seterang tengah hari siang bolong yang panas, lalu kasus reklamasi pantai Jakarta yang melanggar aturan diatasnya (Pemerintah Pusat melalui UU, Perpres, PP, Permen,) ditambah tabrak aturan taman BMW, OTT kasus suap Podomoro grup dan terakhir kasus kampung Luar Batang. Seakan belum memuaskan hati.
BPK sebagai Lembaga tinggi negara yang mengaudit penyimpangan dianggap main- main. Penyimpangan yang sangat mendasar dimulai dari tingkat perencanaan. Berlanjut ke penganggaran, pembentukan tim pengadaan pembelian lahan, pembentukan harga, dan penyerahan hasil.
KPK yang telah menerima hasil audit BPK seperti tengah bermain- main, mengulur- ulur waktu entah kenapa tidak segera menetapkan sebagai tersangka. Padahal sebelumnya meminta agar BPK melakukan investigasi audit terlebih dahulu. Setelah laporan hasil investigasi audit yang mengindikasikan kerugian negara diserahkan, KPK masih belum jelas dalam memberikan status. Padahal sudah dari Desember 2015, artinya sudah lebih dari 4 bulan!
Perilaku KPK yang seperti bermain- main dalam menetapkan tersangka, alasan bahwa KPK belum melihat niat jahat ( Niat jahat? Tuhan saja tidak menghukum orang yang baru berniat jahat).
Kesan dan perilaku KPK yang bertolak belakang dengan yang dilakukan KPK kepada para pelaku lain. Ketidakadanya pengawasan dan kontrol terhadap perilaku lembaga “super body” ini rawan dimanfaatkan oleh pimpinan KPK sendiri demi kepentingan dan ambisi pribadi. Bahkan kepentingan penguasa negri. Ini telah terjadi pada waktu pilpres 2014 lalu. berakhir dengan lengsernya AS dari pimpinan KPK.
Ketika lembaga “super body” berkuasa tanpa ada kontrol maka yang terjadi adalah kelakuan otoriter.
Sangat berbahaya ketika lembaga negara bekerja tanpa kontrol dan tidak ada yang mengawasi. Kasus yang melibatkan penguasa DKI 1 itu makin menguatkan perlunya dilakukan REVISI Undang Undang KPK. Revisi ini bukan bermaksud melemahkan tetapi untuk mengendalikan agar KPK tidak seperti KUDA BINAL yang membahayakan banyak orang dijaluryang dilalui. Sruduk sana sruduk sini. Tetapi agar KPK “on the track”.
Menegakkan hkum dilakukan dengan car acara hukum dan tidak dengan melanggar hukum. MAJU TERUS KPK! Sikat para koruptor tanpa pandang bulu!