Mohon tunggu...
N. Alam Pratama
N. Alam Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Lingkar Ide

Penikmat musik, anime dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Diary

Catatan untuk Seorang Perempuan

1 September 2023   16:06 Diperbarui: 1 September 2023   16:08 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Catatan Untuk Seorang Perempuan

Di antara hujan dan gelap, seorang perempuan berbisik kepada sunyi;
"God, I belive, You always strengthen"

Waktu itu, di penghujung sore Semarang, hujan menyiram polusi udara dan meredam radiator raksasa bernama rumah kaca dan aspal hitam yang beberapa jam lalu turut serta membuat seisi kota panas.

Kota Lama, hujan dan "The River in the Pines" yang ditembang-sedihkan Joan Baez adalah suasana menuju malam yang melankolis sekaligus tragis; tukang becak cemas dan murung karena cuma mangkal buat menunggu hujan reda, bukan penumpang. Pun aku; murung dan cemas. Murung karena harus memarkirkan motor di tepi jalan dan menunda pulang. Cemas akibat Arin pucat dan mengeluh sakitnya kambuh.

Aku tak bisa memutuskan apakah harus mencari apotek buat beli obat dan meninggalkan Arin sendiri di bawah kanopi lawas berukuran kecil bangunan kuno atau berdua hujan-hujanan mencari apotek sekaligus melanjutkan pulang.

Pun, aku tidak bisa menyimpulkan apakah rasa cemas dan sedih adalah akibat melihat ia menahan sakit dan pucat atau karena menyaksikan ketimpangan kelas, ketidakadilan ekonomi dan banalitas pembangunan yang menyisakan bencana ekologi. Sebab, ia selain mengeluhkan sakitnya yang tiba-tiba menyerang tubuh, juga marah dan cemas. Marah karena melihat derita kelas bawah yang sudah naik seleher dan cemas kalau tak lama lagi banjir akan ikut naik ke leher.

Walau Semarang tak sejahat dan sedigdaya Jakarta yang jadi pusat kosmos derita dan kegaduhan daerah, setidaknya menjadi representasi atas kedigdayaan Jakarta yang memarjinalkan seluruh lapisan masyarakat kelas bawah, juga meninggalkan jejak kerusakan dan bencana mendatang daerah-daerah Jawa Tengah. Sebab, pada prinsipnya, Jakarta-Semarang adalah sama; prasyarat berjalannya mode of production kapitalisme global yang busuk secara lebih bar-bar melalui kertas, telepon dan aparat keamanan; logika kekuasaan teritori dan logika kekuasaan kapitalistik yang berkompromi demi kepentingan masing-masing yang oleh David Harvey, seorang intelektual marxis asal Inggris kemudian didakwakan, bahwa imperialisme-kapitalis terlahir dari relasi dialektis dua logika tersebut.

Henry Lefebvre, Seorang intelektual marxis lain asal Prancis juga menganggap bahwa keberhasilan kapitalisme dalam memperpanjang nafasnya adalah dengan production of space. Ruang (space) di dalam peradaban kapitalisme modern secara spasial (spacial space) adalah arena pertarungan yang diperebutkan tanpa menemui titik akhirnya. Sedang ruang social (social space) dibentuk oleh hubungan masyarakat baik secara individu maupun kolektif yang dipengaruhi oleh corak produksi dominan. Akibat dari tangan raksasa kapitalisme modern yang mencengkram kuat, maka ruang secara spasial oleh kapitalisme selalu disesuaikan dengan kepentingan kapital hingga mental dan kondisi masyarakat di dalam ruang sosial juga terpengaruh. Hal inilah yang oleh Lefebvre diistilahkan sebagai production of social space; relasi antara ruang spasial dengan masyarakat.

Kapitalisme global dengan sistem kerjanya yang busuk, jahat dan tamak adalah malapetaka besar bagi siapapun tanpa terkecuali; membangun logika ruang abstrak sebagai basis akumulasi kapital; ruang bisnis yang destruktif dan kekuasan kapital politik negara; memaksa petani Wadas dan Kendeng cerai dengan tanah kandungnya yang menghidupi dan dihidupi dengan penuh cinta, kasih, harap dan asa. Sedang Semarang sejatinya tetaplah kehidupan yang kompleks dan suasana kota-pelabuhan yang berisik, terik matahari yang ganas dan deru mesin industri yang arogan juga pergaulan sosial dan perilaku muda-mudi hype kelas menengah metropolis yang urban dan immoral. Tentu, kondisi tersebut hanya bagian dari keseluruhan yang membentuk Semarang, sebab di bagian lain ada tangis dan lapar tunawisma dan anak jalanan di bilangan kota lama dan simpang lima, perasaan was-was dan takut masyarakat pesisir bila air laut meluap, kemiskinan akut dan krisis air yang parah, dan beberapa perempuan dan laki-laki yang sibuk menyesuaikan diri dengan standar kecantikan dan kemapanan, sedang beberapa yang lain mengutuk mitos kecantikan dan anti-kemapanan. Pun, ada aku dan Arin yang terjebak hujan dan berbagi gelisah, dibilangan kota lama yang sunyi dan sedih, berteduh dan termenung menyaksikan kerlip lampu-lampu jalan dan bangunan temaram, serta air hujan yang turun menggenang dan satu-dua mobil melintas pelan di hadapan.

Aku tahu, Arin selalu menyimpan sakitnya sendiri dihadapan banyak orang, Namun diam-diam sebenarnya ia juga mengeluh kepadaku. Persis seperti malam itu di antara arsitektur kuno, tepi jalan Kota Lama yang abu-abu dan hujan yang mengingatkan pada aroma kopi hangat buatan Abror. Sial, aku benar-benar ingin cepat sampai kota kelahiran.

Meski Arin kadang mengeluhkan kondisinya padaku, namun ia tak mau kalau aku terlalu mencampuri urusan tubuh, sakit dan kehendaknya. Sebab itu, aku juga tak mau memaksakan kehendak padanya, "I have a choice and I know the consequences. So, I'm always happy" begitu katanya. Padahal mendengar keluh dan rintih ketika ia menahan sakit, bagiku adalah serupa mendengar pak Pramoedya bercerita "Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer" yang buat hati sengsara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun