Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pembangunan Desa: dari, oleh, dan untuk Masyarakat

4 Februari 2015   21:15 Diperbarui: 14 Juni 2016   11:17 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                       sumber gambar www.kmnu.or.id

Setiap warga Negara memiliki peluang yang sama untuk terlibat dalam pembangunan, khususnya di tingkat desa dalam bentuk yang bermacam-macam. Sebut saja misalnya dalam bentuk sumbangan gagasan dan ketrampilan serta tenaga. Kita semua mengetahui, bahwa Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) merupakan agenda acara tahunan yang diselenggarakan desa sebagai salah satu upaya dalam melibatkan masyarakat di level local/desa. Selanjutnya prinsip partisipatif dalam pelaksanaan Musrenbangdes diterjemahkan sebagai pelibatan masyarakat dalam rancang bangun semua tahapan musrenbangdes sehingga menghasilkan Rencana Kerja Pembangunan (RKP) yang benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat dan berperspektif pada kelompok atau kaum mustadh’afin (perlu mendapatkan perhatian khusus) dan miskin. Asumsinya adalah bahwa proses perencanaan yang partisipatif diharapkan dapat mempercepat proses terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan pembangunan.


Namun tampak jelas dalam realita, “budaya” dan kebiasaan masyarakat menyebabkan beberapa kelompok/kaum dianggap belum mampu atau bahkan belum pantas untuk terlibat di dalam proses perencanaan pembangunan di tingkat desa. Walhasil, peristiwa ini tidak jarang menampakkan munculnya perlakuan  yang -tidak terlalu berlebihan kalau disebut- jauh dari kata setara, yang terjadi adalah adanya indikasi peminggiran terhadap kelompok tertentu yang tidak memiliki “kriteria”, seperti; perempuan, masyarakat miskin dan masyarakat penyandang difabilitas dalam tahapan proses pembangunan desa.


Masih segar dalam ingatan kita bahwa terhitung sejak tahun 2007 pemerintah Indonesia telah mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), salah satunya adalah PNPM Mandiri Perdesaan yang memiliki visi meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan, serta memiliki misi: 1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya, 2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif, 3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal, 4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat, 5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan. Namun, masih ada catatan yang musti disikapi secara serius bahwa misi pembangunan berbasis pedesaan ini belumlah ter-ejawantahkan dengan optimal, karena masyarakat boleh jadi belum pernah mendapatkan pembangunan kapasitas (capacity building) untuk mengetahui apa kebutuhan yang sesungguhnya atau sekurang-kurangnya diajak berbicara terus menerus.

Berperspektif Adil dan Setara

Menurut hemat saya, dalam tataran pembangunan desa tampak jelas dapat disaksikan dengan mata terbuka bahwa aparat desa  relatif masih agak dominan dalam mempengaruhi permintaan masyarakat, terlebih untuk kaum perempuan. Oleh karenanya tidaklah heran apabila pembangunan infrastruktur seringkali lebih dominan dibandingkan dengan pembangunan secara psikis/mental. Akibat yang dikhawatirkan muncul adalah timbulnya konflik dalam masyarakat dan manfaat yang diberikan dirasa kurang optimal gara-gara pembangunan yang dilakukan adalah hasil aspirasi dari kepentingan aparatur desa atau beberapa kelompok tertentu atau dalam bahasa lain tidak mewakili kepentingan orang banyak. Bukan berarti pembangunan infrastruktur diharamkan, tetapi alangkah bijaknya apabila aparat dan masyarakat mencoba membuat road map (peta jalan) pembangunan desa secara bersama, terencana dan melibatkan semua komponen masyarakat, terutama perempuan.

Dalam konteks pembangunan desa bahwa pembangunan infrastruktur yang telah dilaksanakan belumlah dapat disebut telah menyentuh kepentingan kaum perempuan. Karena indikasi yang terlihat adalah belum terjalinnya komunikasi yang terus-menerus antara aparat desa dan masyarakat sebelum melakukan penyusunan program. Akhirnya pada saat mengumpulkan aspirasi, kebutuhan masyarakat dilakukan secara kolektif pada satu tempat ( misalnya dengan metode kunjungan door to door ). Kalaupun terjadi rapat desa, biasanya adalah perwakilan dari RT/RW, tokoh masyarakat dan lembaga/kelompok yang ada di desa tersebut. Padahal dengan jujur saya katakan bahwa aktifitas sehari-hari di desa didominasi oleh kaum perempuan (mengurusi kebutuhan keluarga dan aktifitas bertani) sedangkan kaum pria lebih memilih bekerja diluar desa sebagai buruh/swasta atau merantau ke luar kota untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Oleh karenanya minimal ada tiga catatan yang perlu saya ketengahkan dalam tulisan ini, yaitu. Pertama, perlu optimalisasi musrenbangdes sebagai wahana pejaringan aspirasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat tanpa memandang jenis kelamin dan status sosial. Karena dalam konteks kesetaraan dan keadilan gender bahwa setiap warga Negara memiliki hak yang sama dalam pembangunan dengan tetap melihat dokumen perencanaan pembangunan kabupaten/kota dan propinsi. Kedua, sangatlah diperlukan strategi pembangunan perdesaan secara terpadu dan terintegrasi. Dengan demikian, implementasi kebijakan pembangunan perdesaan hendaknya senantiasa berada dalam rambu-rambu kebutuhan desa/wilayah yang bersifat holistik secara lintas sektor yang dimaksudkan untuk memperkuat sinergi dalam pembangunan perdesaan. Dalam hal ini, Bappeda kabupaten dan propinsi seyogyanya secara aktif melakukan komunikasi langsung dengan seluruh instansi yang terkait dalam pembangunan perdesaan. Selanjutnya, yang ketiga adalah menumbuh kembangkan dan sekaligus memelihara kelembagaan yang ada di tingkat lokal/perdesaan yang keberadaannya telah mengakar dalam kehidupan masyarakat bahkan telah menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat desa secara keseluruhan.

Akhirnya, ada kebutuhan pelibatan seluruh elemen masyarakat tanpa melakukan pembedaan berdasakan jenis kelamin tetapi perempuan perlu mendapatkan porsi lebih, artinya prinsip kesetaraan dan keadilan bagi masyarakat adalah yang utama sebagai salah satu cara menjaring aspirasi. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah sosialisasi terus menerus mengenai program pembangunan serta pengawasan secara berkala oleh masyarakat sebagai salah satu cara melakukan “kontrol” terhadap pembangunan di perdesaan.*

*Dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun