Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menangislah

18 September 2014   21:04 Diperbarui: 20 Juni 2016   15:28 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar www.fakta4.com

Dalam perjalanan kehidupan,terkadang ada saja peristiwa yang tidak terduga sewaktu-waktu menghampiri kita sebagai manusia. Sedangkan sebagai makhluk sosial yang tidak pernah puas, kerapkali manusia mendambakan “sesuatu” di luar kemampuannya yang tentu saja dapat berujung pada kekecewaan/kesedihan (duka). Dalam kondisi ini, dalam tradisi ber-kehidupan di lingkungan keluarga yang saya alami, kita di tuntut untuk tetap tegar meskipun lemah, diminta tabah meskipun gundah meskipun sesungguhnya dalam hati ada keinginan untuk menangis. Namun karena ada semacam “doktrin” bahwa menangis adalah perilaku cengeng maka mau tidak mau kita mencoba menepikan perasaan sedih tersebut.

Menarik untuk di simak bahwa dalam perjalanan kehidupan sosial masyarakat kita, masih ada yang memiliki anggapan dan pikiran bahwa menangis adalah sesuatu yang kurang elok bahkan cenderung buruk. Tidak jarang dapat kita saksikan ada orang memaksa dirinya untuk tidak menangis meskipun ia mengalami kesedihan dan kegelisahan. Ada pula yang merasa bersalah dan merasa buruk setelah menangis atau bahkan ada pula orang yang kesulitan untuk menangis. Pandangan ini sengaja saya tulis untuk sekedar membuka wacana kepada publik yang merupakan pengalaman pribadi selama berinteraksi dengan masyarakat secara luas yang  akhir-akhir ini mungkin merasa tidak nyaman karena telah melewati/melalui atau sedang mengalami berbagai peristiwa emosional.

Apa yang Kita Alami?

Sebahagian besar masyarakat kita mafhum bahwa dalam tradisi kehidupan dilingkungan sekitar, kita masih dibesarkan dalam “budaya” yang menuntut kita menjadi tangguh dan kuat; baik secara fisik maupun non fisik atau bahkan ada tuntutan sukses. Dalam konteks ini, ada anggapan yang masih saja terus berkembang bahwa menangis didakwa sebagai sesuatu yang kontras dengan hal tersebut diatas, sehingga masih ada sebagian besar masyarakat (baca;orang) merasa dirinya lemah jika menangis.

Dalam sudut pandang secara pkisis, sesungguhnya menangis (tidak harus selalu keluar air mata) adalah suatu bentuk manakala hati kita memiliki rasa duka, empati, kegelisahan, rasa takut atau bahkan karena merasa terbebani dengan tanggung jawab. Alhasil, akan banyak alasan yang dapat kita kemukakan namun sesungguhnya boleh jadi menangis tidak membutuhkan alasan apapun karena menangis merupakan bentuk ekspresi dorongan psikologis yang terkadang tidak terduga. Karena, menangis adalah sebuah proses dimana kita sedang bersentuhan dengan emosi yang ada di dalam diri kita.Melaluiprosestersebutkita dapat memahami situasi yang terjadi. Kenapa demikian? Karena kerapkali kita menahan emosi-emosi tersebut sehingga menimbulkan kegelisahan yang sedemikian rupa. Maka tidak terlalu berlebihan bila ada kalimat yang mengatakan bahwa menangis adalah suatu perbuatan meng-unlock emosi.

Perwujudan Emosi

Marilah kita mencoba melakukan pengekuan dengan jujur, bahwa sesungguhnya menangis, sebagaimana tertawa dan stress serta marah adalah bentuk ekspresi emosi yang memiliki tujuan praktis yang akan memberi keuntungan tidak sedikit bagi manusia untuk bertahan hidup. Sebut saja misalnya stress membuat tubuh kita bersiaga penuh terhadap bahaya-bahaya tertentu, lebih dari itu sebenarnya dapat membantu kita untuk menghindari bahaya-bahaya tersebut tanpa perlu berfikir.Menangis dapat membantu diri kita merasa lebih baik dan mengurangi beban tekanan psikis (stress), serta dapat pula membuat tubuh kita tetap sehat.

Saya berkeyakinan bahwa sebahagian besar orang merasa lega setelah menangis. Hal ini menunjukan bahwa ada peningkatan yang signifikan dalam angka, tipe dan jumlah hormon yang dilepaskan tubuh kita dibanding sebelum menangis. Dalam catatan sebuah penelitian juga disebutkan bahwa menangis memiliki efek yang besar dan penting dalam proses healing(penyembuhan), dan hal itu meningkatkan mood sekitar 88.8% bagi setiap orang yang sudah menangis. Oleh karena itu menangis tidak bisa disebut sebagai bentuk kecengengan atau bisa di monopoli satu jenis kelamin saja.

Akhirnya, sebagai catatan akhir saya hanya ingin menyampaikan bahwa menangis adalah termasuk bahagian dari cara alami yang mudah, murah dan dapat dilakukan di mana saja ketika kita merasa perlu meluapkan emosi/perasaan sedih/senang atau dirundung masalah. Dengan bahasa lain yang lebih sederha, siapapun diri kita entah laki-laki ataupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menangis. Karena menangis adalah hak maka menangislah.*

*Sumber: Dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun