Pada 24 Februari 1933 di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, telah lahir seorang anak yang diberi nama Boedi Setya, dari pasangan Siti Loewijah dan Soesalit atau RM Singgih. Soesalit merupakan putra dari RA Kartini.Â
Sedangkan Siti Loewijah merupakan keturunan priyayi asal Tegal. Kala itu, Soealit enggan menjadi Bupati Rembang dan memilih berkarir sebagai tentara. Ilmu militernya dari Jepang.
Di tentara, karirnya melejit hingga menjadi jendral bintang dua. Namun, pada 1948 Soesalit harus turun pangkat dari Mayor Jendral menjadi kolonel akibat kebijakan reorganisasi Tentara Nasional Indonesia. "Jendral saya satu-satunya yang ndak saya kasih bintang adalah pak Soesalit", ungkap Sri Biantini, istri dari Soesalit menirukan kata-kata presiden Soekarno ketika itu.
Jalan hidup Soesalit berubah ketika Jepang menjajah Indonesia. Dia memutuskan bergabung dengan tentara negeri Sakura. Karir militernya mulus hingga menjadi shodanco (Komandan peleton) -setara dengan tokoh Pembela Tanah Air, Supriyadi.
Kemudian Soesalit ditugaskan di Yogyakarta, Banyumas, dan Semarang. Karir di militer menanjak hingga menjadi Panglima Divisi III/Pangeran Diponegoro di Kota Yogyakarta dan Magelang pada Oktober 1946 - 1 Juni 1948.
Kehidupan Soesalit tidaklah mudah. Ibunya, Kartini meninggal empat hari setelah kelahirannya. Soesalit kecil dirawat oleh neneknya, M.A Ngasirah- ibu Kandung Kartini- di Rembang. Musibah kembali datang ketika usianya baru delapan tahun, ayahnya wafat. Sejak saat itu ibu dan kakak-kakak tirinya.
Soesalit wafat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto pada Maret 1962 akibat komplikasi penyakit. Soesalit dianugerahi tanda kehormatan Bintang Gerilya pada 21 April 1979. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Rembang, Jawa Tengah.
Sumber:
Seri buku saku Tempo. Gelap -Terang Hidup Kartini. 2017. Jakarta: KPG.