Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi Dimulai Sejak Dalam Pikiran

19 April 2022   16:17 Diperbarui: 19 April 2022   16:24 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang saya merindukan suatu masa yang pernah dialami oleh para pendahulu/orang tua. Mereka kerap kali bercerita bahwa waktu itu, ritual keimanan belum seperti sekarang ini yang cenderung mudah dipamerkan, dipertontonkan dan bahkan menjadi bahan "pertunjukan" di ruang publik.

Jika konteksnya sebagai syi'ar dapat kita pahami, namun jika berniat memprovokasi maka akan timbul masalah di kemudian hari. Ada Sebagian kecil kalangan yang terkadang merasa belum puas jika segala aktivitas yang berkaitan dengan ritual keimanan ini tidak diungggah di berbagai lini masa; Facebook, WA/IG stories.

Mengapa hal ini kerap terjadi? Mungkinkah ada pergeseran memaknai keimanan? Atau hanya sekedar latah dan hiburan? Silahkan anda jawab sendiri.

Acap kali dengan mudah kita saksikan munculnya pertunjukkan kesalehan personal berupa atribut-atribut kegamaan; pakaian dan aksesorisnya.

Boleh jadi hal semacam ini tidak akan menimbulkan masalah-untuk tidak menyebut kebencian- jika tidak menjadi alat untuk melegitimasi atau menghakimi pihak lain dengan kalimat-kalimat bernada ejekan. Lebih jauh merasa paling mulia, suci dan merasa paling benar sendiri di antara umat yang lain.

Semakin menjadi masalah jika di kemudian hari menjadi media untuk menilai kesalehan-keimanan orang lain dan tanpa malu-malu menyatakan jika orang lain yang tidak berpenampilan "agamis" sebagaimana dirinya dituduh sebagai ahli bid'ah, kafir atau bahkan dianggap halal darahnya.

Merujuk pada Laporan setara institute 2021 menyebutkan bahwa sebanyak 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama terjadi di Indonesia pada 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 184 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara, seperti kelompok warga, individu, dan organisasi kemasyarakatan (ormas).

Pelanggaran kebebasan beragama yang paling banyak dilakukan oleh aktor non-negara berupa intoleransi, yakni 62 tindakan. Lalu, ada 32 tindakan pelaporan penodaan agama, 17 tindakan penolakan mendirikan tempat ibadah, dan 8 tindakan pelarangan aktivitas ibadah yang dilakukan aktor non-negara.

Sebagai Negara yang mayoritas berpenduduk muslim, tampaknya umat Islam khususnya memiliki tantangan tidak mudah dalam melihat makin maraknya persoalan intoleransi dan peristiwa-peristiwa yang dikaitkan dengan ajaran agama. Masih segar dalam ingatan, tentang peristiwa penolakan terhadap non-muslim yang dibuat tokoh Dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Meskipun Aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan warga dusun sejak 2015 yang melarang warga non-muslim untuk tinggal di dusun tersebu, meski hanya sebatas mengontrak. Tetap saja aturan tersebut mengandung unsur diskriminasi terhadap warga yang memiliki hak untuk tinggal dimanapun di wilayah NKRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun