Perempuan dan laki-laki hakikatnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang setara dalam proses kehidupan. Meskipun berbeda, bukan berarti boleh di beda-bedakan.
Namun begitu, kerap kali dijumpai cara pandang yang justru merendahkan perempuan yang didasarkan pada tafsir teks-teks keagamaan yang lebih "menyenangkan" pihak laki-laki. Terlebih jika sudah berumah tangga, posisi perempuan biasanya akan berubah drastis akibat didoktrin harus tunduk, patuh pada suaminya dalam keadaan apapun.
Misalnya dalam hubungan seksual. Pemahaman yang berkembang sering kali dianggap sebagai kewajiban istri melayani suami. Karenanya dalam keadaan apapun istri tidak boleh menolak mana kala suami meminta istri mengajak berhubungan seksual. Atau menurut istilah Alimatul Qibtiyah dalam Feminisme Muslim di Indonesia bahkan menyebut ada intervensi malaikat dalam hubungan seksual suami istri.
Istri, juga dituntut melayani suami dengan baik. Tuntutan ini berujung pada keharusan mematuhi terhadap seluruh kemauan suami. Pemahaman umum tersebut, juga didukung oleh "budaya" dan penafsiran ajaran agama yang lebih sering menempatkan perempuan hanya dalam fungsi reproduksinya. Sementara, hak-hak seksual perempuan diabaikan. Perempuan akhirnya secara tidak sadar-untuk tidak menyebut terpaksa- mengamini apa saja yang diperintahkan oleh suami.
Nahasnya, meskipun mengalami kondisi yang penuh "penderitaan" masih saja ada ujaran teologis yang dinarasikan oleh sebagian kalangan sebagai ibadah dan meminta perempuan agar mengalah dan memahami kondisi laki-laki, bahkan diminta memakluminya.
Menurut Abdul Mustaqim dalam pernikahan maslahah dan sakinah, menjelaskan bahwa anggapan istri harus patuh terhadap suami ternyata kerap disampaikan oleh kebanyakan penceramah ketika memberikan mauidhah hasanah (khutbah nikah) yang cenderung kurang mengakomodir kepentingan pihak istri.
Biasanya, hal ini tampak dari cara penceramah tersebut ketika menguraikan hak dan kewajiban antara istri dan suami. Lazimnya, penceramah akan mengutip ayat al-Qur'an yang berbunyi Arrijalu qowwamuna 'ala an-nisa' yang cenderung ditafsirkan secara sepihak dan "hanya" menguntungkan suami.
Meminjam istilah Abdul Mustaqim, ayat tersebut kerap kali dipahami sepotong - potong, sehingga dengan serta merta diartikan bahwa suami adalah pemimpin, atau bahkan penguasa istri. Dengan kata lain, suami dianggap paling berwenang atau bahkan sebagai pemilik otoritas di wilayah rumah tangga. Akibatnya, tafsir semacam ini cenderung mengarahkan kepada hegemoni (penguasaan) laki-laki atas perempuan. Hasilnya, suami merasa paling kuat, paling unggul dan merasa paling berkuasa.
Dalam kondisi seperti ini, jangan heran jika istri sering kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga; verbal dan non verbal yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Sebab, KDRT terhadap istri berakar dari ketimpangan hubungan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yang dimanifestasikan dalam institusi perkawinan dan keluarga.
Memang, ada juga suami yang menjadi korban KDRT. Namun berdasarkan data Komnas Perempuan 2021, ternyata istri yang menjadi korban jumlahnya tidak sedikit. Kasus KDRT/Ranah Personal tercatat sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%).