Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Poligami dan Keadilan

26 Agustus 2015   14:37 Diperbarui: 21 Desember 2015   15:10 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskursus mengenai tema poligami atau memiliki lebih dari satu pasangan (baca:istri) selalu menghadirkan pandangan yang beragam bahkan tak pernah “basi” hingga sekarang. Baik ditilik dari segi aturan hukum (dalil), manfaat/mudharat, tujuan atau bahkan mengenai kondisi sosiologisnya. Perilaku memiliki pasangan lebih dari satu-untuk tidak menyebut perseliran-tetap saja menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, karena biasanya poligami dipahami sebagai perintah kitab suci dan diartikan sebagai sunnah rasul, terlebih prinsipnya secara eksplisit tertuang di dalam kitab suci Al-Qur’an (QS.An-nisa [4]:3) yang kerap menjadi argumentasi para pelaku poligami.

Demikian pula dalam ajaran agama lain, misalnya Nasrani yang pada abad pertengahan dengan mudah kita dapat menyaksikan praktik poligami begitu masif dilakukan para penguasa saat itu. Poligami juga telah dikenal oleh masyarakat manusia, yaitu hubungan dengan perempuan yang berhak digauli dengan jumlah lebih dari satu. Sebut saja misalnya dalam kitab Perjanjian Lama, disebutkan bahwa Nabi Sulaiman a.s memiliki tujuh ratus 'istri' bangsawan dan tiga ratus gundik. Poligami meluas di samping dalam masyarakat Arab Jahiliyah juga pada bangsa Ibrani dan Sicilia yang kemudian melahirkan sebagian besar bangsa Rusia, Lithuania, Polandia.

Menurut catatan pengadilan agama di seluruh Indonesia menunjukkan, pada 2004 terjadi 813 perceraian akibat poligami. Setahun kemudian, angka itu naik menjadi 879 dan pada 2006 melonjak menjadi 983. Memang benar pada pada 2008 hanya tercatat 879 namun bukan berarti tidak ada poligami. Artinya praktik poligami seperti fenomena gunung es yang tampak kerucut di permukaan namun bergemuruh di dapur magma. Belum lagi dengan relatif dengan tidak sulit menjumpai praktik pernikahan di bawah umur, nikah sirri, tentu saja dapat menjadi indiktor kuat untuk melihat bagaimana sesungguhnya poligami di tengah masyarakat. Data ini sedikit banyak menunjukkan bahwa poligami justru menjadi penyebab perceraian dan dipastikan akan ada “persoalan” baru yang mengiringinya.

Menarik untuk disimak data yang dilansir oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada 2011 yang melakukan survey kepada terhadap pemuda muslim yang tersebar di indonesia dengan jumlah responden 1496, berumur 15 hingga 25 tahun dan dengan tingkat pendidikan yang bervariasi dari Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT). LSI menemukan kenyataan bahwa 52, 9 persen menolak poligami, sementara 32, 9 persen sangat menentang poligami. Total 85, 9 persen yang menolak poligami dan hanya 0, 8 persen yang sangat mendukung serta 12, 7 persen yang menyatakan setuju. Data tersebut diatas dapat menjadi konfirmasi bahwa perilaku poligami memperoleh “tentangan” dari masyarakat khususnya dari pemuda muslim. Maka tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa justifikasi poligami merupakan perintah “agama” atau anjuran bagi umat muslim telah gugur berdasarkan data tersebut.

Secara eksplisit, di dalam Al-Qur’an QS.An-nisa [4]:3 menerangkan poligami, yaitu; Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil [1], maka (kawinilah) seorang saja [2. Walhasil, ayat inilah yang kerap menjadi dasar-argumentasi seseorang sebagai pendukung praktik poligami. Akan tetapi harus di ingat pula bahwa poligami berbanding lurus dengan persoalan keadilan, pertanyaanya apakah kita sebagai manusia biasa berani mengkalim sudah mampu berbuat adil?

Meskipun secara eksplisit ada ayat yang menerangkan poligami namun ayat tersebut di atas masih harus disambung dengan ayat lain (QS.an-Nisa [4]:129: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam konteks ini penulis sependapat dengan Prof. Dr. Quraish Shihab yang menyatakan bahwa para ahli fiqih telah membuat konsensus mengenai poligami bahwa barangsiapa merasa yakin dirinya tidak akan dapat bersikap adil terhadap perempuan yang akan dinikahinya, maka pernikahan itu haram hukumnya. Namun, larangan itu hanya terbatas pada tataran etika keagamaan yang tidak masuk dalam larangan di bawah hukum peradilan bahwa barangsiapa merasa yakin dirinya tidak akan dapat bersikap adil terhadap perempuan yang akan dinikahinya, maka pernikahan itu haram hukumnya. Kenapa demikian? karena poligami berkait kelindan dengan keadilan karena bersikap adil kepada pasangan/istri hanya dapat diketahui oleh pribadi yang bersangkutan. Boleh jadi meskipun dirinya tidak berlaku adil tetap akan mengklaim dirinya adalah pribadi yang adil.

Sebagai catatan akhir, penulis kembali mencuplik pernyataan dari Prof.Dr. Quraish Shihab yang mengandaikan bahwa poligami mirip dengan pintu darurat kecil di dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu; yang duduk di samping pintu darurat itupun haruslah orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan membukanya serta baru diperkenankan membukanya setelah mendapatkan izin dari pilot. Pengandaian ini sesungguhnya sedang “menohok” individu maupun kelompok yang ingin membuka pintu poligami lebar-lebar atau menutup rapat-rapat. Bagaimana mungkin ketika pesawat terbang tidak ada “masalah” kita nekat membuka pintu emergency tersebut?* Wallahu a’lam.

*sumber: dari berbagai sumber

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun