Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menepis Stigma HIV & AIDS

28 Januari 2015   23:32 Diperbarui: 21 Desember 2015   15:14 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

HIV atau human immune deficiency virus adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia dan dapat dipaparkan kepada siapapun; baik laki-laki, perempuan, tua, muda/dewasa ataupun anak. Meskipun begitu, dapat kita saksikan dengan mata terbuka masih saja ada anggapan yang salah-kaprah terhadap fakta virus ini, yaitu masih ada sebahagian masyarakat yang menganggap bahwa HIV adalah penyakit. Padahal, HIV bukanlah suatu penyakit, namun HIV adalah virus. Karena berbentuk virus maka setiap orang memiliki faktor resiko yang sama untuk terpapar. Berbeda dengan AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yaitu sekumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya/menurunnya kekebalan tubuh (karena infeksi lanjut HIV).

Kementrian kesehatan melansir laporan bahwa pengidap HIV di Indonesia pada tahun 2014 (Juli-September) sejumlah 7.335 kasus, dengan persentase infeksi HIV tertinggi pada kelompok umur 25-49 tahun (69,1%), umur 20-24 tahun (17,2%), dan kelompok umur > = 50 tahun (5,5%). Dari laporan tersebut terungkap bahwa faktor paling resiko HIV adalah pada kelompok heteroseksual (57%). Artinya tuduhan bahwa HIV merupakan “kutukan” bagi kelompok tertentu langsur gugur. Sedangkan untuk AIDS baru tercatat sejumlah 176 dan relatif lebih kecil dari HIV, namun bukan berarti persoalan ini telah usai. Data kementrian yang sama menyebutkan bahwa untuk persentase AIDS tertinggi terjadi pada kelompok umur 30-39 tahun (42%), lalu diikuti kelompok umur 20-29 tahun (36,9%) dan kelompok umur 40-49 tahun (13,1%). Selanjutnya faktor tertinggi resiko AIDS adalah pada kelompok pada heteroseksual (67%). Bahkan baru-baru ini (6/2015), menurut menteri sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan sekitar 564 perempuan di Kota Batang Jawa Tengah teridentifikasi positif terpapar HIV-AIDS dari suaminya.

Melalui berbagai refensi kita dapat menemukan kenyataan bahwa minimal ada empat macam cara penyebaran HIV, yaitu; Pertama melalui hubungan seksual yang bergonta-ganti pasangan dengan cara tidak aman. Kedua, melalui transfusi darah, ketiga melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian, ke-empat melalui proses menyusui (pemberian air susu ibu) kepada bayi. Sedangkan untuk media penularannya adalah cairan sperma, mani, vagina, darah dan air susu ibu, serta narkoba. Walhasil, aktivitas berenang bersama, bergantian alat makan/minum dan berjabat tangan tidaklah serta merta secara langsung menularkan HIV. artinya penularan virus ini memerlukan waktu dan proses serta harus memiliki syarat atau biasa dirumuskan menjadi PESSE (POSITIF, EXIT, SURVIVE, SUFFICIENT dan ENTER) atau dalam bahasa sederhana bisa diartikan seperti ini: ada yang positif, virus keluar, virus hidup, jumlah virus yang cukup untuk menginkubasi dan adanya jalur masuk virus ke tubuh seseorang. HIV hanya bisa menular apabila empat prinsip ini dipenuhi semua. Namun begitu, ada pula yang terdeteksi dalam jangka waktu relatif cepat, sekitar dua minggu hingga enam bulan atau lazim disebut sebagai windows periode (periode jendela), yaitu waktu pertama kali seseorang terpapar HIV sampai terdeteksi. Dalam tahapan ini biasanya tidak ada sama sekali tanda-tanda khusus. Seseorang yang terpapar HIV tampak sehat dan boleh jadi merasa lebih sehat, bahkan sekalipun dilakukan serangkaian tes secara sukarela belum tentu dapat mendeteksi keberadaan virus ini.

Mengenal PESSE?
P (positif), artinya virus dapat menular apabila terjadi kontak fisik dengan seseorang yang positif terpapar virus HIV. Sedangkan E (exit) diartikan adanya jalan keluar bagi cairan tubuh yang mengandung HIV yang berada di dalam tubuh seseorang keluar dari tubuhnya. Hal semacam ini misalnya jika terjadi luka atau keluarnya cairan tubuh yang mengandung HIV seperti ketika seseorang melakukan hubungan seksual. Penularan melalui jarum suntik dapat diartikan karena ada darah yang tersisa di dalam jarum bekas suntikan dan kemudian masuk kedalam tubuh seseorang. Sedangkan S (survive) adalah cairan tubuh yang keluar dari seseorang harus mengandung virus yang mampu/tetap bertahan hidup. Prinsip Survive ini juga tidak terpenuhi bila diberitakan HIV dimasukkan dalam minuman soda atau makanan sebab asam lambung yang pekat akan membuat HIV ini tidak bertahan hidup lama dalam ruangan terbuka.

Perlu diketahui bahwa HIV jika berada di luar tubuh “induk” (manusia), tidak akan bertahan hidup lama. Hal ini misalnya ketika cairan tubuh keluar di saat berenang atau berada dalam udara bebas lainnya. Selanjutnya S (sufficient) diartikan sebagai jumlah HIV dalam cairan tubuh yang keluar dari seseorang yang terifeksi harus memiliki daya infeksi/tular. Kita tahu bahwa jika jumlahnya sedikit HIV tidak akan bisa menginkubasi. Inilah yang menjadi penyebab mengapa cairan seperti keringat, saliva (ludah) tidak bisa menularkan HIV. Selanjutnya adalah E (enter), yaitu adanya jalur masuk di tubuh manusia yang memungkinkan kontak dengan cairan tubuh yang mengandung HIV.

Berperilaku mencegah
HIV & AIDS bukanlah persoalan kesehatan fisik saja, namun melibatkan berbagai hal baik secara personal, kelompok, keyakinan dan kebiasaan di masyarakat. Oleh karenanya, Sekurang-kurangnya ada lima hal yang dapat dilakukan sebagai upaya mencegah makin meluasnya virus; pertama, katakan tidak pada hubungan seksual ketika belum waktunya. Karena sangatlah rentan terkena kanker servicks (leher rahim) apabila seseorang melakukan hubungan intim ketika masih berusia di bawah umur. Kedua, setia terhadap pasangan artinya kita sedang diajak untuk menghindarkan diri dari perilaku gonta-ganti pasangan yang dalam kenyataannya malah menimbulkan persoalan baru. Ketiga, selalu menjaga dalam menggunaan alat-alat kesehatan agar tetap steril dari kemungkinan terpaparnya HIV, dan ke-empat adalah terus menerus melakukan kampanye/penyebaran informasi dengan benar, tepat, terukur kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama kaum perempuan yang faktanya menjadi kelompok paling rentan serta kelima adanya produk kebijakan yang lebih berperspektif keadilan dan kesetaraan mulai dari level paling bawah hingga pusat supaya pelayanan dan penjangkauan terhadap persoalan tersebut diatas lebih komprehensif.

Catatan lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah menghindari perilaku men-stigma (perlakuan tidak adil) terhadap seseorang yang positif mengidap HIV. Saya meyakini bahwa setiap orang selalu punya resiko dan peluang yang sama terpapar virus ini, oleh karenanya menjaga dan bertanggung jawab terhadap perilaku yang sehat dapat menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangan. Perilaku membeda-bedakan (diskriminasi) juga penting untuk kita hindari, karena tidak ada seseorang yang menginginkan dirinya terpapar HIV*.

*Dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun