[caption id="attachment_154851" align="alignleft" width="205" caption="Ilustrasi (http://www.indonesiaindonesia.com/)"][/caption]
Kisah nyata ini terjadi beberapa hari yang lalu, tepatnya di hari minggu senja lembayung. Aku beranjak dari tempat berteduhku, menuju ke sebuah tempat yang menghidangkan makanan pengganjal perut -- yang tak lain adalah sebuah "stand" warung di tepi badan jalan raya. Warung itu kelihatan ramai dengan segala hiruk pikuk di sekitarnya, mulai dari "gemiriciknya" suara peraduan alat-alat masak si penyaji hidangan dengan aneka-ragam komposisi masakan, runtutan deru suara hilir mudik kendaraan yang melintas -- juga menjadi bagian alunan polusi suara yang tercipta, dan tak ketinggalan pula nada-nada yang terbentuk dari kumpulan kata dan kalimat yang membuyar dan keluar dari pita suara para pengunjung warung, termasuklah salah seorang insan yang menjadi obyek fokus penglihatanku -- yang kurasa telah membentuk sebuah siklus opera sandiwara realitas kehidupan pada saat itu.
Insan itu -- yang oleh sebagian orang -- menyebutnya dengan sebutan banci, bencong, waria (wanita pria), dan segala embel-embel sejenis lainnya. Namun, entah mengapa aku merasa sebutan itu terdengar agak "kasar" dan berkonotasi negatif -- tanpa unsur denotasi yang kaprah. Aku malah menyebut insan itu dengan sebutan "transgender". Kurasa istilah ini lebih bergaung "pas" dan mungkin terdengar "keren" dalam pelafalannya. Transgender menurutku adalah istilah untuk meng-eksposisi-kan suatu perubahan yang terjadi pada wujud mutlak manusia, tanpa disertai dengan perubahan berarti yang "dominant" dan "permanent" pada bagian tubuh tertentu manusia, yang berarti hanya terjadi perubahan secara psikis, seperti tabiat, karakter, sikap, perilaku, dan kondisi kejiwaan lainnya, baik yang disengaja, ataupun tidak sengaja. Berbeda halnya dengan istilah "Transeksual", yang secara inti telah terjadi perubahan mutlak pada bagian tubuh (fisik) si pelaku, misalnya telah melakukan operasi pertukaran kelamin, laki-laki menjadi wanita atau sebaliknya.
Kembali ke insan yang menjadi obyek fokus penglihatanku. Insan itu berpakaian yang kurasa tidaklah pantas untuk dipakai secara kodratnya. Dengan sebuah alat musik tamborin yang mengeluarkan suara gemericing yang kompak, insan itu atau pengamen "transgender" itu bernyanyi dengan suara yang parau disertai suara sopran kewanitaan yang amatir. Sesekali ia menggoyangkan lekuk tubuhnya dan mengibaskan uraian rambutnya di hadapan pengunjung warung itu. Sesekali juga ia mencolek centil pengunjung dengan ujung telunjuknya yang terlihat besar. Tidak sedikit para pengunjung yang tertawa melihat ulah pengamen "transgender" itu. Termasuklah diriku. Jujur dan terus terang saja, aku tertawa bukan berarti menghina atau menganggap moment itu sebagai sebuah pertunjukkan yang tidak pantas. Tetapi, aku tertawa -- kuanggap sebagai apresiasi penonton terhadap seniman yang sedang melakukan pertunjukkan di atas panggung. Akulah penonton itu dan pengamen "transgender" itu adalah sang seniman. Dari sekian mata pengunjung, tak sedikit juga aku menangkap semburat dan guratan sikap penolakan terhadap pengemen "transgender" itu. Walaupun semburat itu terlihat halus, tetapi dapat kudefinisikan sebagai sesuatu perasaan yang katakanlah secara kasar sebagai wujud rasa jijik, mungkin muak, mungkin benci, mungkin takut dan perasaan sejenis lainnya terhadap aksi yang dilakukan sang pengamen "transgender" tersebut. Dan, ada juga salah seorang pengunjung yang malah melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan, yakni dengan memukul pantat sang pengamen tersebut. Aku tak tahu mengapa ada yang melakukan hal tersebut, apakah itu wujud perilaku yang baik atau sebaliknya. Tetapi, pengamen "transgender" itu tidak menanggapinya dengan serius, bahkan cenderung centil terhadap pukulan itu. Tetapi, aku merasa sungguh "kasihan" melihat moment yang tercipta itu.
Aku jadi teringat mengenai penelitian yang pernah dilakukan oleh sahabatku di sebuah perguruan tinggi ternama di Ibukota. Para manusia transgender yang berlalu-lalang di ibukota Indonesia itu tercipta karena tuntutan realitas hidup yang mengkukunginya. Menurut temanku, alasan mereka melakukan konversi transgender tersebut yang paling utama adalah faktor ekonomi dan psikis. Dari faktor ekonomi, mereka beranggapan dengan mengubah penampilan seperti itu, mereka akan dengan mudah mendapatkan kebutuhan hidup sehari-hari, walaupun berhadapan dengan "picingan" mata-mata negatif dari manusia di sekitarnya atau bahkan mereka tak jarang harus masuk dan menjadi bagian pintu dimensi terlarang dunia hitam, alias tingkatan kebutuhan fisik (maaf, pelayanan seksualitas). Sedangkan dari faktor psikis, kebanyakan manusia transgender ini menganggap dirinya telah terperangkap di tubuh yang salah, pada dasarnya mereka merasa itu bukanlah tubuh mereka, sebab mereka merasa tidak nyaman dengan tubuh yang dimilikinya, sementara mereka berperilaku bertolak belakang dengan kodrat fisik tubuhnya. Karenanya, tak jarang manusia tarnsgender ini mulai bermetamorfosis menjadi manusia transeksual dengan melakukan operasi pertukaran kelamin, seperti yang biasa kita ketahui pada umumnya.
Yang jelas, di sini sekali lagi kita mencoba berfikir dan merenung positif bahwa segala sesuatu yang telah tercipta itu tentu sudah ada yang mengaturnya. Dan, kita sebagai bagian dari siklus itu, haruslah mencoba menjadi dan berlakon sebagaimana mestinya, tentu saja secara idealnya menjadi aktor/is protagonis yang mampu memberikan manfaat sebanyak-banyaknya. Karena tidak penting untuk mengingat dan membesar-besarkan apa yang kita miliki, tetapi yang lebih penting lagi adalah seberapa besar yang kita berikan. Dan, salinglah mengahargai dan menghormati antara satu dengan lainnya tanpa memandang segala bentuk perbedaan yang ada, karena keberagaman itu sungguh sangat indah, laksana kumpulan warna yang indah membentuk pelangi !
Terima Kasih dan Semoga Bermanfaat !
------------------------
Jakarta raya
Awal Juni
.