Mohon tunggu...
Cupi Valhalla
Cupi Valhalla Mohon Tunggu... -

A traveling lover, An environmentalist, and An ordinary person who has many extraordinary passions. Having been learning the subject of the environmental safety and health at Technische Hogeschool te P.V.J

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Kaum Hawa Menjadi Obyek Kekerasan!

6 Mei 2010   07:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:22 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_134637" align="aligncenter" width="436" caption="Ketika Perempuan Menjadi Obyek Kekerasan !"][/caption]

Satu hal yang tidak bisa ditampik (ditepis), bahkan hampir di seluruh lini kehidupan sekalipun, bahwa hadirnya kaum hawa (perempuan/wanita) sangat penting arti dan keberadaannya. Sedemikian penting arti kehadirannya di jagad raya ini sampai-sampai tokoh ulama sekaliber Prof. Dr. M. Quraish Sihab dalam buku yang berjudul Perempuan,  menyebutkan bahwa : "Lelaki yang tidak didampingi oleh perempuan -- demikian juga sebaliknya -- bagaikan perahu tanpa sungai, malam tanpa bulan atau biola tanpa senar. Tanpa perempuan, bayi tak akan lahir, dan yang lahir pun tidak merasakan kasih sayang. Tanpa perempuan masa muda lelaki menjadi gersang. Masa matangnya menjadi hampa dan masa tuanya menjadi penyesalan. Memang Allah menciptakan perempuan -- baik sebagai isteri, ibu atau anak -- untuk dicintai lelaki, demikian pula sebaliknya. Bagi lelaki, tanpa perempuan hidup adalah neraka, siksa dan dengan perempuan hidup bisa menjadi surga di dunia ini". Sungguh cuplikan pernyataan tersebut mendeskripsikan betapa kaum hawa amat sangat berarti kehadirannya.

Sayangnya, kenyataan di lapangan kerap menunjukkan negasi (pengingkaran) terhadap kenyataan cuplikan pernyataan di atas. Lihat saja, dewasa ini fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), banyak sekali terjadi dan banyak mendapat sorotan. Problematika yang terjadi dalam rumah tangga sehari-hari semakin maraknya dengan melibatkan kaum hawa (perempuan/wanita) sebagai obyeknya. Diketahui bahwa semakin seringnya terdengar kabar seorang isteri yang melaporkan kepada pihak aparat tentang tindak kekerasan sang suami terhadap dirinya. Informasi problematika ini sungguh telah menjadi cermin kontras terhadap cuplikan pernyataan sebelumnya, bahwa kaum hawa adalah sesuatu yang berarti kehadirannya. Sebab, di lapangan kehidupan real manusia, terdapat suatu bentuk kekarasan, baik psikis maupun fisik, yang kerap menerkam diri sang kaum hawa (perempuan/wanita).

Ada tiga bentuk kekerasan yang menimpa kaum hawa (perempuan/wanita), yang biasa terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Pertama, kekerasan sikap. Bersikap merendahkan (suami terhadap isteri) merupakan contoh dari kekerasan dalam bentuk ini. Kedua, kekerasan bahasa. Misalnya memaki dan mengintimidasi. Dan ketiga, kekerasan fisik. Seperti memukul atau memaksakan kehendak. (Andi Darmawan dalam Marital Tape Persfektif Al-Qur'an )

Ironisnya, respon masyarakat akan kondisi seperti ini sendiri cenderung minim. Masalah ini seoaah bukan masalah penting yang perlu dicarikan alternatif jalan keluarnya. Ia (KDRT) tak lebih dianggap sebagai persoalan "dalam negeri" rumah tangga semata. Padahal, masalah ini mengantarkan perempuan (baca juga : isteri), yang selama ini dianggap sebagai "kunci" kesejahteraan keluarga, malah mengalami tekanan yang sangat berat di balik dinding rumahnya, tanpa pernah kita akui hal itu sebagai sesuatu "persoalan yang serius".

Sementara itu, menurut Elli N. Hasbianto, sebagaimana yang ditulisnya dalam sebuah buku berjudul Kekerasan dalam Rumah Tangga : Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi, menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan minimnya respons masyarakat terhadap permasalahan/problematika ini, yakni sebagai berikut :

Pertama, KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga ketat privacy-nya, karena persoalannya terjadi di dalam keluarga. Kedua, KDRT sering dianggap “wajar” karena diyakini memperlakukan isteri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Dan ketiga, KDRT terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu pernikahan/perkawinan.

Selain ketiga faktor tersebut, Elli N. Hasbianto juga menambahkan bahwa sangat kuatnya kultur yang menomorsatukan keutuhan dan keharmonisan keluarga juga menjadi pemicu dari timbulnya tindak KDRT tersebut.

Kenyataan inilah yang menyulut minimnya respons masyarakat terhadap keluh kesah para kaum perempuan (baca : isteri), yang mengalami persoalan dalam rumah tangganya. Padahal, di banyak Negara masalah ini (KDRT) menjadi bahaya terbesar bagi kaum hawa (perempuan/wanita). Bahkan diyakini lebih berbahaya dibandingkan dengan bahaya kekerasan di jalanan.

Di AS, misalnya, KDRT merupakan bahaya yang terbesar bagi perempuan dibandingkan dengan bahaya perampokan dan pencurian. Data statistik di sana menunjukkan bahwa tiap 9 menit perempuan menjadi korban kekerasan fisik, dan 25 % perempuan yang terbunuh adalah dibunuh oleh pasangan lelakinya. Disebutkan juga bahwa antara 1.5 hingga 3 juta anak menyaksikan KDRT dalam keluarganya. Kemudian, diketahui juga dari sebuah riset yang dilakukan pemerintah Kanada, yang menunjukkan bahwa setidaknya 1 dari 10 perempuan yang berumah tangga mengalami kekerasan dari suami/pasangannya. (Diacuh dari buku Menakar "Harga" Perempuan : Eksplorasi Lanjut atas Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Elli N. Hasbianto, Bandung : Mizan 2005).

Informasi di atas sungguh sangat ironis, bahwa dalam masyarakat modern seperti AS tersebut, yang dibangun di atas prinsip rasionalitas, demokrasi dan humanisasi, budaya kekerasan justru semakin menjadi fenomena kehidupan yang tak terpisahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun