Mohon tunggu...
Cupi Valhalla
Cupi Valhalla Mohon Tunggu... -

A traveling lover, An environmentalist, and An ordinary person who has many extraordinary passions. Having been learning the subject of the environmental safety and health at Technische Hogeschool te P.V.J

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Datang Bulan yang Dinantikan Seorang Nenek!

12 Januari 2011   18:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:39 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12948598181470258531

[caption id="attachment_82878" align="alignleft" width="300" caption="Keindahan bulan dengan refleksi bayangannya di atas permukaan air! (http://berry89.multiply.com/journal/item/143)"][/caption] Suatu senja yang lembayung. Suasana tampak hiruk pikuk. Berbagai symbiosis sosialita terkreasi dalam jalinan aktivitas manusia yang tampak bahagia di atas kapal raksasa. Yaa, hari ini adalah hari perdana bagi masyarakat untuk menikmati liburan pelayaran yang diadakan oleh perusahaan pelayaran terbesar se-Jepang. Kapal raksasa bagai ikan paus itu diberi nama Phoenix. Setiap tahun event ini diadakan oleh perusahaan untuk memberikan nuansa kelautan bagi masyarakat Jepang yang memiliki hubungan yang intim dengan laut. Dalam jajaran manusia yang ikut berpartisipasi dalam pelayaran besar tersebut, tampak seorang nenek tua sedang duduk bersandar anggun dalam pakaian kimononya. Lekuk keriput yang membaluti tubuhnya mengisyaratkan bahwa nenek itu telah banyak makan asam garam kehidupan. Nenek itu terus melihat menatap hamparan laut yang tampak berwarna merah kekuning-kuningan karena bias refleksi pancaran terbenamnya sang surya. Sang nenek tampak khusu' menikmati keindahan laut di senja itu. Sepertinya sang nenek sedang berada dalam dunianya menikmati masterpiece alam yang mencuat ke permukaan. Waktu merangkak malam. Aku yang sedari tadi sibuk berkeliling setiap jengkal area kapal, akhirnya memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tak akan cukup sehari untuk mengobservasi setiap tempat di kapal raksasa ini, saking luasnya. Kuputuskan untuk beristirahat menikmati angin malam di balkon utama kapal. Kulihat, area balkon itu tampak sepi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat berada di sana. Dan, Aku terkejut. Kudapati ternyata sang nenek  itu masih ada di sana sejak pertama kali aku melihatnya. Kuperhatikan, bahkan posisinya yang anggun tak berubah satu inchi pun. Sang nenek tampak khusu' memandang hamparan laut yang tampak gelap gulita. Hanya bias pancaran lampu tembak sang kapal yang menyinari jarak pandang kami di sana. Kuterkesima sesaat, dan merasa takjub dengan apa yang telah dilakukan oleh sang nenek itu. Akhirnya, kuberanikan diri mendekati nenek itu. Dengan bahasa tubuh yang sopan, kucoba menyapa sang nenek. "Selamat malam, bolehkah saya bergabung di sini dengan nenek?!" "Silahkan" Jawab sang nenek dengan pandangan yang masih menatap hamparan laut luas. Aku pun duduk di salah satu kursi santai yang berada di samping sang nenek. "Maaf, Nenek sedang melihat apa?!" Tanyaku kembali dengan sangat hati-hati. "Kurasa kamu sepertinya sudah tahu itu" Jelas nenek itu kembali yang masih asyik masyuk dengan pandangannya ke laut. "Laut ya, hmmm, laut memang menyegarkan dan memandangnya membuat kita menjadi damai. Bukan begitu, Nek?!" "Begitulah" "Maaf, saya telah melihat nenek sejak sore tadi. Sepertinya nenek belum beranjak dari sini. Apa nenek sedang menunggu seseorang atau sesuatu?!" "Seperti itulah. Dan, aku sudah bertemu dan melihatnya sejak setengah jam yang lalu" Jelas nenek itu kembali tanpa menghadapkannya wajahnya kepadaku. Tampak pias senyum dari samping guratan wajahnya. "Ekh, benarkah, dimanakah orang itu?!" Tanyaku yang mengartikan pasti yang dimaksud nenek itu adalah dengan seseorang. "Bukan sesorang, tapi sesuatu" "Ekh, maaf, kalau begitu, apakah sesuatu itu dan dimanakah keberadaanya sekarang?!" Tanyaku penasaran, sambil celingak celinguk melihat ke segala arah. "Ada di depan kamu sekarang" Jawabnya. Kali ini dia menghadapkan wajahnya ke hadapanku yang tampak bingung. Tampak guratan sosok wajah yang sangat damai terpancar dari air mukanya. "Ohh, laut ya, Nek. Bukankah Anda sudah melihatnya sedari tadi" "Bukan, coba kamu berdiri dan perhatikan lagi ke permukaan laut itu" Lalu, aku berdiri menghadap ke laut. Dan, mataku akhirnya menemukan obyek yang dimaksud sang nenek. Pancaran bias refleksi sinar rembulan tampak indah memantul di permukaan air laut dengan riaknya yang cukup menenangkan. Namun, ada yang lebih luar biasa lagi. Dari bayangan bulan yang terkreasi di atas permukaan air laut itu, kutengadahkan wajahku ke langit melihat rembulan yang sebenarnya. Mataku terbelalak takjub. Ternyata bulan di malam itu sangat besar sekali. Baru kali ini aku melihat keindahan bulan purnama di atas samudera. Sungguh luar biasa sekali pemandangan yang kulihat itu. Aku bertanya dalam hati, mengapa aku tidak sadar akan hal itu. "Sudah menemukannya" Suara nenek menyadarakanku dari keterpanaanku melihat rembulan itu. "Ekh, sudah, Nek" Jawabku dengan wajah yang sumringah "Itu lah yang kutunggu sedari sore tadi. Datang bulan yang kunantikan setiap tahunnya" "Aku selalu menunggu moment kedatangan bulan itu di atas kapal ini. Karena itu adalah pengalaman yang luar biasa dalam hidupku" Tampak mata sang nenek berkaca-kaca. Sepertinya ada cerita dibalik pengalaman hidup dari ucapannya. "Kamu tahu, nak, saat aku pertama kali mengalaminya. Aku sama sepertimu, merasa terpana dan takjub dengan semua itu. Mungkin aku lebih parah darimu, nak. Aku bagaikan menjadi orang linglung yang sedang melihat sebuah kejadian alam. Namun, sebenarnya ucapan ayahkulah yang terus kuingat dan terus kusimpan sampai sekarang, semenjak pertama kali melihat kejadian alam seperti sekarang ini" Jelas nenek itu sambil melihat kembali ke bayangan bulan di atas permukaan laut itu. "Ketika detik-detik menunggu ayahku tutup usia. Di bawah sinar rembulan purnama seperti sekarang ini, dia berujar dengan lembut, 'Putriku, kamu lihat bayangan rembulan di dasar laut itu, orang akan melihatnya biasa saja bukan, namun jika kita mendongak ke atas, lihatlah betapa bulan yang sebenarnya lebih indah dan sejati. Artinya, jangan melihat segala sesuatu itu hanya dari bayangan semata atau kesemuan semata, namun lihatlah secara realita dan kebenaran sejati, niscaya kamu akan memahami makna kehidupan itu sendiri. Ingatlah putriku, hidup ini penuh dengan bayang-bayang semu dan berbagai topeng lakon dari setiap aktor pelaksana kehidupan. Kamu harus benar-benar memahami dan bisa melihat realita di atas bayang-bayang dan topeng lakon kehidupan itu. Jangan mau tertipu atas apa yang kamu lihat, dengar, dan rasakan dari setiap permukaan atau bayang-bayang hidup yang kamu jumpai. Jadilah pribadi yang bijak dan tanggap atas semua lika-liku kehidupan yang akan kamu hadapi ke depannya mulai dari sekarang'. Lalu tak lama kemudian ayahku pun menghembuskan napas terakhirnya" kenang sang nenek. Tampak sudut-sudut kedua matanya mengeluarkan bulir air yang tampak bercahaya. "Kamu tau, nak, sejak itu perkataan ayahku telah menjadi semboyan hidupku sampai sekarang. Kenangan di saat-saat terakhir ayahku adalah memorial yang indah dan takkan pernah kulupakan sampai sekarang. Makanya, setiap tahunnya aku selalu menunggu moment ini dalam hidupku. Menanti datang bulan yang selalu mengisi hidupku." Entah mengapa, aku tidak berkata apa-apa lagi kepada nenek itu. Aku hanya mencoba menjadi pendengar yang baik. Aku bagaikan terhisap dalam alunan kisah sang nenek, yang membuat aku merasa empati berbalut kagum. "Hmm, nenek, sepertinya sudah larut malam, angin malam ini juga cukup kencang, mari saya antar nenek ke kamar nenek" Aku kemudian menawarkan diri kepada nenek itu. "Tidak perlu, nak, aku bisa sendiri" Jawabnya lirih. "Ekh, kalau begitu, saya mohon diri ke kamar duluan ya, nek, terima kasih banyak sudah mau berbagi cerita dengan saya!" Nenek itu hanya tersenyum dan mengangguk lembut. Aku kemudian beranjak meninggalkan sang nenek. Sambil berjalan, cerita nenek itu terus terngiang di kepalaku. Ketika sampai di dalam ruangan. Aku kemudian berbicara kepada salah satu petugas jaga malam kapal, mengenai keberadaan nenek di balkon itu. Aku berpesan dan meminta kepada petugas jaga malam itu, agar membawa masuk seorang nenek yang sedang berada di balkon. Sang petugas pun segera memenuhi permintaanku, sementara aku masih menunggu di ruangan lobi utama. Namun, apa yang terjadi. Ternyata sang petugas jaga malam itu kemudian memberitahuku bahwa tidak ada lagi seseorang pun di balkon itu. Kupikir sang nenek telah kembali ke kamarnya. Akupun lantas kembali ke kamarku untuk bersitirahat. Esoknya. Pagi yang cerah. Suasana di balkon utama tampak ramai. Semuanya antusias untuk melihat peristiwa alam di pagi hari. Melihat matahari terbit, timbul dari dasar laut yang tenang. Sungguh sebuah peristiwa alam yang tidak boleh dilewatkan, apalagi berada di atas samudera yang luas ini. Namun, pagi ini, entah mengapa aku tidak melihat keberadaan sang nenek. Kurasa nenek juga pasti ikut menyaksikan momentum matahari terbit di pagi hari ini. Namun, tak kudapati keberadaan sang nenek. Aku mengarahkan pandanganku di tempat kemaren nenek itu bersandar menghadap laut. Tetapi, yang kulihat adalah sosok orang lain, bukan sang nenek. Aku sedikit kecewa. Namun, kupikir, nenek pasti berada di tempat lain dan juga menyaksikan peristiwa alam yang mempesonakan ini. Tiba-tiba, mataku terbelalak heran menatap serombongan penumpang yang ada di sudut balkon. Mereka semua mengenakan seragam yang sama. Berwarna putih. Dan, tampak beberapa orang menyebarkan kelopak bunga matahari ke hamparan laut. Karena penasaran. Kucoba melangkahkan kaki lebih dekat ke arah mereka. Kini, baru kutahu ternyata mereka sedang melakukan ritual untuk mengenang salah seorang anggota keluarga mereka yang telah tiada. Bagi sebagian masyarakat Jepang, jika ada anggota keluarga yang meninggal di laut atau sedang berada di atas lautan, maka mereka akan melakukan ritual menyebar bunga ke hamparan laut, untuk mengenang sosok yang telah tiada tersebut. Kelopak bunga beriringan doa yang disebar itu sebagai harapan agar sang mendiang tenang di alam sana. Aku terpaku melihat ritual yang dilakukan itu. Namun, dalam keterpakuan yang membeku. Tiba-tiba mataku terbelalak kaget tak percaya. Dalam rombongan berseragam putih itu, ketika kulihat sebuah foto berbingkai perak yang sedang dipeluk seorang anak perempuan yang manis berkuncir dua. Kulihat, kuperhatikan, dan kuamati dengan seksama. Ternyata foto itu adalah gambar sang nenek yang kujumpai kemaren. Aku diam membisu dalam kebekuan. Semuanya hening dan hampa seketika. Kini, baru kusadar ternyata rombongan itu sedang mengenang sang nenek yang telah tiada. Aku berjalan mendekati ujung pembatas balkon. Aku memisahkan diri dari keramaian orang. Dalam ketermangguan, kutengadahkan kedua mataku menghadap hamparan laut luas. Kubiarkan semilir angin dan percikan riak ombak membelai wajahku. Dalam deru debu keterpanaanku menatap hamparan laut, sosok dan cerita sang nenek kemaren, seketika teringat kembali dalam memorial di benakku. Dan, pagi itu, di hadapan kerajaan laut yang tampak membiru, aku berucap lirih penuh keharuan kepada setiap kumpulan tetes air yang membentuk hamparan laut, "Terima kasih banyak Nek untuk pertemuan kita. Semoga nenek damai di sana!" ------------------------------------------------- Cerita ini kupersembahkan untuk mengenang almarhumah nenek dari pihak Ayahku---Ibunya Ayahku. Semoga Allah menempatkan nenekku di tempat yang terbaik di sisinya, sebagaimana Allah menempatkan orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Amin Ya Rabbal 'alamin!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun