Mohon tunggu...
Cukup Agum
Cukup Agum Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Wacana Nuklir Indonesia

24 April 2015   11:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:44 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Industri nuklir memiliki peranan penting dalam penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kita ambil contoh di Amerika, sebagai negara adidaya ada lebih dari 100 reaktor di Amerika Serikat yang menghasilkan nilai ekonomi dalam negeri yang cukup besar, pendapatan negeri Paman Sam itu mencapai $ 50 miliar tiap tahunnya, dan lebih dari 100.000 pekerja terserap dan berkontribusi dalam industri nuklir Amerika.

Meskipun pembangunan fasilitas atau industri energi nuklir membutuhkan modal besar, tetapi biaya modal hanya merupakan titik awal. Menurut analisis beberapa perusahaan energi, kajian akademis serta lembaga pemerintah hasilnya menunjukkan bahwa listrik yang dihasilkan dari energi nuklir dapat bersaing dengan sumber-sumber energi lainnya. Sudah barang tentu ini merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan, mengingat energi nuklir dalam operasionalnya tidak menghasilkan buangan sumber polusi. Spirit “save our earth” tentu jadi dorongan kuat bagi terealisasinya industri energi nuklir. Berbeda dengan pembangkit listrik yang berasal dari batu bara, gas atau minyak bumi, yang turut menyumbangkan polutan bagi bumi ini.

Sejak era Presiden Sukarno penelitian tentang energi nuklir sudah dilaksanakan, diawali dengan pembentukan Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet pada tahun 1954 yang bertugas melakukan penyelidikan kemungkinan adanya jatuhan radioaktif ke Indonesia sebagai akibat dampak uji coba senjata nuklir di lautan Pasifik. Masa itu adalah masa pergolakan khususnya antara Blok Barat yang dipimpin Amerika dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet. Kini, sesuai peradaban maka uji coba senjata nuklir dilarang. Hal tersebut ditandai dengan ada penandatangan atau perjanjian Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang sudah disepakati oleh sekitar 170 negara, termasuk Indonesia.

Dengan perkembangan dan pendayagunaan teknologi nuklir yang maju, saat ini energi nuklir tidak hanya menghasilkan listrik saja melainkan aplikasi nuklir di bidang kesehatan, industri, pangan, pertanian dan peternakan. Hanya saja di Indonesia pemanfaatan energi nuklir untuk listrik belum terealisasi, sejak presiden pertama sampai sekarang. Padahal banyak negara yang memiliki lebih dari 10 reaktor nuklir misalnya Amerika, Perancis, Jepang, Jerman, Inggris, Korea Selatan, Rusia, dan Cina berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan ekonominya. Dengan adanya reaktor nuklir tersebut maka menjadi jaminan adanya ketersediaan listrik di negara tersebut, dan secara otomatis mendorong kemajuan industri. Investorpun berbondong-bondong masuk ke dalamnya, membuka lapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup warganya.

Namun tak bisa dipungkiri bahwa setiap teknologi, apapun itu, memiliki kemungkinan adanya sisi buruk atau negatif. Yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang adalah semakin tinggi teknologi tersebut, semakin tinggi pula sistem keamanan dan keselamatannya, dengan pertimbangan yang matang maka resiko bisa diperhitungkan dan diantisipasi. Contoh sederhana bisa dilihat dari perbandingan prosedur keamanan alat transportasi, misalnya bus dan pesawat. Nampak jelas standar keamanan dan keselamatan tinggi di pesawat berbeda dengan bus. Dengan prinsip safety, security and safeguard maka pemanfaatan energi nuklir dapat diaplikasikan. Melalui International Atomic Energy Agency (IAEA) pengawasan ketat terhadap siapa saja yang ingin memanfaatkan atau membangun reaktor nuklir dilakukan. Prosedur dan persyaratan yang ketat diterapkan bagi negara yang hendak membangun PLTN, perhitungan sudah dimulai sejak pemilihan lokasi, pra pembangunan dan pembangunan, operasional hingga nantinya dekomisioning. Vulkanologi, oceanografi, demografi, geologi, dan masih banyak hal yang dipersayaratkan untuk membangun PLTN. Sedemikian ketatnya pembangunan PLTN ini menunjukkan sistem keamanan dan keselamatan yang tinggi dimiliki oleh PLTN, hingga saat ini telah dikembangkan generasi 3+. Peristiwa Chernobyl tidak bisa disamakan dengan PLTN yang ada sekarang, karena Chernobyl yang menggunakan reaktor nuklir RBMK-1000 yang dikembangkan tidak hanya untuk menghasilkan listrik, tetapi untuk menyediakan plutonium bagi persenjataan nuklir Uni Soviet era perang dingin. Dengan suplai inilah maka Uni Soviet meningkatkan persenjataan nuklir mereka. Menurut para ahli, secara struktur desain pun Chernobyl dinyatakan salah karena dirancang tanpa pengaman, dan RBMK-1000 tidak digunakan lagi oleh negara manapun di dunia, mengingat konsentrasi Uni Soviet pada saat itu bukan untuk menghasilkan listrik melainkan untuk persenjataan nuklir.

Rencana pembangunan Reaktor Daya Eksperimental (RDE) atau Reaktor Daya Non Komersial (RDNK) yang lebih akrab disebut PLTN mini di kawasan Puspiptek Serpong bisa menjadi tonggak awal dibangunnya PLTN-PLTN lain di Indonesia dengan kapasitas yang lebih besar. PLTN ini menjadi jembatan sosialisasi, edukasi sekaligus promosi bagi masyarakat. Kenyataan bahwa sumber daya alam khususnya Uranium cukup banyak di Indonesia dan penguasaan teknologi nuklir oleh putra-putri Indonesia menjadi modal kuat bagi Indonesia untuk , supaya tidak semakin tertinggal dari negara-negara lain. Pengakuan dari dunia Internasional terhadap penguasaan teknolgi nuklir Indonesia pun sudah didapat.

Ketika negeri ini diambang krisis energi, cadangan bahan bakar fosil menipis dan bakal habis, maka perlu secepat mungkin mengambil langkah dalam pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan. Tidak relevan mengatakan nuklir merupakan opsi terakhir, tetapi alangkah baiknya bila mewujudkan bauran energi, mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki Indonesia untuk mewujudkan ketahanan energi.

Patut disimak langkah apa yang akan diambil Presiden Jokowi mengenai PLTN Indonesia dari aspek sosio-politik, mengingat di semua negara yang telah memiliki PLTN tidak ada satu negara pun yang 100% warganya mendukung nuklir. Hasil survey yang dilakukan oleh lembaga independen pada tahun 2014 menunjukkan tingkat penerimaan masyarakat terhadap PLTN di Indonesia secara nasional sebesar 72%.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun