Pada pertengahan 2003 ketika saya baru menikah dan mulai sering melakukan perjalanan jurusan Jogjakarta-Kutoarjo melalui jalur tengah (bukan selatan-daendels). Saya tertarik dengan 2 bakul "Dawet Ireng" yang mangkal di dekat Pasar Butuh (antara pasar dan jembatan Kali Butuh) serta satu lagi mangkal di sebuah gubug persis selepas jembatan Kali Butuh. Yang unik dari dawet ini adalah karena warnanya hitam, yang di dapat dari campuran tepung kanji dengan air abu merang (batang padi yang dibakar). Bentuk dawetnya juga unik, kecil-kecil mirip sedotan yang di iris-iris. Menurut mertua saya, dulu sekitar akhir 70an dan awal 80an, Dawet Ireng ini dijual secara pikulan oleh seorang bapak ia keliling disekitar Klepu-Butuh dan juga di pasar pituruh atau pasar Butuh ketika hari pasaran tertentu. Pak Wagiman, demikian nama sebenarnya, awalnya seringkali mangkal agak lama di pertigaan Klepu. Seiring waktu, salah seorang anggota keluarganya kemudian membuka di dekat pasar Butuh. Sementara ia tetap keliling kampung, serta mulai menerima pesanan jika ada hajatan. Setelah penjual dawet keliling tak lagi hadir, mereka yang kangen dengan Dawet Ireng tersebut kemudian bisa menikmatinya di dekat pasar Butuh tersebut, beberapa tahun kemudian (tidak jelas durasinya) muncul lagi penjual di gubug setelah jembatan Kali Butuh.
Hingga lebaran pada tahun 2004, 2 penjual ini belum banyak saingan. Namun, ketika mudik ke klepu, saya melirik kehadiran penjual
Dawet Ireng di pasar Pituruh dan di pertigaan Klepu. Setelah
booming acara
kuliner di televisi sekitar 2005 hingga sekarang, terjadi pula
BOOMING DAWET IRENG di
Purworejo. Mulai LOANO (jika anda menuju Purworejo dari Magelang) serta mulai BAGELEN (jika anda menuju Purworejo dari Wates) hingga Prembun dan Kutowinangun. Bahkan dipelosok Wirun dan Kemiri pun kita bisa dengan mudah menemukan penjual
Dawet Ireng apalagi ketika lebaran. Mengingat Purworejo banyak yang tinggal dan bekerja di kota lain, terutama Jakarta. Sehingga di musim lebaran dan akhir tahun, ritual mudik menuju Purworejo amatlah riuh. Namun demikian tidak semuanya benar-benar
Dawet Ireng dengan campuran air
sekam kulit padi untuk pewarnanya. Banyak yang cuma menggunakan dawet biasa, dengan warna hitam yang tak merata, meski tetap legit namun rasanya seperti sedang menyendok ikan
White Ballon bersemu hitam. Jadi silahkan ikut antri di warung pak Wagiman. Meski yang lain semuanya juga "asli" dawet, tapi merasakan "pencipta sejarah" tentu menjadi sesuatu yang berbeda. Biasanya untuk tambahannya ada yang mencampur kacang bawang atau tape ketan sebagai
topping-nya, atau  semuanya. Nah mencampur dalam mangkuk kecilnya, juga menjadi petualangan kuliner yang berbeda.
Harga standar
DAWET IRENG per-mangkok-nya Rp. 2.500,- Kacang Bawang Rp. 500,- s/d Rp.1.000,- lalu Tape Ketan Rp. 500,- hanya kalau pas lebaran atau musim liburan, biasanya ada biaya tambahan untuk Parkir Mobil/Motor karena memang jalannya adalah jalan antar Propinsi, Jalur Bis Jakarta/Bandung - Jogja. Setiap hari biasa ia menjual sebanyak 4
ember besar dawet, yang total-nya bisa menjadi sekitar 1000 porsi. Nah, jika anda kebetulan lewat dan memBUTUHkan yang manis-manis maka anda harus mampir dan mencoba DAWET IRENG BUTUH,
PURWOREJO. --cuk--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Foodie Selengkapnya