Rayhma mendekap travel bag berukuran besar tersebut. Meski sedikit kerepotan, ia enggan meletakan tas yang warnanya sudah mulai memudar itu di tempat khusus bersama deretan koper penumpang lain. Petugas kapal ferry Singapura-Batam sempat meminta beberapa kali agar ia menyimpan tasnya sementara, namun secara halus Rayhima menolak.
Ia memilih sedikit kerepotan memeluk tas tersebut dibanding harus meletakannya di dekat pintu masuk bersama tas dan koper penumpang lain. Ia pun menolak saat putri dan cucunya menawarkan diri untuk memangku tas tersebut. Bukan, bukan karena takut travelling bag tersebut rusak atau hilang, namun karena ia membutuhkan sedikit ketenangan – dan entah mengapa, tas tersebut mampu memberinya rasa tenang yang ia butuhkan.
Bagi Rayhma, bau khas yang menguar dari tas tersebut laksana aromatheraphy untuk mengurangi rasa gugup atau lelah. Semakin pekat aroma dari travelling bag yang berwarna merah bata tersebut tercium, semakin kuat rasa tenang itu menjalar dalam tubuhnya yang mulai renta.
Ia sadar, sebenarnya bukan aroma tas itu yang menenangkan, namun kenangan dibalik travelling bag itu yang membuat deburan jantungnya sedikit tenang. Ia membutuhkan tas tersebut untuk menjembataninya kembali ke masa lalu. Bersua dengan sosok dan suasana silam yang sudah ia tinggalkan 40 tahun lalu.
“Mak, sudah sampai,” ungkap anak perempuannya.
“Come on, Grandma,” ujar sang cucu dengan suara lebih tegas.
Rayhima memang masih diam terpaku. Duduk di kursi kapal ferry sambil mendekap tas berwarna merah bata tersebut. Ia masih tak percaya bisa kembali sampai ke Batam, Kepulauan Riau. Kota yang empat dasawarsa lalu ia tinggalkan karena satu dan lain hal.
***
Bila Abang tak nak ikut, biar saya berangkat sendiri.
Meski sudah berlalu ratusan ribu hari, Rayhima masih mengingat kalimat yang ia ucapkan ke suaminya tersebut secara rinci – kata per kata. Kalimat itu ia ucapkan dengan tegas dan lugas sebelum bertolak dari Batam ke Negeri Singa.