[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi: Sampah menumpuk di tengah Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (26/7/2013). Sampah ini menumpuk karena truk sampah tidak datang tepat waktu akibat terjebak kemacetan di Bantar Gebang, Bekasi. (KOMPAS.com/SONYA SUSWANTI)"][/caption] Pengelolaan sampah sempat menjadi masalah tersendiri di Kota Batam beberapa tahun lalu. Sampah sempat menumpuk di jalan lingkungan maupun jalan utama Kota Batam karena keterbatasan petugas dan armada untuk mengangkut sampah ke tempat pembuangan sementara/akhir akibat masa transisi terkait swakelola sampah. Saat ini pengelolaan sampah di Kota Batam sudah mulai membaik. Material sisa yang tidak diinginkan masyarakat tersebut selalu diangkut secara berkala oleh petugas. Saat ini hampir tidak ada lagi timbunan sisa makanan, atau tumpukan plastik bekas yang menyebabkan bau tidak sedap di areal perumahan ataupun fasilitas umum karena tidak diangkut berhari-hari. Meski sampah sudah diangkut dua kali dalam satu minggu dengan petugas yang cukup cekatan, pelayanan pengangkutan sampah tersebut terasa kurang maksimal. Hal tersebut dikarenakan, sistem penagihan retribusi sampah Kota Batam masih menerapkan sistem manual. Setiap bulan petugas masih menagih uang sampah ke pelanggan secara door to door sambil membawa bukti pembayaran. Sistem pembayaran tersebut kurang efisien. Apalagi banyak pasangan suami-istri di Kota Batam yang bekerja. Mereka juga kebanyakan tidak memiliki asisten rumah tangga (ART) sehingga saat petugas datang menagih retribusi sampah di hari kerja, rumah-rumah tersebut kosong. Berdasarkan Buku Development Progress of Batam Tahun 2013 yang dikeluarkan BP Batam, total tenaga kerja di Kota Batam mencapai 336.562 orang. Itu berarti jumlah penduduk Kota Batam yang bekerja hampir sepertiga dari keseluruhan penduduk Kota Batam. Agar retribusi sampah tertagih, petugas terkadang datang pada Sabtu atau Minggu. Namun dengan datang berkali-kali seperti itu, rasanya tidak efektif. Apalagi pada akhir pekan pun bisa saja si pemilik rumah sedang ada keperluan sehingga saat petugas datang, rumah tetap kosong. Alhasil retribusi sampah tidak tertagih. Bila hanya tertunggak satu bulan dengan satu pelanggan, mungkin tidak terlalu terasa dampaknya. Namun bagaimana bila yang menunggak cukup banyak dengan jumlah bulan tertunggak lebih dari tiga bulan? Selain merugikan pemerintah daerah, beban tunggakan tersebut juga akan memberatkan pelanggan. Bagaimana pada saat ditagih pelanggan tidak sedang memiliki uang? Ada baiknya Pemerintah Kota Batam mulai memikirkan alternatif lain untuk mengutip retribusi sampah. Apalagi Kota Batam juga memasukkan retribusi sampah sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Jangan sampai karena hal sepele, target PAD dari retribusi sampah tidak tercapai. Apalagi masyarakat yang menunggak iuran sampah juga umumnya bukan tidak mau membayar, namun tidak tahu harus membayar ke mana selain membayar kepada petugas yang rutin menagih setiap bulan. Apalagi petugas tersebut juga datangnya tidak tentu setiap tanggal berapa dan pukul berapa. Bagaimana bila Pemerintah Kota (Pemko) Batam menggandengkan pembayaran retribusi sampah dengan pembayaran listrik/air? Bila agak sulit menggandengkan pembayaran retribusi sampah dengan PLN Bright Batam/ATB karena mereka bukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), bagaimana bila otoritas terkait membuka rekening yang dapat menerima pembayaran retribusi sampah. Atau menggandeng pihak lain seperti Kantor Pos sebagai tempat pembayaran? Sebagai tambahan jalur agar masyarakat lebih mudah membayar retribusi. Bila membuka rekening atau menggandeng pihak lain sebagai tempat menampung pembayaran retribusi sampah, tentu harus dilengkapi dengan data-data yang akurat dan online. Tidak ada salahnya otoritas Kota batam menambahkan nomor pelanggan bagi setiap pengguna pelayanan angkutan sampah agar lebih mudah. Saat ini bukti retribusi sampah masih ditulis tangan untuk membedakan mana pelanggan yang sudah membayar mana yang belum. Dengan jumlah perumahan yang terus berkembang pesat, ruko yang tersebar di hampir setiap titik kota, kawasan industri yang selalu diminati investor, sangat disayangkan bila pengelolaan retribusi sampah masih manual. Padahal retribusi tersebut bisa menjadi salah satu sumber PAD yang potensial. Jadi kapan ya ada pembayaran retribusi sampah yang lebih tersistem? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H