Perempuan itu masih terlihat sama. Matanya masih redup seperti delapan tahun silam. Rambutnya masih menjuntai dan kian panjang. Perawakannya masih kurus seolah kekurangan asupan lemak. Badannya masih menguarkan bau khas yang tidak aku sukai sejak dulu.
Ia juga masih setia mengumpulkan beragam barang yang tidak terpakai. Saat tirai penutup kamarnya tersingkap, aku melihat ada tumpukan koran-koran lama yang warnanya mulai menguning, deretan botol-botol bekas yang tidak terpakai, hingga boneka-boneka buluk yang warnanya sudah mulai berubah menjadi coklat.
Sejak kecil aku tidak menyukai perempuan dengan rambut berjuntai tersebut. Ada berjuta alasan yang membuat aku akhirnya membenci perempuan itu. Aku tidak pernah suka padanya. Tidak sedikitpun, tidak pula secuilpun. Aku tidak suka perempuan itu, laksana api yang tidak suka air.
Perempuan tersebut menyebabkan ibu tidak pernah ramah padaku – juga pada ayah. Perempuan itu juga menyebabkan ibu tidak betah di rumah. Perempuan itu menyebabkan ibu setiap hari pergi ke luar rumah dengan beragam alasan, asalkan tidak melihat perempuan dengan rambut berjuntai tersebut.
Perempuan dengan rambut berjuntai tersebut menyebabkan aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang ibu seutuhnya. Perempuan berjuntai tersebut juga menyebabkan aku kehilangan calon adik hingga dua kali. Ya, saat ibu hamil, ibu semakin histeris setiap kali melihat perempuan dengan rambut berjuntai tersebut.
Aku tidak tahu mengapa ayah mau menampung perempuan tersebut. Menampung sumber masalah yang menyebabkan keluarga kecil kami semakin tidak harmonis. Saat perempuan dengan rambut berjuntai tersebut belum hadir dalam kehidupan kami, keluarga kami juga tidak dapat dikategorikan sebagai keluarga harmonis, hanya saja dulu tidak pernah ada teriakan histeris ibu, atau makian ibu yang memekakan telinga setiap kali kesal pada perempuan dengan rambut berjuntai tersebut.
Saat perempuan dengan rambut berjuntai itu masuk dalam kehidupan kami, ibu semakin menjauh dari aku dan ayah. Ibu seolah ingin melarikan diri dari kami berdua –dari rumah cukup besar dan mewah yang terletak diujung jalan – hanya saja seperti ada rantai yang tak terlihat yang membuat ibu selalu urung untuk pergi.
Saat aku beranjak remaja aku mencoba mencari alasan mengapa ayah menampung perempuan dengan rambut berjuntai tersebut. Mengapa ia membiarkan rumah tangganya semakin dikacaukan oleh perempuan yang setiap hari selalu mengenakan kaos oblong dan kain jarik.
Namun hingga aku lulus sekolah menengah aku tidak pernah mendapatkan jawabannya. Hanya saja sempat beberapa kali aku mendengar bisik-bisik dari tetangga bahwa keluarga kami berasal dari suatu pulau kecil, dan pindah ke kota besar ini untuk menutupi aib masa lalu. Hanya saja apa aib masa lalu tersebut? Aku tidak pernah menemukan jawabannya.
Aku letih melihat ibu dan perempuan dengan rambut berjuntai tersebut saling serang, dan ayah hanya diam seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Akhirnya saat harus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi aku sengaja memilih perguruan tinggi yang terletak di luar kota.Aku merantau, dan tidak pernah pulang hingga aku lulus, hingga aku bekerja dan memutuskan untuk menikah.
Beberapa hari lalu aku pulang ke rumah ini. Rumah yang dulu aku rasakan laksana neraka. Setiap hari aku memilih untuk mengurung diri di kamar untuk menghindari bentrokan ibu dan perempuan dengan rambut berjuntai. Terkadang aku pergi, melarikan diri ke pusat perbelanjaan, restoran, atau rumah beberapa sahabat.
Kebencianku pada perempuan dengan rambut berjuntai tersebut tidak pernah surut. Kepulanganku kali ini juga bukan hanya untuk meminta restu ayah dan ibu terkait pernikahan yang akan aku langsungkan dalam beberapa bulan ke depan, namun juga akan meminta ayah untuk menyingkirkan perempuan dengan rambut berjuntai tersebut dari rumah kami.
Cukup selama belasan tahun perempuan dengan rambut berjuntai tersebut merecoki keluarga kecil kami. Saat aku menikah, perempuan dengan rambut berjuntai tersebut harus pergi dari rumah ayah dan ibu. Aku tidak ingin kelak, saat aku melahirkan anak-anak dari pernikahanku, anak-anak yang masih mungil tersebut akan mendengar teriakan histeris dari neneknya kepada perempuan dengan rambut berjuntai tersebut. Biarlah hanya aku yang tersiksa dengan hal tersebut, jangan sampai penerus generasiku juga merasakan hal yang sama.
***
Untuk kesekian kali aku melihat perempuan dengan rambut berjuntai tersebut. Tiba-tiba rasa benci itu luruh tak bersisa, berganti dengan rasa bersalah dan iba. Tanpa merasa jijik – seperti yang dulu kerap aku rasakan setiap kali melihat perempuan berjuntai tersebut – aku memeluk perempuan itu dengan segenap jiwaku.
“Ibu…..maafkan aku,” Kataku terisak. Berulang-ulang aku ucapkan kalimat tersebut sambil memeluk perempuan dengan rambut berjuntai tersebut.
Perempuan dengan rambut berjutai yang aku benci selama belasan tahun tersebut ternyata ibuku. Wanita yang berjasa melahirkanku kedunia.
Ia mengalami goncangan saat ayah menikah lagi dengan wanita – yang beberapa belas tahun ini kerap berseteru dengannya. Perempuan dengan rambut berjuntai tersebut semakin teguncang saat ayah mengambil aku. Ia kehilangan semua memori dan kewarasannya saat aku yang masih berusia 23 bulan diambil paksa, dibawa jauh dari pulau kecil tempat kelahiran perempuan dengan rambut berjuntai tersebut.
Bertahun-tahun ia hidup terlunta-lunta dari satu kerabat ke kerabat yang lain. Nenek dan kakekku – orang tua perempuan dengan rambut berjuntai tersebut – memang sudah meninggal jauh sebelum ia menikah.
Aku menangis tersedu saat tahu perempuan yang mengalami gangguan jiwa tersebut adalah ibu kandungku. Tangisku semakin pecah saat tahu bahwa perempuan dengan rambut berjuntai tersebut dulunya adalah seorang dengan karir yang cukup bagus di sebuah perusahaan yang juga sangat bagus.
“Ia menikah dengan ayah karena dipaksa kakak-kakaknya. Saat ayah melamarnya, ibumu sudah memiliki pacar seorang guru SD negeri. Ayah takut kehilangan ibumu, setelah menikah ayah putuskan untuk pindah keluar dari pulau tempat ibumu berasal. Namun ayah khilaf, ayah tergoda wanita lain. Ayah menikah lagi,” jelas ayahku dengan suara bergetar.
“Ibumu tidak terima. Ia pergi membawamu pulang ke tanah kelahirannya dan mengajukan gugatan cerai. Agar ibumu mau kembali, ayah menculikmu. Ayah tidak menyangka kejadian tersebut membuat ibumu terguncang dan menjadi seperti saat ini.” Kulihat ada butiran bening yang menetes dari pipi ayah.
“Saat semua sudah terlambat ayah memutuskan untuk merawat ibumu, disini, di rumah ini. Maaf ayah tidak memberitahumu sedari awal. Ayah takut kamu malu, atau malah membenci ayah. Maafkan Ayah, Nak.”
Aku menatap ayah dan perempuan berjuntai itu bergantian. Aku tidak tahu siapa yang harus aku benci. Apa mungkin aku harus membenci ibu(tiriku) yang sudah menggoda ayah, membenci ayah yang tergoda wanita lain, atau membenci perempuan berjuntai tersebut karena tunduk pada permintaan kakak-kakaknya.
“Ibu, maafkan aku.” Sekali lagi aku memeluk perempuan dengan rambut berjuntai tersebut. Mulai saat ini aku berjanji akan membantu memulihkan kondisi perempuan dengan rambut berjuntai tersebut dengan berbagai cara, ya dengan berbagai cara, termasuk mencuci tumpukan boneka yang mulai berubah warna menjadi coklat yang teronggok di sudut kamar perempuan dengan rambut berjuntai tersebut. Tumpukan boneka kumal tersebut ternyata milikku saat aku lahir hingga berusia 23 bulan, sebelum diculik ayah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H