Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kesedihan di Mata Vida

12 Januari 2015   23:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perempuan itu menatapku nanar. Ada gurat kesedihan yang tampak dari wajah tanpa make-up tersebut – ada bayangan halus berbentuk garis lurus sisa air mata yang sepertinya dipaksa untuk kering dalam sekejap.

“Kamu harus kuat, Vida,” bisikku pelan.

Perempuan tersebut terlihat mengerjapkan mata. Ia menggelang-gelangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Ia juga menggerak-gerakan jari-jarinya seperti sedang berpura-pura meremas sesuatu.

“Vida, ini pilihan yang kamu pilih, jalani,” ujarku menguatkannya.

Perempuan tersebut masih membisu, hanya saja air matanya semakin deras mengalir.

“Itu sudah berlalu bertahun-tahun lalu, sudah lupakan!” Kataku setengah memerintah.

Perempuan tersebut malah semakin tergugu. Isak tangisnya semakin kuat terdengar. Ia seolah tidak peduli, bila tangisnya menjadi gunjingan tetangga sebelah rumah.

*

Selamat ya Vid, kamu memang selalu menjadi yang terbaik.

Deretan pesan pendek dengan isi yang senada mampir hampir setiap menit di telepon selulernya. Vida memang baru dinobatkan sebagai Jura I Wanita Wirausaha yang diadakan oleh salah satu majalah wanita ibukota.

Vida dinilai sukses membawa Greek Yoghurt sebagai penganan yang diminati oleh warga Kota Batam. Penganan tersebut bahkan dilirik oleh warga dari negeri tetangga. Ratusan wisatawan mancanegara hampir setiap akhir pekan menjejali café yang ia kelola di sebuah kawasan yang terletak di Batam Centre. Beberapa dari wisatawan tersebut bahkan memesan Greek Yoghurt hingga berpuluh-puluh cup untuk dibawa pulang ke negeri mereka. Kebetulan jarak Batam-Singapura, maupun Batam-Malaysia, tidak begitu jauh.

Vida yang dulu bercita-cita menjadi wanita karir, tidak menyangka akhirnya terjun menjadi wirausahawan. Selamat Vid, bangga banget sama kamu.

Salah satu pesan pendek dari seorang sahabat di masa kuliah tersebut seolah melemparkan Vida ke masa 10 tahun lalu. Ia yang dulu tidak pernah terjun ke dapur dan bercita-cita meniti karir di perusahaan yang berkantor di gedung pencakar langit, harus mau mengurusi aneka susu dan bahan lainnya untuk membuat yoghurt.

Ia harus pandai menyetel kompor agar yoghurt yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Ia juga harus mau berkeliling dari satu pasar modern, ke pasar modern lain untuk mencari bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat yoghurt.

Vida, ajarin gue bikin yoghurt dong!

Ada lagi satu teman kuliahnya yang minta diajari dibuatkan makanan yang menurut orang sangat lezat dan segar tersebut. Padahal, entah sugesti atau memang betul-betul terjadi, yoghurt yang dibuat tanpa melalui tangannya akan terasa lain. Itu makanya setiap saat ia harus berjibaku di dapur dan menyiapkan beratus-ratus cup yoghurt.

Sebenarnya ia lelah. Ia ingin pensiun dan hanya mengelola usahanya tanpa harus turun ke dapur. Ia sebenarnya ingin menugaskan pegawai kepercayaannya untuk menangani semua pesanan, namun entah mengapa semua yoghurt terasa hambar bila tanpa melalui racikan langsung dari tangannya.

Vida masih ingat ia belajar berwirausaha karena butuh. Ia harus menutupi kebutuhan hidup yang semakin membesar setiap bulannya. Menutupi semua keinginanya untuk membeli, tas, sepatu dan barang-barang lain diluar kebutuhan mendasar sehari-hari. Apalagi setelah ia dikaruniai dua malaikat kecil yang harus ia besarkan sesuai dengan keinginannya.

Saat pertama kali membuat Greek Yoghurt tersebut Vida nyaris putus asa. Saat didinginkan, yoghurt tersebut sama sekali tidak menggumpal. Entah apa yang kurang, hanya saja tetap cair, kalaupun membeku, keras seperti serpihan batu.

Hingga akhirnya berkat ketekunan dan niat yang membaja, Vida berhasil membuat yoghurt sesuai dengan keinginan. Perlahan ia pasarkan ke beberapa tetangga, teman terdekat, dan setelah semakin membesar akhirnya ia memberanikan diri membuka gerai di salah satu kawasan favorit di Kota Batam.

*

Erlan sekarang tinggal di Itali, kayaknya sekarang udah jadi boss di salah satu perusahaan kimia. Beberapa hari lalu, aku sempat mengobrol melalui facebook. Wah coba dulu kamu menikah dengan Erlan, pasti yoghurt kamu jadi saingan berat pizza dan spaghetti.

Kabar tersebut Vida dengar dari salah satu teman SMA-nya. Dulu Vida memang berpacaran dengan Erlan selama hampir tujuh tahun. Sayang, kisah kasih tersebut tidak berlanjut karena Vida memutuskan untuk menikah dengan orang lain – dengan suaminya saat ini.

Vida letih berpacaran dengan Erlan. Meski memiliki sikap seperti malaikat, Erlan tidak memiliki apa-apa untuk membahagiakan Vida. Tujuh tahun berpacaran, ia harus rela turun naik angkutan umum. Terkadang saat bersama Erlan pun, ada beberapa preman yang berani menggoda karena ia memang dilahirkan dengan kecantikan diatas rata-rata.

Hingga akhirnya saat ada lulusan dari perguruan tinggi Amerika Serikat yang selalu memberikan kucuran materi tanpa batas, Vida tergoda. Ia akhirnya memilih untuk menikah dengan lulusan luar negeri tersebut dan merajut jalinan rumah tangga. Ia tak lagi mempedulikan impiannya untuk menjadi wanita karir. Toh, mobil, rumah dan segala isinya sudah tersedia.

Namun mobil tinggalah mobil, rumah tinggalah rumah. Suaminya ternyata hanya memberikan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang suami. Setelah menikah, tidak ada lagi kucuran dana untuk memuaskan hasratnya berbelanja barang-barang mahal. Ia dipaksa untuk memiliki penghasilan sendiri bila ingin tampil dengan trendi. Sang suami yang berasal dari kalangan berada tersebut, hanya menyediakan rumah, kendaraan dan uang belanja secukupnya.

Tidak ada jalan-jalan keluar negeri seperti yang ia harapkan. Rencana sang suami untuk reuni dengan teman-teman kuliahnya di Houston juga hanya tinggal rencana. Tidak ada lagi, janji-janji suaminya untuk mengajak ia bereuni bersama teman kuliahnya di Negeri Paman Sam.

Vid, sudah pernah melihat istri Erlan? Wih keren, barang-barangnya branded semua. Tiap akhir pekan kerjaannya berjalan-jalan keliling Eropa. Gaji Erlan sepertinya memang besar banget. Ah, lo juga kalau mau tinggal pergi ya Vid secara keluarga suami lo juga kayak banget.

Lagi-lagi kabar tersebut membuat Vida semakin terpuruk. Setelah menikah, keluarga sang suami sepertinya membatasi mengucurkan dana bantuan. Mereka berdua kini harus bekerja banting tulang agar dapat memenuhi semua kebutuhan hidup. Apalagi bisnis suaminya di bidang furniture juga masih dalam tahap merintis, setelah gagal berbisnis dibidang kuliner.

*

“Vida, sudahlah, jangan menyesal karena dulu meninggalkan Erlan,” ujarku bijak.

Vida tak menjawab, hanya saja lelehan air mata semakin deras mengucur di pipinya.

“Kalian mungkin memang tidak berjodoh,” ucapku.

Vida menatapku, ia menggelang-gelangkan kepalanya.

“Sudahlah,” aku mencoba menghapus air mata yang mengucur, namun tetesan itu semakin deras.

Aku tidak kuat lagi menatap mata Vida yang terluka. Aku tidak tahan melihat binar matanya yang kian meredup.

Tanpa berpikir dua kali aku mengambil  palu yang ada disudut gudang. Aku menghantam meja rias yang sudah lama tersimpan disana. Aku menghancurkan cermin itu. Aku meremukan kaca yang menjadi mediaku untuk melihat mata Vida yang selalu sembab. Ah, semoga setelah kaca itu hancur, aku tidak akan lagi melihat kesedihan dimata Vida. Semoga! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun