Selamat Hari Anak Nasional!
Berdasarkan definisi dari Wikipedia, anak diartikan sebagai seorang lelaki/perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Untuk hukum di Indonesia, seseorang masih dianggap anak-anak bila usianya belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah menikah.Sedewasa apapun seorang manusia, ia tetap seorang anak dari ayah dan ibunya.
Beberapa bulan lalu, kita pernah dibuat miris dengan berita pelecehan seksual yang terjadi di sekolah internasional di Ibukota, kita juga kembali dikagetkan dengan ulah salah satu warga Sukabumi yang melakukan kekerasan seksual kepada ratusan anak, belum lagi dengan insiden dugaan pemukulan siswa SD yang menyebabkan teman sekolah dari siswa tersebut meninggal dunia hanya karena menumpahkan jajanan seharga seribu rupiah.
Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah laporan kekerasan terhadap anak pada tahun 2013 mencapai 3.039 kasus, naik signifikan dari tahun 2012 yang laporannya 2.637 kasus. Jumlah tersebut juga berdasarkan data yang dilaporkan, lalu bagaimana dengan kekerasan yang tidak dilaporkan? Mungkin jumlahnya lebih banyak.
Kejadian-kejadian tersebut membuat saya berpikir, sebenarnya ada apa dengan anak-anak kita sehingga tega melakukan hal merugikan dan membahayakan kepada anak yang lain? Apakah ada yang salah dengan pola asuh sebagian orangtua, atau ada yang menyimpang dari kurikulum pendidikan di Indonesia? Sehingga, meski hanya sebagian kecil, menyebabkan anak lain menderita – bahkan meninggal.
Sebagaiorangtuakitatentuinginanakkitalebihbaik. Tidakadaorangtuayanginginanaknyamenjadiseorangpelakukejahatanseksualataubahkanpelakukekerasanyangmenyebabkantemansekolahanaknyameninggaldunia. Semuaorangtuapastiinginanaknyamenjadianakyangbaik, pintar, sertabergunabaginusadanbangsa.
Namunmengapaanakyangdiharapkanmenjadiorangbaiktersebutberubahmenjadianakbermasalah? Sepertipepatahkuno, ittakesavillagetoraiseachild. Sebagai orangtua, kita mungkin sudah mengajarkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, apa yang layak dan tidak layak dilakukan.
Hanya saja seperti pepatah tersebut, butuh satu kampung untuk membesarkan seorang anak menjadi anak yang kita diharapkan. Meski di rumah kita sudah mengajarkan etika dan moral yang baik, bila lingkungan tidak mendukung, apa yang kita ajarkan tersebut tidak akan terserap secara maksimal.
Apalagi lingkungan yang dimaksud saat ini bukan hanya lingkungan tetangga sebelah rumah, atau lingkungan satu kelurahan, tapi sudah lingkungan dunia yang mengglobal. Akses internet yang mudah didapat dengan harga kurang dari satu mangkuk bakso, membuat anak-anak dengan leluasa mengakses berbagai situs yang mereka kehendaki.
Sebenarnya diluar sana ada banyak artikel yang membahas bagaiamana cara membesarkan anak yang baik. Hanya saja sebagus apapun artikel tersebut, bila tidak ada pendampingan dari orangtua akan sulit membentuk karakter baik seorang anak. Meski suami-istri bekerja, usahakan mendampingi anak saat mereka melakukan aktifitas. Jangan sibuk main games atau mengintip status teman di jejaring sosial (hahaha menyindir diri sendiri =D).
Saat menonton televisi atau film contohnya, bukan tidak mungkin ada adegan yang mereka anggap biasa, ternyata merupakan salah satu adegan mem-bully, contohnya seperti meledek anak lain dengan menjulurkan lidah, atau mengetok kepala anak lain. Bila terus-terusan melihat hal seperti itu, bisa jadi meledek anak lain menjadi hal yang biasa. Apa jadinya bila nanti dia sudah besar dan mengolah apa yang dia lihat sejak kecil? Knock...knock...knock on the wood ya...oleh karena itu bila memang sayang sama anak, harus di dampingi sebisa mungkin, bila bukan kita yang mendampingi, mungkin bisa di dampingi orang dewasa lain yang kita percaya.
Meski tahun ini Indonesia mulai menerapkan kurikulum baru, pendidikan di Indonesia sepertinya memang cenderung berorientasi pada nilai akademis. Bahkan pelajaran agama yang seharusnya dijadikan sebagai salah satu pedoman berperilaku, tak luput dari penilaian angka. Selain itu, mau masuk ke sekolah dasar juga dites terlebih dahulu tingkat kemahiran membaca huruf dan angka. Untuk TK B juga demikian, beberapa sekolah menerapkan tes mengenal warna hingga bentuk suatu gambar.
Padahal di Negara maju seperti Amerika (sepertinyapernah ditulis juga oleh salah satu kompasianar) dan Inggris, pada tingkat kelas satu sampai kelas enam, lembaga pendidikan tidak akan melakukan ujian. Sehingga, siswa akan terus naik kelas dan akan mendapatkan ujian hanya pada kelas tujuh. Sistem pengajaran di inggris merupakan pengajaran berbasis kreativitas. Siswa lebih banyak melakukan praktek daripada sekadar menghafal suatu materi.