Fajar baru menyingsing kala saya melangkahkan kaki ke salah satu minimarket dekat rumah beberapa tahun silam. Saat sedang memilih beberapa produk yang akan dibeli, tiba-tiba ada seorang perempuan yang menghampiri. Ia ternyata seorang wisatawan dari negeri Singa.
Dengan bahasa Melayu yang sedikit asing di telinga, perempuan itu meminta tolong menukar beberapa uang dollar Singapura yang ia miliki dengan uang rupiah saya. Ia mengatakan, ada beberapa barang di minimarket tersebut yang harus ia beli segera. Namun, ia kehabisan uang rupiah.
Mau menukar dulu ke money changer belum ada yang buka. Mau berbelanja langsung dengan menggunakan uang dollar Singapura yang ia miliki, si kasir tidak mau menerima. Konon, sudah ada aturan bahwa semua transaksi yang dilakukan di wilayah Indonesia wajib menggunakan rupiah.
Saya yang biasanya waspada dengan orang asing, apalagi menyangkut uang, entah mengapa saat itu malah jatuh kasihan. Apalagi uang yang ia minta tukar ternyata tidak lebih dari Rp100.000. Jadi, saat itu saya berpikir, kalaupun dia menipu --uang dollarnya ternyata palsu-- anggap saja saya sedang beramal.
Entahlah, rasa empati seketika muncul. Saya tiba-tiba membayangkan menjadi perempuan itu. Apalagi sesekali saya juga suka berkunjung ke negara tetangga. Sekadar jalan-jalan seperti kebiasaan warga Batam, Kepulauan Riau, lainnya di akhir pekan atau kala ada kesempatan.
FYI, sebagian besar warga Batam memang lebih sering berkunjung ke Singapura dan Malaysia dibanding ke kota besar lainnya di Indonesia setiap akhir pekan atau musim liburan tiba. Selain lebih dekat dan mudah, biaya transportasinya juga jauh lebih terjangkau.
Berobat ke Negara Tetangga
Singapura dan Malaysia seperti rumah kedua bagi warga Batam. Selain berwisata, banyak warga Batam yang memilih berobat ke kedua negara tersebut dibanding berobat ke Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia saat harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar dan lengkap.
Mertua saya salah satunya. Beberapa tahun lalu, saat divonis mengidap penyakit tiroid dan harus berobat secara berkala ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lebih lengkap, alih-alih berobat ke Jakarta, mertua lebih memilih berobat ke Penang, Malaysia.
Alasannya karena jarak lebih dekat, biaya transportasi lebih mudah dan murah. Selain itu, pendaftaran bisa dilakukan di Batam, sehingga saat sampai Malaysia tinggal datang ke rumah sakit untuk berobat. Tidak perlu antre lagi.
Namun, namanya berobat ke negeri orang, ada saja kendalanya. Salah satu kendala yang kerap dihadapi beberapa tahun ke belakang saat mertua harus rutin berobat ke Malaysia adalah harus menukar mata uang rupiah yang dialokasikan untuk berobat ke mata uang ringgit.
Di Batam sebenarnya ada banyak money changer. Namun, namanya melakukan jasa penukaran uang, harus pintar-pintar kita memilih money changer yang menawarkan jasa penukaran dengan harga kompetitif agar nilai tukar rupiah yang kita miliki dihargai lebih tinggi.
Terkadang beda money changer, beda juga nilai tukarnya. Walaupun bedanya tipis, kalau menukar uangnya lumayan banyak, tetap terasa.
Beberapa tahun lalu, saya dan suami sempat berandai-andai, coba pembayaran rumah sakit di Malaysia tersebut bisa non tunai pakai rupiah. Sistem pembayaran antar negara Association of South-East Asia Nation (ASEAN) dapat saling terkoneksi tanpa perlu repot menukar mata uang.
Sehingga, saat akan berobat ke salah satu negara ASEAN, kita tidak perlu  menukar uang dalam jumlah banyak, tidak khawatir juga membawa uang tunai dengan jumlah lumayan. Terlebih terkadang biaya berobat sulit diprediksi.
Harapan tersebut juga terkadang muncul saat kami sedang berwisata ke negara tetangga. Apalagi saat berkunjung ke lebih dari satu negara. Misalkan berkunjung ke Singapura, lalu lanjut ke Malaysia. Atau sebaliknya.
Kalau ada konektivitas pembayaran antar sesama negara ASEAN, terlebih dalam bentuk non tunai, tentu akan sangat membantu. Kita tidak perlu repot lagi menukar uang dengan mata uang negara ASEAN yang akan dikunjungi. Kalau pun harus menukar, cukup seperlunya. Tidak perlu juga repot mengalokasikan dana liburan untuk masing-masing negara.
Apalagi saat liburan, terkadang  itinerary suka berubah tergantung situasi dan kondisi. Jadi, cukup alokasikan saja dana liburan berapa, nanti tinggal disesuaikan saat berlibur di negara tersebut.
Menuju Konektivitas Sistem Pembayaran ASEAN
Kini konektivitas sistem pembayaran ASEAN bukan lagi mimpi. Bank Indonesia bekerjasama dengan bank sentral negara-negara ASEAN lain tengah mendorong keterhubungan sistem pembayaran yang lebih cepat, murah, mudah, transparan dan inklusif.
Saat ini Bank Indonesia sedang menggarap cross border transaction, salah satunya melalui sistem Regional Payment Connectivity (RPC) bersama bank sentral negara-negara ASEAN lainnya. Bank Indonesia dan bank-bank sentral tersebut telah menyepakati kerjasama pembayaran berbasis QR code lintas negara, atau cross-border QR payment linkage.
Konektivitas sistem pembayaran yang sudah terjalin saat ini adalah dengan Thailand dan Malaysia. Sehingga, wisatawan Thailand dan Malaysia yang sedang berkunjung ke Indonesia dapat memanfaatkan QRIS untuk melakukan pembayaran di berbagai merchant Indonesia. Sebaliknya, turis Indonesia yang sedang melancong ke Thailand dan Malaysia juga dapat menggunakan QR code saat berbelanja di sana.
Berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia melalui laman bi.go.id, Bank Indonesia juga sedang menjajaki kerjasama sejenis dengan Singapura. Kemudian, akan menyusul dengan negara-negara lain.
Menuju Negara ASEAN Lebih Berdaya dan Berjaya
Bila sistem pembayaran di negara-negara ASEAN sudah terkoneksi seluruhnya, tentu akan memberi keuntungan tersendiri bagi ke-11 anggotanya. Tidak hanya secara mikro, tetapi juga secara makro. Negara-negara ASEAN pasti lebih berdaya dan berjaya.
Integrasi ekonomi antara Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja dan Timor Leste akan semakin baik dan besar.
Transaksi antar negara ASEAN juga akan semakin luar biasa. Wisatawan tidak perlu lagi pusing memikirkan kurs. Fluktuasi mata uang. Tinggal klak-klik-klak-klik ponsel pintar saja saat akan membeli barang di negara ASEAN yang sedang dikunjungi. Nanti sistem yang akan menyesuaikan.
Mungkin tidak akan ada lagi kejadian seperti yang saya ceritakan di paragraf awal, wisatawan mancanegara yang meminta tolong menukar mata uang asing yang ia miliki dengan mata uang rupiah karena tidak sempat menukar uang ke money changer.
Anyway, di Batam, Kepulauan Riau, saya sempat lho beberapa kali menemui wisatawan mancanegara yang hampir gagal bertransaksi karena kehabisan mata uang rupiah saat berwisata.
Selain yang di minimarket, saya juga sempat bertemu wisatawan yang kehabisan mata uang rupiah saat akan makan siang di salah satu tempat makan di pusat perbelanjaan. Beruntung di pusat perbelanjaan tersebut ada money changer, sehingga si wisatawan diminta menukarkan mata uang asingnya dulu di sana.
Berdasarkan obrol-obrolan dengan salah satu pegawai restoran, dulu sebelum peraturan penggunaan mata uang rupiah untuk semua transaksi di Indonesia diberlakukan dengan lumayan ketat, ada banyak wisatawan asing yang diperkenankan untuk membayar dengan mata uang yang mereka bawa. Umumnya mata uang dollar Singapura. Tinggal disesuaikan saja tagihannya dengan kurs saat itu. Namun, setelah aturan tersebut diberlakukan lebih ketat, tidak ada lagi yang berani melanggar.
FYI, wisatawan asing yang berkunjung ke Batam memang terbilang banyak. Batam bahkan menjadi pintu masuk wisatawan mancanegara terbanyak ketiga setelah Bali dan Jakarta.
Setiap akhir pekan dan libur panjang, wisatawan dari negara tetangga, terutama dari Singapura dan Malaysia, banyak yang menghabiskan waktu di Batam. Itu makanya, bisnis hotel, restoran, wisata keluarga, hingga UMKM sangat menggeliat di Batam.
Nah, dengan adanya konektivitas sistem pembayaran ASEAN, semoga kita negara-negara ASEAN semakin terhubung dan berjaya.
Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H