Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Memaafkan Orang Lain, Mengapa Terkadang Begitu Sulit?

29 April 2023   14:55 Diperbarui: 29 April 2023   15:11 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto dokumentasi PEXELS/RODNAE Productions diambil dari kompas.com.

 

Islam mengajarkan kita menjadi pribadi yang pemaaf. Terlebih kita bukan malaikat yang bebas dari salah dan khilaf. Kita adalah manusia yang tidak pernah luput dari alpa dan cela.

Dalam Al-Quran, ada banyak ayat yang memerintahkan kita untuk berbesar hati memaafkan kesalahan orang lain. Sebesar apapun kesalahan tersebut berdampak kepada kita.

Perintah tersebut salah satunya tercantum dalam Q.S An-Nur ayat 22:

"...Dan hendaklah mereka memberi maaf dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Agar kita menjadi pribadi yang pemaaf, mudah mengampuni kesalahan orang lain, Allah juga bahkan menjanjikan surga. Hal tersebut seperti yang termaktub dalam Q.S Ali Imran:133-134.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."

Namun, meski sudah dijanjikan surga, mengapa kita terkadang masih sulit memaafkan kesalahan orang lain?

Dampak Kesalahan Terlalu Besar

Saat seseorang melakukan kesalahan yang berdampak besar pada kehidupan kita, terkadang sulit memaafkan orang tersebut. Kita juga khawatir kekhilafan yang sama akan kembali diulang oleh orang itu saat kita memaafkan dan kembali menjalin hubungan baik dengannya.

Dulu saat orang tua saya ditipu oleh sepasang suami-istri yang masih terbilang saudara dekat, kami butuh waktu lama untuk memaafkan mereka. Apalagi uang yang mereka tipu lumayan besar hingga menjungkirbalikan kehidupan kami yang sebelumnya adem-ayem.

Terlampau Sakit Hati

Terkadang kita juga sulit memaafkan kesalahan orang lain karena sudah terlampau sakit hati. Mungkin ada perkataan atau perbuatan orang tersebut yang menggores hati kita terlalu dalam.

Dulu saya sempat begitu sakit hati dengan salah satu teman dekat. Saya bahkan sempat sulit memaafkannya dengan tulus. Gara-garanya dia menjauhi saya dan mempengaruhi teman-teman yang lain agar menjauhi saya hanya karena khawatir pacarnya saya rebut. Hadeeh padahal tidak ada niat secuil pun dalam hati saya untuk merebut kekasihnya itu hehe.

 

Masih Diliputi Rasa Emosi

Kita juga terkadang belum bisa memaafkan kesalahan orang lain karena masih diliputi emosi atau salah paham. Alhasil, rasa marah, jengkel, sebal, sulit diusir dari hati. Orang tersebut meminta maaf berkali-kali juga terkadang masih berat untuk dimaafkan. Setelah berlalu beberapa waktu, kesalahpahaman terurai, baru bisa memaafkan dengan tulus.

Orang Tersebut Tak Merasa Bersalah dan Tidak Meminta Maaf

Banyak perselisihan yang berlangsung hingga bertahun-tahun hanya karena masing-masing pihak merasa benar sendiri, tidak merasa bersalah.

Ada salah satu kerabat saya yang berseteru dengan kerabat yang lain hingga tiga kali Ramadan, tiga kali lebaran. Padahal menurut saya, pemicu perselisihannya sangat sepele.

Namun, karena tidak ada salah satu pihak yang meminta maaf, pihak yang lain juga tidak mau memaafkan bila si pihak lainnya tidak meminta maaf, akhirnya perselisihan tersebut tidak pernah berakhir.

Lalu, bagaimana agar kita lebih mudah memaafkan kesalahan dan kekhilafan orang lain?

Ikhlas

Orang tua saya bisa memaafkan saudara yang menipu itu karena akhirnya bisa sampai di titik ikhlas, meski uang yang ditipu hingga sekarang tidak pernah dikembalikan. Mereka berpikir, itu jalan dari Allah untuk membuka jalan yang lain. Sudah takdir.

Setelah memaafkan mereka, hidup memang menjadi lebih damai. Tidak ada lagi rasa sakit hati, dendam, kesal, marah. Kami juga menjadi lebih fokus untuk mencari rezeki yang lain.

Saat kami kebetulan bertemu kembali dengan pasangan suami istri itu, kami juga bersikap biasa saja. Bertegur sapa sewajarnya. Namun, kalau untuk kembali dekat memang agak sedikit sulit.

Rasa trauma itu masih ada. Takut juga kan, saat kembali dekat dan ada kesempatan, mereka menipu lagi? Hehe. Sehingga, akhirnya hanya berinteraksi sewajarnya. Tidak memusuhi, tetapi juga tidak terlampau akrab.

Sadari Hubungan yang Kita Miliki Lebih Berharga

Saat kita berselisih dengan orang lain, apalagi dengan kesalahan yang juga tidak begitu fatal, sebaiknya kita maafkan tanpa perlu menunggu orang tersebut meminta maaf.

Kalau pun kesalahan yang dilakukan cukup berat, tetapi orang tersebut meminta maaf, menyesal, dan melakukan beragam hal untuk memperbaiki kesalahan tersebut, sebaiknya dimaafkan.

Menyimpan rasa amarah dalam diri, lama-lama akan membakar. Tidak akan baik. Apalagi kalau berselisihnya dengan orang-orang terdekat, seperti adik, kakak, orang tua, ipar, atau mertua.

Ingat lho, hubungan yang kita miliki lebih berharga dari apapun. Kebencian, rasa marah, jangan terus dipupuk. Justru perlahan harus dikikis dan dilupakan.

Nanti, saat orang-orang tersebut sudah berpulang lebih dulu, sudah tiada, rasa sesal akan menghantui kita.

Empati

Saat kita melakukan kesalahan, kita juga pasti ingin dimaafkan kan? Sebesar apapun kesalahan kita. Nah, begitu juga dengan orang lain. Senang rasanya kan saat kesalahan kita dimaafkan dengan tulus tanpa kata tapi? 

Apalagi mungkin orang tersebut berbuat kesalahan dan kekhilafan tanpa sengaja. Kalau pun sengaja, mungkin dia sudah berubah dan menyesal dengan kesalahan  yang sudah ia lakukan. Orang tersebut juga berupaya memperbaiki kesalahan tersebut.

Memaafkan Tidak Berarti Harus Sekaligus Melupakan

Ada yang bilang, memaafkan berarti harus melupakan kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan oleh orang tersebut. Bila tidak, kita berarti belum secara tulus memaafkan orang tersebut.

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat tersebut. Ada beberapa kesalahan dan kekhilafan yang memang bisa dimaafkan dan dilupakan begitu saja. Namun, ada beberapa kesalahan dan kekhilafan yang bisa dimaafkan, tetapi masih perlu waktu untuk dilupakan.

Nah, kalau teman-teman Kompasianer, pernahkah merasa begitu sulit memaafkan kesalahan dan kekhilafan orang lain? Yuk, berbagi cerita di kolom komentar.

Mumpung masih suasana Idulfitri. Saya juga sekalian mau meminta maaf. Mohon maaf untuk perkataan dan perbuatan saya yang mungkin (pernah) menggores hati teman-teman Kompasianer.

Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun