Jakarta salah satunya. Dalam periode 100 tahun, kenaikan suhu di ibu kota Indonesia tersebut mencapai 1,4 derajat celcius. Sementara beberapa wilayah industri di beberapa kota lain di Indonesia mengalami kenaikan suhu sekitar 0,7 hingga 0,9 derajat celcius dalam periode 30 tahun terakhir.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian BBC, suhu panas ekstrem memang meningkat cukup signifikan. Sejak empat dekade terakhir, jumlah total hari suhu yang mencapai 50 derajat celcius terus bertambah, meningkat hingga dua kali lipat. Tidak hanya itu, wilayah yang mengalami suhu panas ekstrem juga meluas.
FYI, suhu panas ekstrem adalah suhu di suatu wilayah yang melebihi ambang batas suhu maksimum klimatologis normal bulanan. Nah, suhu maksimum normal bulanan ini ditentukan atau dihitung dari rata-rata data suhu maksimum bulanan selama 30 tahun.
Apa Dampak Bagi Manusia?
Ada banyak dampak buruk yang akan ditimbulkan oleh suhu panas ekstrem. Tak hanya kekeringan, kesulitan air bersih, kelangkaan bahan pangan, badai dan kebakaran hutan yang lebih rentan terjadi, tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia. Gangguan paru-paru, jantung, hingga ginjal. Bahkan bisa menyebabkan kematian seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Kanada, India dan Pakistan.
Lalu Apa Penyebab Suhu Panas Ekstrem?
Berdasarkan keterangan ilmuwan iklim terkemuka, Dr Friederike Otto, kenaikan suhu sepenuhnya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil yang saat ini digunakan di hampir setiap lini kehidupan menghasilkan emisi, gas residu berupa karbon dioksida (C02).
Bahan bakar fosil yang dimaksud adalah batu bara, minyak bumi, dan gas alam. "Tiga sekawan" ini memang lekat dengan kehidupan manusia. Listrik yang kita gunakan --baik untuk industri maupun rumah tangga-- umumnya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau gas alam, kendaraan yang kita gunakan untuk memudahkan mobilisasi juga berasal dari minyak bumi.
Emisi karbon dari bahan bakar fosil yang terus bertambah bisa menyebabkan suhu udara meningkat dan menyebabkan pemanasan global. Itu makanya, Dr. Sihan Li, peneliti iklim dari School of Geography and the Environment, University of Oxford, mengingatkan agar kita bertindak cepat mengurangi emisi.