Setiap keluarga pasti memiliki tradisi sahur sendiri. Kebiasaan yang dilakukan berulang setiap tahun. Biasanya karena "warisan" kebiasaan dari orang tua saat kecil dulu, bisa juga karena pengalaman tertentu. Baik pengalaman yang menyenangkan, maupun sebaliknya. Kurang menyenangkan.
Saling Membangunkan Sahur
Sudah dua tahun terakhir ini keluarga saya dan keluarga ibu mertua saling membangunkan sahur. Biasanya kami saling menelepon sekitar pukul 03.00. Siapa yang duluan bangun, ia yang akan menelepon lebih dulu. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari terlambat bangun akibat terlalu lelap tidur.
Untuk menghindari terlambat bangun tidur, kami sebenarnya sudah memasang alarm di ponsel. Namun, saking lelapnya terkadang alarm tidak sanggup membangunkan kami di jam yang seharusnya. Terkadang juga alaramnya memang tidak berbunyi. Entah salah set jam, entah salah install aplikasi alarm.
Jadi biar aman keluarga saya dan keluarga mertua saling membangunkan sahur. Kami akan terus menelepon hingga telepon diangkat. Sesekali juga mengobrol. Bertanya kabar, berbagi cerita mengenai menu sahur yang disantap. Maklum, walaupun tinggal satu kota tidak bisa setiap hari bertemu.
Menyetok Menu Sahur Siap Santap
Ramadan beberapa tahun lalu, kami pernah bangun kesiangan. Kami bangun 30 menit sebelum waktu imsak. Bila hanya untuk makan dan minum, waktu tersebut sebenarnya sudah sangat lapang. Kami masih bisa leluasa menyantap makanan hingga perut terisi secara maksimal.
Namun masalahnya, tidak ada makanan yang bisa disantap. Saya belum masak nasi. Nasi yang dimasak untuk berbuka puasa betul-betul habis tanpa sisa, tidak ada mi instan, tak ada roti juga, atau kentang kemasan yang siap goreng. Alhasil saya panik, stress!
Kalau saat itu saya bangun saat azan subuh berkumandang mungkin tidak terlalu "sakit hati". Memang tidak ada waktu lagi untuk sahur, kan? Paling pasrah dan menjalankan ibadah puasa sehari penuh tanpa sahur. Namun, ini kan sebenarnya masih ada waktu, tapi tidak ada makanan (berat) yang bisa dimakan hehe.
Namun, efek the power of kepepet, otak langsung encer. Saat itu saya langsung mencari akal agar nasi yang dimasak melalui magic com bisa matang kurang dari 30 menit. Akhirnya nasi yang sudah dicuci dan dimasukan ke dalam panci magic com saya didihkan di kompor gas dengan api besar. Setelah mendidih dan nyaris habis airnya saya masukan ke magic com. Berhasil, nasi matang sempurna dalam waktu 10 menit.
Sambil menunggu nasi matang saya memasak lauk sederhana. Ikan lengse. Kebetulan setiap beli ikan sudah dibersihkan oleh si penjual. Sehingga, tinggal dicuci dan dimasak. Masak ikannya pun sederhana, tinggal dimasukan ke penggorengan, kasih minyak sedikit, tanpa gula dan garam, masak dengan api kecil. Nanti saat matang ikannya gurih dan ada sedikit rasa manis.
Agar semakin enak tinggal bikin sambal. Untuk sayuran saya tinggal mengupas mentimun yang memang selalu tersedia di kulkas. Selesai dalam waktu 15 menit. 15 menit kemudian makan. Lumayan leluasa juga, tidak terlalu terburu-buru. Apalagi saat itu anak saya baru satu, dan masih balita jadi belum berpuasa.
Meski begitu, saya kapok masak dengan sangat terburu-buru dan stress. Belajar dari pengalaman tersebut, sekarang saya selalu memastikan nasi sudah tersedia untuk sahur sebelum tidur malam. Ikan atau daging yang akan dimasak sudah dicuci bersih, bahkan dimarinasi, sehingga tinggal masak. Begitu juga dengan sayuran dan bumbu dapur, sudah dicuci dan disiangi. Kita tidak tahu kan apa yang akan terjadi saat sahur. Khawatirnya bangun kesiangan, atau mati air, mati listrik.
Selain itu saya juga menyetok beberapa makanan yang mudah dimasak seperti telur, mi instan, sosis, nugget, bahkan makanan siap santap seperti abon yang tidak perlu dimasak lagi. Jadi kalaupun bangun mepet dan tidak sempat masak, masih tetap bisa makan. Walaupun amit-amit sih ya jangan sampai kesiangan.
Berburu Menu Sahur
Sebelum pandemi Covid-19, saya paling suka berburu menu sahur di tempat makan dekat rumah. Biasanya jam 03.00 saya sudah meluncur dengan sepeda motor ke depan komplek rumah. Nanti tinggal pilih saja mau makan apa. Mau makan masakan padang, sup, seafood, atau makanan rumahan.
Kebetulan daerah rumah tempat saya tinggal adalah daerah kostan, jadi tempat makan banyak bertebaran. Apalagi saat Ramadan, tempat makan biasanya buka menjelang magrib sampai waktu imsak. Jadi malam-malam itu tetap semarak, Tidak sepi dan sama sekali tidak takut. Ada banyak orang yang keluar rumah juga soalnya.
Namun, sejak Ramadan tahun lalu saya tidak lagi melakukan tradisi ini. Tahun lalu banyak tempat makan yang tutup efek pandemi. Alhasil mau tidak mau saya harus memasak untuk menu sahur. Nah, tahun ini sudah (nyaris) normal. Tempat-tempat makan sudah buka seperti Ramadan sebelum pandemi Covid-19.
Namun, saya sudah terbiasa memasak untuk menu sahur. Alhasil tidak beredar lagi berburu makanan sahur. Mungkin nanti kalau kangen berburu makanan sahur lagi, sesekali beli menu sahur di tempat-tempat makan dekat rumah.
Minum Susu, Madu, dan Air Putih yang Cukup
Saya pecinta susu. Sejak kecil juga sudah didoktrin kalau susu itu membuat badan lebih sehat dan kuat. Alhasil setiap sahur, menu wajib yang harus saya konsumsi adalah susu hangat. Selain susu, menu sahur lain yang wajib konsumsi adalah madu. Biasanya satu sendok makan. Biar tidak lupa, sesaat setelah bangun, sebelum masak dan mkan sahur, saya sudah menenggak madu.
Selain itu, minum air putih yang cukup. Ini sangat wajib. Kalau tidak, siangnya tenggorokan suka terasa kering. Efeknya menjadi sangat tidak enak. Terkadang juga saking keringnya suka jadi batuk. Batuk karena kurang minum itu sangat tidak enak lho. Tenggorokan rasanya panas.
Makan Sahur Sambil Menonton Televisi
Biasanya makan sahur itu kan kurang berselera ya, apalagi bila masih ngantuk dan perut rasanya masih kenyang efek makan lumayan banyak saat berbuka puasa. Nah, agar makan tetap berselera dan sesuai porsi, biasanya saya dan keluarga makan sahur sambil menonton televisi. Sambil menonton, sambil menyuap, tahu-tahu habis.
Biasanya kami menonton acara yang  bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Jadi kalaupun sibuk menonton, masih ada interaksi antara saya dengan anak, saya dan suami, anak dan suami. Tidak hanya makan saja, atau menonton saja. Apalagi kan katanya makan bersama itu salah satu momen terbaik untuk berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga.
Kalau teman-teman Kompasianer, apa tradisi sahur di keluarga? Yuk, berbagi cerita di kolom komentar. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H