Melalui sistem tersebut memungkinkan petugas atau siapapun yang berwenang untuk  dapat mendeteksi debit air, tekanan air yang mengalir, hingga kapasitas dan kualitas air yang diproduksi secara online dan real time. Tak perlu repot mengecek secara manual. Sehingga, kebocoran air dan gangguan suplai dapat diminimalisir.
SCADA Merupakan Jantung Pengelolaan Air Perpipaan di Batam
Tanpa SCADA dan AIRS, sebenarnya pengelolaan air bersih perpipaan tetap dapat dilakukan dengan baik. Hanya saja bila sudah terlanjur menggunakan sistem tersebut, lalu tiba-tiba tidak lagi digunakan, pasti akan ada kendala. Ada risiko yang dihadapi. Meski kemudian nantinya bisa diatasi, pasti tetap butuh waktu yang tidak singkat.
Mungkin atas dasar itu akhirnya BP Batam memutuskan untuk kembali melakukan konsesi dengan pihak swasta. Bila BP Batam membangun sendiri sistem seperti itu butuh dana, butuh waktu, butuh SDM. Ribet. Terlebih BP Batam merupakan instansi pemerintah, pasti tidak selincah swasta menyiapkan anggaran untuk membangun sistem tersebut. Ada banyak birokrasi yang harus dilalui.
Jangan sampai, konsesi dengan ATB berakhir, keandalan suplai air di Batam juga ikut berakhir. Untuk menghindari hal tersebut dipilihlah operator baru air bersih. Untuk masa transisi selama enam bulan, terpilihlah PT Moya. Perusahaan swasta yang ternyata sangat berpengalaman di bidang air perpipaan.
PT Moya merupakan penyedia layanan air bersih perpipaan di sebagian wilayah DKI Jakarta; Kabupaten Tangerang, Banten; Kabupaten Bekasi, Jawa Barat; dan Semarang Barat, Semarang. Bila ditotal, seluruh produksi air bersih di seluruh wilayah yang dikelola PT Moya mencapai 14.535 liter per detik.
Menyayangkan Sikap ATB
Sebagai warga Batam, saya sedikit menyayangkan sikap yang ditempuh ATB. Bukan, bukan terkait gugatan ATB ke BP Batam mengenai proses tender pelelangan mitra kerjasama penyelenggraan operasi dan pemeliharaan sistem penyediaan air minum di Batam, tetapi keengganan ATB untuk menyerahkan SCADA Â ke BP Batam.
Menurut saya pribadi, meski SCADA tidak berkaitan langsung dengan inti bisnis pengelolaan air bersih seperti yang tertuang dalam kontrak kerjasama, tetapi pengaruhnya cukup signifikan. Apalagi dulu saat konsesi ditandatangani antara Otorita Batam (BP Batam) dengan ATB pada tahun 1995, teknologi belum sampai ke sana. Sehingga, memang tidak tertuang.
Terlebih SCADA juga (sepertinya) dibangun dengan menggunakan uang dari keuntungan mengelola air perpipaan di Pulau Batam, personel-personel yang membangun SCADA di ATB juga mungkin digaji dengan uang dari keuntungan pengelolaan air bersih di Pulau Batam. Sehingga, sudah sepantasnya dikembalikan ke "warga Batam" melalui BP Batam.
Lain hal, bila SCADA tersebut murni dibiayai dari dana PT Bangun Cipta Kontraktor (BCK) atau Sembcorp. Dua perusahaan swasta yang menaungi ATB.