Suara melengking dari arah belakang rumah membangunkan Bu Nurdiasih yang masih bergelung selimut berbulu. Lengkingan tersebut serta merta membuat mata ibu pemilik kostan itu tak lagi bisa terpejam. Padahal ia baru saja terlelap. Setelah semalaman tidak bisa tidur karena terlalu banyak menyesap kafein kala berbuka puasa.
Bu Nurdiasih menguap beberapa kali, merentangkan tangan, lalu turun dari tempat tidurnya. Usai mencuci muka dengan satu gayung air dingin dari keran, mengenakan hijab instan yang selalu terlipat rapi di atas nakas, ia bergegas ke halaman belakang. Ia ingin tahu ada ribut-ribut apa di sana.
Ini sarung saya!
Enak saja, ngaku-ngaku, ini sarung saya!
Saat Bu Nurdiasih sampai di halaman belakang, terlihat Ayana dan Annisa sedang berebut kain sarung kotak-kotak merah sambil berteriak satu sama lain. Tak ada yang mau mengalah. Dua penghuni kostan di kamar atas Bu Nurdiasih itu terlihat sama-sama ngotot mempertahankan ujung sarung yang mereka pegang.
Penghuni kostan lain hanya bergerombol di areal sekitar tiang jemuran yang berderet rapi. Beberapa ada yang berpura-pura merapikan pakaian yang sudah mereka cuci, sebagian ada yang hanya berdiri mematung, menonton tanpa tahu harus melakukan apa. Dari delapan orang penghuni kostan itu, tak ada yang berani mendekat untuk memisahkan.
"Ayana, Annisa, kalian kenapa?! Puasa-puasa begini malah ribut," teriak Bu Nurdiasih sambil bergegas memisahkan pertikaian mereka berdua.
"Ini Bu, Annisa tiba-tiba merebut sarung yang baru saya cuci," ujar Ayana.
"Itu sarung saya Bu, yang hilang satu bulan lalu saat dijemur," jelas Annisa.
"Enak saja ngaku-ngaku, ini sarung saya," timpal Ayana.
"Sudah, sudah! Berikan sarungnya pada saya, biar nanti kita selesaikan baik-baik," ucap Bu Nurdiasih sambil merebut sarung kotak-kotak itu dari tangan mereka berdua.
***
Bu Nurdiasih menatap lekat-lekat sarung kotak-kotak berwarna merah yang menjadi rebutan Ayana dan Annisa itu. Bila dilihat selintas, sarung tersebut hampir sama seperti sarung bapak-bapak pada umumnya. Namun, saat disentuh, terasa istimewa. Bahannya begitu lembut, sangat nyaman saat dikenakan.
Sudah tiga hari Bu Nurdiasih hanya bisa menatap sarung itu. Ia belum juga menemukan solusi terbaik agar sarung itu bisa kembali ke si pemilik asli. Ia ingin segera menyelesaikan polemik sarung tersebut. Tidak baik sengketa dibiarkan berlarut-larut.
Terlebih, Idulfitri segera tiba. Para penghuni kostan akan segera mendapatkan cuti kerja dan kembali ke kampung halaman masing-masing untuk merayakan hari raya selama beberapa hari. Jangan sampai, polemik terkait sarung masih mengambang, dan justru akan menghantui Bu Nurdiasih selama Hari Raya Idulfitri.
***
"Ayana, saya sengaja meminta kamu datang ke sini untuk menyelesaikan permasalahan terkait sarung," ucap Bu Nurdiasih saat Ayana sudah duduk manis di ruang tamu rumah Bu Nurdiasih.
"Iya, Bu," jawab Ayana singkat.
"Boleh tahu kamu membeli sarung ini di mana? Apa bisa membuktikan kalau sarung itu benar-benar milik kamu?"
"Saya beli sudah lama Bu, saat ada tugas kantor ke Palembang," jawab Ayana.
 "Ada teman kantor kamu yang bisa menjadi saksi kalau kamu benar-benar membeli sarung ini di Palembang?"
Ayana menggelang, "saya membeli sarung ini sendiri, tidak ada teman kantor yang menemani."
Bu Nurdiasih menghela napas panjang, kemudian menghembuskannya pelan, "kalau begitu, apa masih ada bukti pembeliannya?"
Ayana lagi-lagi menggelang, "sudah terlalu lama, Bu, struk pembeliannya sudah hilang."
Bu Nurdiasih kembali menghela napas kecewa, sementara Ayana masih diam menunggu pertanyaan sang ibu kost selanjutnya.
"Begini Ayana, agak sulit ya membuktikan ini sarung siapa sebenarnya, apakah betul milik kamu atau malah milik Annisa. Bagaimana agar permasalahan ini tidak berlarut-larut, kita musnahkan saja sarung ini? Kita bakar? Toh hanya sebuah sarung, nanti kalau kamu ada kesempatan ke Palembang lagi, kamu bisa beli. Jadi adil, kamu maupun Annisa tidak ada yang memiliki. Bagimana?"
Ayana tersenyum, "Ide bagus, Bu, saya setuju."
"Betul kamu ikhlas?" Tegas Bu Nurdiasih.
"Iya, saya ikhlas."
Setelah itu Ayana berlalu. Ia kembali ke kamar kostnya yang berada persis di samping kamar kost Annisa.
***
Setelah beberapa menit Ayana pergi, Bu Nurdiasih memanggil Annisa.
Setelah Annisa duduk manis di kursi ruang tamu, Bu Nurdiasih kembali kembali mengajukan pertanyaan yang sama seperti kepada Ayana, "Annisa, saya sengaja meminta kamu datang ke sini untuk menyelesaikan permasalahan terkait sarung. Kalau boleh tahu, di mana kamu membeli sarung ini?"
"Saya tidak membelinya, Bu, ini sarung yang diberikan ayah saya sebelum saya merantau ke Jakarta," jawab Annisa.
"Kamu bisa menghubungi ayah kamu untuk membuktikan bahwa sarung ini benar-benar diberikan oleh beliau?"
Annisa menggelang, "Ayah saya sudah meninggal tiga bulan lalu."
"Mungkin bisa minta tolong Ibu kamu untuk ikut menjelaskan."
"Ibu saya tidak tahu kalau Ayah memberikan sarung ini, Bu. Tidak pernah juga melihat sarung ini. Sarung ini dibeli Ayah sesaat sebelum saya berangkat ke Jakarta. Saat melihat sarung ini di toko dekat terminal, ayah langsung tertarik membelikan untuk saya. Katanya titip sarung ini, simpan baik-baik. Saat ke Jakarta kelak dan mampir menengok saya, ayah tidak perlu lagi repot mencari sarung."
Bu Nurdiasih lagi-lagi menghela napas berat.
"Lalu mengapa sarung ini bisa hilang?"
"Saya cuci Bu, lalu kemudian hilang. Sejak dibeli sarung ini tidak pernah dicuci, tidak pernah juga digunakan. Ayah tidak pernah sempat menjenguk saya karena keburu meninggal. Rencananya setelah sarung ini dicuci, mau saya gunakan untuk salat. Â Agar pahalanya mengalir ke Ayah," ujar Annisa setengah terisak.
"Begini Annisa, agak sulit ya membuktikan ini sarung siapa sebenarnya, apakah betul milik kamu atau malah milik Ayana. Bagaimana agar permasalahan ini tidak berlarut-larut, kita musnahkan saja sarung ini? Kita bakar? Toh hanya sebuah sarung, Jadi adil, kamu maupun Ayana tidak ada yang memiliki. Bagimana?"
"Jangan, Bu, jangan!" Teriak Annisa histeris, "daripada dimusnahkan, berikan saja pada Ayana. Saya Ikhlas. Bila dibakar, saya tidak bisa lagi melihat sarung kenangan dari Ayah. Namun, bila diberikan kepada Ayana, setidaknya saya masih bisa melihat saat sarung itu dijemur di belakang kostan. Selain itu, masih ada nilai manfaatnya. Insya Allah pahalanya akan tetap mengalir ke Ayah."
Tiba-tiba mata Bu Nurdiasih ikut berkaca-kaca, "Annisa simpan sarung ini baik-baik ya."
Bu Nurdiasih menyerahkan sarung yang menjadi polemik itu kepada Annisa.
"Terimakasih, Bu," ucap Annisa masih dengan suara terisak.
"Namun, minta tolong jangan kamu pakai keluar dari kamar kost. Kalau pun kamu cuci, minta tolong dijemur di dalam kamar kostan saja. Jangan sampai Ayana tahu, kalau sarung ini masih ada. Nanti menjadi polemik lagi," ujar Bu Nurdiasih panjang lebar.
"Baik, Bu."
Setelah itu Annisa meninggalkan Bu Nurdiasih sambil membawa kain sarung yang dibungkus rapi dengan sehelai koran.
***
Bu Nurdiasih bernapas lega. Ia sangat senang dapat menyelesaikan permasalahan itu dengan baik. Ia sangat yakin sarung tersebut telah kembali ke pemilik aslinya, Annisa. Ia mendapat ide menyelesaikan persengketaan sarung itu dari kisah Nabi Sulaiman. Saat beliau berhasil menyelesaikan perebutan seorang bayi oleh dua orang ibu.
Dahulu kala ada dua orang ibu yang membawa bayi mereka ke ladang. Saat kedua ibu itu asik bekerja, salah satu bayi yang sama-sama diletakan di atas batu besar, dimakan oleh serigala. Sehingga, hanya tersisa satu bayi.
Saat sadar salah satu bayi telah hilang dimakan serigala, dua orang ibu itu bertikai. Mereka memperebutkan bayi yang masih hidup. Mereka saling berargumen bahwa bayi yang masih hidup itu adalah bayi mereka. Tidak ada yang mau mengalah. Anyway, Â biar tidak bingung, sebut saja Ibu A dan Ibu B ya.
Akhirnya karena perebutan semakin sengit, mereka berdua mendatangi Nabi Daud untuk meminta bantuan menyelesaikan permasalahan tersebut. Kedua ibu tersebut menyampaikan argumen masing-masing. Namun, Si Ibu A dapat menyampaikan argumen yang lebih baik. Akhirnya Nabi Daud memutuskan, bayi tersebut diberikan ke Ibu A.
Namun ternyata, meski bayi tersebut telah diputuskan diberikan ke Ibu A, Si Ibu B tetap tidak terima. Ia terus menyampaikan argumen. Akhirnya agar permasalahan tidak berlarut-larut, kedua ibu itu mendatangi Nabi Sulaiman untuk menyelesaikan polemik yang sama.
Saat kedua ibu itu saling beradu argumen untuk mempertahankan bayi yang masih hidup, Nabi Sulaiman meminta salah satu pelayannya untuk mengambil pisau. Saat adu argumen tak juga mendapatkan hasil, Nabi Sulaiman akhirnya berkata, "Biar aku belah anak ini menjadi dua, agar tidak ada satupun dari kedua ibu ini yang bisa memiliki."
Si Ibu A langsung terdiam saat Nabi Sulaiman mengayunkan pisau tersebut ke arah si bayi yang masih hidup. Sementara, Si Ibu B langsung berteriak histeris. Sambil menangis ia berkata, "Tolong jangan lakukan itu, Tuan. Ini anak ibu itu. Biar bayi ini menjadi miliknya, biar ia mengurus bayi ini."
Akhirnya Nabi Sulaiman memutuskan bayi itu diberikan ke Si Ibu B. Â Sebab, seorang ibu tidak akan mungkin tega membiarkan bayinya disakiti, apalagi dibelah dua. Salam Kompasiana! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H