Hari ini (7/5), saat umat muslim melaksanakan ibadah puasa hari ke-14, pemeluk agama Buddha juga merayakan Hari Raya Waisak. Sama seperti umat muslim yang terpaksa menjalani ibadah di bulan suci Ramadan dengan penuh keterbatasan, umat Buddha juga harus rela merayakan Tri Suci Waisak dengan cara yang lebih sederhana.
Bagi umat muslim, tidak ada salat tarawih berjamaah di masjid, tidak ada itikaf. Sementara umat Buddha, tidak ada perayaan ibadah Waisak di wihara. Tak ada pula pelepasan lentera seperti yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Ibadah dilakukan dengan lebih senyap. Efek pandemi Covid-19 yang masih merebak.
Meski demikian, esensi ibadah tetap sama. Toh, ibadah bisa dilakukan di mana saja. Tak terbatas hanya di rumah ibadah. Umat muslim tetap khusyuk memaksimalkan raihan pahala yang berlipat-lipat di bulan suci Ramadan, pemeluk agama Buddha juga tetap khidmat merefleksikan ajaran Buddha, walaupun hanya dilakukan di dalam rumah masing-masing.
Memanfaatkan Dua Momen Besar Ini untuk Lebih Peduli Sesama
Salah satu esensi dari berpuasa di bulan Ramadan adalah menahan diri, menahan diri untuk tidak makan dan minum, menahan diri dari hawa nafsu, dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dari waktu imsak hingga azan magrib berkumandang. Sementara, salah satu esensi dari Hari Raya Waisak adalah menahan diri dari keserakahan.
Esensi tersebut sangat cocok diaplikasikan saat pandemi ini. Kala Covid-19 kian merebak. Kala semakin banyak orang yang terdampak. Saat efek dari pandemi virus corona semakin menyeruak, Â kita seharusnya bisa untuk menahan diri dari keserakahan, dari hawa nafsu untuk mementingkan diri sendiri.
Hindari membeli sesuatu secara berlebihan. Meski kita memiliki dana yang lumayan banyak, hindari membeli sesuatu secara masif. Beli seperlunya, secukupnya. Setelah habis baru membeli kembali. Jangan berbelanja secara kalap hingga menyusahkan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat kecil.
Ramadan dan Waisak seharusnya mengajarkan kita menjadi pribadi yang lebih sederhana, tidak berlebihan. Terlebih bagi umat muslim. Allah SWT tidak suka yang berlebih-lebihan. Apalagi berdasarkan beberapa referensi, Nabi Muhamaad SAW tidak pernah menimbun makanan. Bahkan Rasulullah mengecam para penimbun.
Islam memandang perbuatan menimbun barang sebagai bentuk kezaliman. Penimbunan barang termasuk ke dalam kategori kejahatan ekonomi dan sosial. Bahkan Nabi Muhammad pernah bersabda, "Tidak akan menimbun barang kecuali dia seorang pendosa." (HR Muslim).
Pada hadist lain juga disebutkan, "Barang siapa menimbun makanan selama 40 hari, ia akan lepas dari tanggungan Allah dan Allah pun cuci tangan dari perbuatannya, dan penduduk negeri mana saja yang pada pagi hari di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan, sungguh perlindungan Allah Ta'ala telah terlepas dari mereka." (HR Ahmad dan Hakim).
Selain dicap sebagai pendosa, penimbun juga diancam oleh Allah dengan penyakit berat dan kebangkrutan. Hal tersebut tertuang melalui sabda Nabi Muhammad, "Barang siapa yang menimbun bahan makanan bagi kaum Muslim, maka Allah akan menimpakan penyakit lepra dan kebangkrutan ke atasnya. " (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim).